Senin, 27 September 2010

Etika Menyampaikan Ilmu

Termasuk diantara tanda kefaqihan seseorang adalah menyampaikan ilmu pada waktu yang tepat. Jangan sampai ilmu yang disampaikannya dikeluarkan pada waktu orang sedang tidak berminat untuk mendengar ‘ceramah’nya. Hal ini penting untuk diperhatikan, karena jika tidak, maka yang terjadi adalah ketidaksenangan terhadap ilmu yang disampaikan. Dan kebencian terhadap ilmu yang disampaikan akan menutup jalan menuju pintu kebaikan.

Ibnu Hajar Asqalani berkata : “Bahwasanya makruh untuk berbicara dengan orang yang kurang menghargai kita. Sesungguhnya tidak semestinya menyebarkan ilmu kepada orang yang tidak menginginkannya. Sebaliknya, bicaralah kepada siapa yang ingin mendengarkan, karena hal tersebut lebih pantas dan lebih memberikan manfaat”. (Fathul Baari : 11/143).

Imam Syafi’i pernah bersyair :

ولا تعطين الرأي من لايريده
فلا أنت محمود ولا الرأي نافعه

Janganlah menyampaikan pendapat kepada orang yang tidak menginginkannya,
Karena kau tidak akan mendapat pujian, tidak pula pendapatmu akan memberi manfaat baginya.”

Mutharrif berkata : “Janganlah engkau berbicara kepada orang yang tidak menginginkan pembicaraanmu.” (Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi wa Adabi as-Sami’ : 731).

Mughirah berkata : “Sesungguhnya aku merasa puas dalam hal membatasi pembicaraanku, sebagaimana kalian merasa puas dengan banyak berbicara.” (Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi wa Adabi as-Sami’ : 736).

Maka yang harus dilakukan oleh seorang yang hendak menyampaikan pesan kebaikan adalah : Tunggulah saat yang tepat untuk berbicara. Sebagaimana kata hikmah mengatakan : “Setiap ucapan ada tempatnya, dan setiap tempat ada ucapannya yang tepat.”

Rabu, 22 September 2010

Cita-Cita Yang Tinggi

Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) menulis nasihat yang amat bagus dalam kitabnya Shaidul Khatir, dimana beliau berkata :

“Dunia hanyalah arena perlombaan menuju kemuliaan. Maka semestinya orang yang bercita-cita tinggi tidak memperlambat langkahnya. Jika ia menang, maka itulah tujuannya. Jika ia kalah setelah mengeluarkan semua usahanya, ia tidak akan dicela.
Apabila ada orang yang berkata : “Saya memiliki cita-cita yang tinggi namun tidak mempunyai biaya untuk meraihnya, lalu apa yang harus saya lakukan?” Jawabnya : “Apabila anda tidak dikaruniai sebagian rezeki, anda tidak akan terhalang dari rezeki yang lainnya. Adalah sesuatu yang mustahil bila Allah memberi anda kemauan yang tinggi tetapi Dia tidak membantu anda. Evaluasilah diri anda! Mungkin anda dikaruniai sesuatu tetapi anda tidak mensyukurinya, atau Allah sedang menguji anda namun anda tidak bisa bersabar darinya. Ketahuilah, mungkin Allah telah menutup kenikmatan dunia agar anda dapat merasakan nikmatnya ilmu, karena anda lemah dan tidak bisa mengumpulkan keduanya. Allah lebih mengetahui apa yang baik bagi anda, dan tangisan hendaklah semata-mata karena rendahnya kemauan. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”

Sememangnya cita-cita yang tinggi hanya untuk orang yang mempunyai semangat dan kesabaran yang tinggi pula, sebagaimana seorang penyair yang berkata :

لأستسهلن اصعب أو أدرك المنى
فما انقادت الآمال إلا لصابر

Sungguh, aku menganggap kesulitan itu mudah hingga aku menggapai asa,
Karena segala harapan dan cita itu tidak akan dicapai melainkan bagi orang yang sabar sahaja.”

Selasa, 21 September 2010

Waktu Dan Ilmu

Ada kata hikmah mengatakan :
“Berikanlah seluruh waktumu untuk ilmu, maka ilmu akan memberikan sebagian daripadanya. Jika engkau hanya memberikan sebagian waktumu untuk ilmu, maka ilmu tidak akan memberikan apa-apa.”

Maksud kata hikmah tersebut adalah :
Sesungguhnya ilmu sangatlah banyak dengan segala cabangnya. Maka jika kita hanya setengah-setengah dalam menuntut ilmu maka kita tidak akan mendapatkan apapun jua. Bahkan kalau kita memberikan seluruh waktu yang kita punya untuk menuntut ilmu, kita hanya akan mendapatkan setengah dari ilmu saja.

(P/s : Teringat kata hikmah tersebut ketika melihat tumpukan buku yang belum terbaca, dan kelalaian diri ini yang banyak menyia-nyiakan waktu yang ada).

Senin, 20 September 2010

Antara Dosa, Sakit Dan Musibah

Tepat pada hari 1 Syawwal -Alhamdulillah dalam segala keadaan- ana ditakdirkan Allah menderita sakit demam. Jadi di saat semua orang bergembira ria di hari raya, ana hanya berbaring di tempat tidur sambil berselimut tebal.

Ketika sakit yang terucap hanyalah ucapan istighfar serta terbayang akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Ya, karena sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits bahwa sakit dan musibah merupakan penghapus dosa, maka pemahaman kebalikannya (mafhum mukhalafah) adalah : dosa merupakan sebab turunnya sakit dan musibah, yang boleh jadi tidak hanya berasal dari dosa besar, namun mungkin saja berasal dari dosa kecil yang dianggap remeh.

Al Imam Ibnu Hajar Asqalani ketika menjelaskan hadits tentang seorang mukmin yang melihat dosa-dosanya seolah-olah ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut runtuh menimpanya, sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) memandang remeh dosa-dosanya bagaikan seekor lalat yang lewat di hidungnya lalu dengan mudah ia menghalaunya, kemudian Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Batthal yang berkata :
“Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa hendaknya seorang mukmin mempunyai perasaan takut yang besar terhadap balasan Allah akibat dosa-dosa yang ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar. Sebab, terkadang Allah mengazab seorang hamba karena dosa kecil yang ia lakukan, dan Allah tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-Nya.” (Fathul Baari : 11/109).

Ibnu ‘Aun berkata : “Janganlah engkau merasa selamat dengan banyaknya amal, karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah amalmu diterima atau tidak. Dan janganlah engkau merasa aman dari dosa-dosamu, karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah dosa-dosamu diampuni atau tidak.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam : 1/174).

Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena bisa jadi dosa kecil tersebut sumber sakit dan musibah yang menimpanya. Bukankah dosa kecil kalau ditumpuk maka akan menjadi besar ? Seperti dikatakan :

لاتحقرن من الذنوب أقلها
إن القليل إلى اقليل كثير

Janganlah engkau remehkan dosa kecil yang tidak seberapa,
Karena dosa kecil kalau terus dikerjakan maka akan menjadi besar pula.”

Semoga Allah merahmati Bilal bin Sa’ad yang berkata : “Janganlah engkau melihat kecil maksiat yang engkau lakukan, tetapi lihatlah keagungan Zat yang engkau maksiati.” (Minhajul Qashidin : 282, Ibnul Jauzi).

Senin, 06 September 2010

Selamat Tinggal Bulan Ramadhan

Jika mayoritas manusia sekarang bergembira dengan hampir selesainya bulan Ramadhan, maka tidaklah demikian dengan para salaf kita. Mereka justru sedih berpisah dengan bulan yang mulia ini selain karena keutamaannya, juga karena mereka tidak mengetahui apakah amalan mereka selama di bulan Ramadhan diterima Allah Ta'ala.

Demikianlah ciri-ciri insan yang bertakwa. Bahkan diceritakan bahwasanya sebagian salaf berdoa selama 6 bulan agar amalan mereka di bulan Ramadhan diterima, kemudian 6 bulan selanjutnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.

Dalam kitab Latha’if al-Ma’arif karangan Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) kita jumpai para salaf mengungkapkan kesedihannya dan kegundahan mereka :

- Umar bin Abdul Aziz ketika berkhutbah pada hari raya 'Idul Fithri berkata : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama 30 hari, kalian solat malam selama 30 hari, dan pada hari ini kalian semua keluar untuk memohon kepada Allah agar amalan kalian diterima. Ketahuilah, dulu sebagian salaf menampakkan kesedihan pada hari raya ‘Idul Fithri, kemudian ditanyakan padanya : ‘Bukankah hari ini hari kegembiraan dan kebahagiaan?’. Maka dia menjawab : ‘Benar, namun aku hanyalah seorang hamba yang Allah memerintahkanku untuk beramal, akan tetapi aku tidak mengetahui apakah amalku diterima Allah atau tidak?”.

- Wuhaib bin al-Warad jika melihat sekumpulan orang yang tertawa terbahak-bahak pada hari ‘Idul Fithri maka ia berkata : “Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya di sisi Allah, sungguh apa yang mereka lakukan ini bukanlah perbuatan orang-orang yang bersyukur. Dan jika puasa yang mereka lakukan tidak diterima, maka perbuatan mereka ini bukanlah perbuatan orang-orang yang takut.”

- Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu berseru pada akhir malam bulan Ramadhan : “Duhai, siapakah yang diterima amalannya sehingga kami bisa memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah yang ditolak amalannya sehingga kami bisa menyampaikan bela sungkawa terhadapnya?”

- Ucapan senada juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu: “Siapakah diantara kita yang diterima amalannya agar kita bisa mengucapkan selamat kepadanya, dan siapakah diantara kita yang ditolak amalannya agar kita bisa menyampaikan bela sungkawa kepadanya? Wahai orang yang amalannya diterima, selamat atasmu, dan wahai orang yang amalannya tertolak, semoga Allah mengganti musibahmu.”

Semoga Allah merahmati mereka semua, dan menjadikan orang yang mengikuti jejaknya sebagai insan bertakwa. Karena hanya orang bertakwa yang diterima amalannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah : 27).

Rabu, 01 September 2010

Faidah Dari Dosa

Al Imam Ibnu Rajab (wafat 795 H) berkata :

“Sesungguhnya termasuk hikmah Allah adalah Dia menjadikan sebagian hamba-Nya terkadang jatuh dalam lembah dosa, dan hal tersebut memiliki dua faidah :

Pertama : Pengakuan akan dosa mereka dan kelalaian mereka dalam menunaikan perintah-Nya akan menghilangkan penyakit ‘ujub dari diri mereka. Hal ini lebih dicintai oleh Allah daripada ketaatan yang banyak tetapi kerapkali membuat pelakunya merasa ‘ujub dengan amalnya.

Kedua : Meraih ampunan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, karena Allah suka mengasihi dan mengampuni. Diantara nama-nama Allah adalah al-Ghaffar (Maha Pengampun), al-Afuw (Maha Pengasih), at-Tawwab (Maha Menjadikan Hamba-Nya Untuk Bertaubat dan Maha Menerima Taubat).
Seandainya semua hamba tidak terjatuh dalam dosa, lalu untuk siapakah ampunan dan kasih sayang-Nya?”

(Lathaif al-Ma’arif : 57-58, Ibnu Rajab al-Hanbali).