Kitab Adabud Dunya wad Din (أدب الدنيا والدين) adalah diantara kitab turats (klasik) terbaik yang menjelaskan tentang adab-adab menyikapi dunia dan akhirat. Kitab tersebut ditulis oleh al-Imam al-Mawardi (wafat 450 H) seorang ulama ternama sekaligus seorang hakim agung pada zamannya. Al-Mawardi adalah guru dari al-Khatib al-Baghdadi (wafat 463 H) pengarang kitab Tarikh Baghdad yang terkenal.
Kitab Adabud Dunya wad Din secara umum terbagi dalam 5 bab yakni : bab keutamaan akal dan tercelanya hawa nafsu; bab keutamaan ilmu; bab etika dalam menjalankan agama; bab etika dalam kehidupan dunia; dan bab etika pribadi.
Kitab ini dipenuhi dengan penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits Nabawi yang berjumlah lebih dari 600 hadits, atsar-atsar para salaf, kata-kata mutiara dan hikmah, serta sekitar 1000 bait syair dari penyair terkenal seperti Abul ‘Atahiyah, Al-Buhtara, Al-Mutanabbi, dsbnya.
Manuskrip kitab Adabud Dunya wad Din terdapat di perpustakaan Adz-Dzahiriyah di Damaskus, Suriah, yang kemudian dipindahkan ke perpustakaan Al-Asad. Kitab ini telah dicetak pertama kali -tanpa tahqiq- pada tahun 1299 H. Pada tahun 1955 penerbit Musthafa al-Babi al-Halabi, Cairo, menerbitkan kitab Adabud Dunya wad Din dengan tahqiq Syaikh Musthafa as-Saqa. Pada tahun 1991, penerbit Dar Ibnu Katsir, Beirut, menerbitkan kitab Adabud Dunya wad Din dengan tahqiq Syaikh Yasin Muhammad as-Sawas. Edisi ini merupakan perbaikan dari edisi tahqiq Syaikh Musthafa as-Saqa.
Yang menarik, dikatakan diantara sebab Imam al-Mawardi menulis kitab Adabud Dunya wad Din adalah karena pada suatu hari beliau menulis kitab tentang jual-beli. Beliau mengerahkan semua kemampuannya untuk menulis kitab itu, dan ketika telah selesai beliau mengira kitab itu adalah kitab paling sempurna dalam pembahasan jual-beli. Sampai suatu hari, datanglah dua orang dari desa menanyakan kepada Imam al-Mawardi suatu permasalahan yang rumit mengenai jual-beli yang terjadi di pedesaan. Ternyata Imam al-Mawardi tidak bisa menjawab soalan mereka. Kedua orang itu lalu bertanya kepada sahabat Imam al-Mawardi yang ternyata mampu menjawabnya dengan baik dan memuaskan. Kejadian itu amat berbekas pada diri Imam al-Mawardi. Beliau kemudian sadar bahwa tidak ada gunanya mengagumi pendapat sendiri dan menyombongkan diri, karena sepandai-pandainya manusia selalu masih ada yang lebih pandai dari dirinya.
Kamis, 30 Desember 2010
Selasa, 28 Desember 2010
Tips Tetap Sehat Di Hari Tua
Ingin tahu tips tetap sehat dan kuat di hari tua? Maka simaklah kisah dari Abu Ath-Thayyib Thahir bin Abdullah bin Thahir bin Umar Ath-Thabari Asy-Syafi’i, beliau adalah seorang ulama besar dan seorang qadhi (hakim) yang wafat pada tahun 450 Hijriah.
Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah (12/85) menceritakan bahwa ulama tersebut berumur lebih dari 100 tahun, tapi di usianya yang lebih dari seabad itu beliau diberi nikmat oleh Allah dengan badan yang masih sehat dan akal yang kuat (tidak pikun). Pada suatu hari beliau melompat dengan lompatan yang tinggi, lalu orang-orang mencela apa yang dilakukannya, karena menganggap hal itu tidak pantas dilakukan oleh orang yang sudah tua. Beliau kemudian berkata, “Badanku ini ku jaga dari berbuat maksiat ketika aku remaja, maka Allah menjaganya ketika aku sudah tua.”
Maksud beliau adalah ingin menunjukkan bahwa barangsiapa yang menjaga hak-hak Allah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya di saat masih muda, maka Allah akan membalas dengan menjaganya dengan memberi kenikmatan kesehatan badan dan kekuatan akal di hari tua.
Adakah yang berminat ingin mencoba tips ini?
Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah (12/85) menceritakan bahwa ulama tersebut berumur lebih dari 100 tahun, tapi di usianya yang lebih dari seabad itu beliau diberi nikmat oleh Allah dengan badan yang masih sehat dan akal yang kuat (tidak pikun). Pada suatu hari beliau melompat dengan lompatan yang tinggi, lalu orang-orang mencela apa yang dilakukannya, karena menganggap hal itu tidak pantas dilakukan oleh orang yang sudah tua. Beliau kemudian berkata, “Badanku ini ku jaga dari berbuat maksiat ketika aku remaja, maka Allah menjaganya ketika aku sudah tua.”
Maksud beliau adalah ingin menunjukkan bahwa barangsiapa yang menjaga hak-hak Allah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya di saat masih muda, maka Allah akan membalas dengan menjaganya dengan memberi kenikmatan kesehatan badan dan kekuatan akal di hari tua.
Adakah yang berminat ingin mencoba tips ini?
Senin, 27 Desember 2010
Tergesa-gesa Adalah Tabiat Manusia
Selama ana mengikuti diskusi pada sebuah forum di internet, ada hal menarik yang ingin ana ceritakan, yakni sebenarnya banyak perbincangan dalam forum tersebut yang ana ingin sekali mengikutinya dan komentar telah ana siapkan. Tapi setelah dipikir berulang-ulang ana memutuskan tidak jadi untuk mengirimnya. Bahkan posting yang telah dikirim ada beberapa yang di-delete dan di-edit karena setelah dibaca kembali rasanya ada kesalahan dan tidak pas dengan keadaan.
Pelajaran dari kisah tersebut adalah : Tergesa-gesa merupakan tabiat manusia, dan bersabar menahan apa yang ada di kepala membuahkan kelegaan yang tak terhingga. Demikianlah sifat manusia seperti ana yang terkadang sering tergesa-gesa. Tidak hanya dalam tulisan, rasanya juga dalam ucapan dan tindakan kerap dilakukan dengan ketergesaan, sehingga tak jarang menimbulkan penyesalan.
Seorang penyair mengatakan :
وزن اكلام إذا نطقت فإنما
يبدي العقول أو العيوب المنطق
“Pikirkanlah ucapanmu jika kamu berbicara, karena sesungguhnya
ucapan itu dapat mengungkapkan pemikiran atau aib manusia.”
Imam Ibnu Hibban berkata : “Orang yang bersikap hati-hati tidak akan didahului, tidak seperti orang yang tergesa-gesa yang boleh jadi dapat disusul. Orang yang diam tidak akan menyesal, tidak seperti orang yang berbicara yang boleh jadi tidak selamat. Orang yang tergesa-gesa akan berbicara sebelum mengetahui, menjawab sebelum memahami, memuji sebelum menguji, menghina setelah memuji, bertekad sebelum memikirkan, dan melaksanakan sebelum meneliti. Orang yang tergesa-gesa akan diiringi dengan penyesalan dan dijauhi keselamatan.”
Ibnu Hibban juga berkata : “Ada yang mengatakan bahwa orang yang tergesa-gesa tidak akan dipuji, orang yang pemarah tidak akan disenangi, orang yang sombong tidak akan dicintai, orang yang dermawan tidak akan didengki, orang yang kikir tidak akan menjadi kaya, dan orang yang tidak penyabar maka tidak ada yang mau menjadi kawannya.”
(Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala' : 216-217, Ibnu Hibban).
Pelajaran dari kisah tersebut adalah : Tergesa-gesa merupakan tabiat manusia, dan bersabar menahan apa yang ada di kepala membuahkan kelegaan yang tak terhingga. Demikianlah sifat manusia seperti ana yang terkadang sering tergesa-gesa. Tidak hanya dalam tulisan, rasanya juga dalam ucapan dan tindakan kerap dilakukan dengan ketergesaan, sehingga tak jarang menimbulkan penyesalan.
Seorang penyair mengatakan :
وزن اكلام إذا نطقت فإنما
يبدي العقول أو العيوب المنطق
“Pikirkanlah ucapanmu jika kamu berbicara, karena sesungguhnya
ucapan itu dapat mengungkapkan pemikiran atau aib manusia.”
Imam Ibnu Hibban berkata : “Orang yang bersikap hati-hati tidak akan didahului, tidak seperti orang yang tergesa-gesa yang boleh jadi dapat disusul. Orang yang diam tidak akan menyesal, tidak seperti orang yang berbicara yang boleh jadi tidak selamat. Orang yang tergesa-gesa akan berbicara sebelum mengetahui, menjawab sebelum memahami, memuji sebelum menguji, menghina setelah memuji, bertekad sebelum memikirkan, dan melaksanakan sebelum meneliti. Orang yang tergesa-gesa akan diiringi dengan penyesalan dan dijauhi keselamatan.”
Ibnu Hibban juga berkata : “Ada yang mengatakan bahwa orang yang tergesa-gesa tidak akan dipuji, orang yang pemarah tidak akan disenangi, orang yang sombong tidak akan dicintai, orang yang dermawan tidak akan didengki, orang yang kikir tidak akan menjadi kaya, dan orang yang tidak penyabar maka tidak ada yang mau menjadi kawannya.”
(Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala' : 216-217, Ibnu Hibban).
Rabu, 22 Desember 2010
Hari-Hari Yang Telah Kita Lalui
Banyak manusia bersuka cita ketika ia merayakan hari kelahiran, dan lupa bahwasanya itu adalah tanda semakin dekatnya dengan akhir perjalanan. Sesungguhnya umur bukanlah semakin bertambah dalam hitungan, akan tetapi pada hakikatnya ia semakin berkurang. Dulu para salaf mengatakan : “Sesungguhnya dunia hanyalah tiga hari. Hari kemarin yang telah berlalu dan tidak dapat kembali. Hari ini yang harus dimanfaatkan dengan sepenuh hati. Dan hari esok yang kita tidak mengetahui apakah kita masih hidup ataukah mati.”
إنا لنفرح بالأيام نقطعها
وكل يوم مضى يدني من الأجل
“Sesungguhnya kita bergembira dengan hari-hari yang telah kita lalui,
Padahal setiap hari yang telah dilewati akan mendekatkan kita dengan mati.”
Imam Mawardi dalam kitabnya Adabud Dunya wad Din berkata : “Jadilah engkau orang yang mencari dunia karena terpaksa, dan carilah sebab-sebab kebahagian untuk hari akhirat dengan segera. Jadilah engkau di dunia bak musafir yang dalam perjalanan, karena kematian akan datang pada suatu hari yang tidak dapat diperkirakan.”
Maka, perbekalan terbaik adalah dengan memperbanyak amal kebaikan. Semoga dengannya kita mati dalam keadaan husnul khotimah yang merupakan sebaik-baik kematian.
ولدتك أمك يا ابن آدم باكيا
والناس حولك يضحكون سرورا
فاحرص بأن تكون إذا بكوا
في يوم موتك ضاحكا مسرورا
“Engkau dilahirkan ibumu wahai anak Adam dalam keadaan menangis
Sedangkan manusia di sekelilingmu tertawa gembira,
Maka berusahalah jika mereka menangis
di hari kematianmu, engkau dalam keadaan tertawa gembira.”
إنا لنفرح بالأيام نقطعها
وكل يوم مضى يدني من الأجل
“Sesungguhnya kita bergembira dengan hari-hari yang telah kita lalui,
Padahal setiap hari yang telah dilewati akan mendekatkan kita dengan mati.”
Imam Mawardi dalam kitabnya Adabud Dunya wad Din berkata : “Jadilah engkau orang yang mencari dunia karena terpaksa, dan carilah sebab-sebab kebahagian untuk hari akhirat dengan segera. Jadilah engkau di dunia bak musafir yang dalam perjalanan, karena kematian akan datang pada suatu hari yang tidak dapat diperkirakan.”
Maka, perbekalan terbaik adalah dengan memperbanyak amal kebaikan. Semoga dengannya kita mati dalam keadaan husnul khotimah yang merupakan sebaik-baik kematian.
ولدتك أمك يا ابن آدم باكيا
والناس حولك يضحكون سرورا
فاحرص بأن تكون إذا بكوا
في يوم موتك ضاحكا مسرورا
“Engkau dilahirkan ibumu wahai anak Adam dalam keadaan menangis
Sedangkan manusia di sekelilingmu tertawa gembira,
Maka berusahalah jika mereka menangis
di hari kematianmu, engkau dalam keadaan tertawa gembira.”
Senin, 20 Desember 2010
“Jangan Tanya Saya”
Ucapan-ucapan seperti : "Jangan tanya saya", "Coba tanyakan kepada fulan, dia lebih alim dibanding saya", dan ucapan lain yang sejenisnya itulah yang sering ana ucapkan atau tuliskan jika ada yang bertanya mengenai suatu permasalahan terutama masalah fiqih yang berkaitan halal dan haram.
Demikianlah keadaan ana. Tidaklah ana ceritakan ini untuk mencari simpati, atau supaya orang mengira ana seorang yang rendah hati. Tidak, tidak sama sekali. Seorang yang mengetahui kemampuan dirinya pasti akan menghindari berbicara dalam masalah-masalah yang tidak dikuasainya. Walaupun terkadang ia memiliki gambaran jawabannya, tapi jika masih banyak keraguannya, maka lebih baik ia menyerahkan kepada ahlinya.
Adab demikianlah yang diajarkan para salaf kita.
Seorang tabi’in yang bernama Abdurrahman bin Abi Laila berkata : “Aku telah bertemu 120 Sahabat Nabi dari kalangan Anshar. Jika salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah, ia akan melemparkannya kepada temannya, lalu temannya itu melemparkan kepada temannya yang lain, sampai akhirnya soalan itu kembali lagi kepada orang yang pertama.” (Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra no.801, Muqaddimah Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, An-Nawawi : 1/40).
Umair bin Sa’id -seorang tabi’in- menceritakan peristiwa yang pernah dialaminya. Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Alqamah (seorang alim dikalangan tabi’in) tentang suatu masalah. Lalu Alqomah berkata, “Pergilah ke Ubaidah, lalu tanyakanlah kepadanya!”
Ketika aku telah sampai ke tempat Ubaidah, dia berkata, “Datangilah Alqamah!”
Aku -Umair- berkata, “Justru Alqamah menyuruhku menemuimu.”
Ubaidah lalu berkata, “Pergilah ke tempat Masruq, lalu tanyakanlah kepadanya!”
Akupun mendatangi Masruq dan bertanya kepadanya. Tapi ia malah berkata, “Datangilah Alqamah dan tanyakanlah kepadanya!”
Aku berkata, “Alqamah menyuruhku mendatangi Ubaidah, lalu Ubaidah menyuruhku untuk bertanya kepadamu.”
Masruq lalu berkata, “Datangilah Abdurrahman bin Abi Laila!”
Aku kemudian mendatangi Abdurrahman bin Abi Laila dan bertanya kepadanya. Tapi ternyata dia tidak suka ditanya. Aku lalu kembali ke Alqamah dan menceritakan kejadian yang telah menimpaku. Maka Alqamah berkata : “Dahulu dikatakan, orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling rendah dan sedikit ilmunya.” (Akhlaq al-Ulama’ : 74-75, Al-Ajurri).
Demikianlah keadaan ana. Tidaklah ana ceritakan ini untuk mencari simpati, atau supaya orang mengira ana seorang yang rendah hati. Tidak, tidak sama sekali. Seorang yang mengetahui kemampuan dirinya pasti akan menghindari berbicara dalam masalah-masalah yang tidak dikuasainya. Walaupun terkadang ia memiliki gambaran jawabannya, tapi jika masih banyak keraguannya, maka lebih baik ia menyerahkan kepada ahlinya.
Adab demikianlah yang diajarkan para salaf kita.
Seorang tabi’in yang bernama Abdurrahman bin Abi Laila berkata : “Aku telah bertemu 120 Sahabat Nabi dari kalangan Anshar. Jika salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah, ia akan melemparkannya kepada temannya, lalu temannya itu melemparkan kepada temannya yang lain, sampai akhirnya soalan itu kembali lagi kepada orang yang pertama.” (Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra no.801, Muqaddimah Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, An-Nawawi : 1/40).
Umair bin Sa’id -seorang tabi’in- menceritakan peristiwa yang pernah dialaminya. Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Alqamah (seorang alim dikalangan tabi’in) tentang suatu masalah. Lalu Alqomah berkata, “Pergilah ke Ubaidah, lalu tanyakanlah kepadanya!”
Ketika aku telah sampai ke tempat Ubaidah, dia berkata, “Datangilah Alqamah!”
Aku -Umair- berkata, “Justru Alqamah menyuruhku menemuimu.”
Ubaidah lalu berkata, “Pergilah ke tempat Masruq, lalu tanyakanlah kepadanya!”
Akupun mendatangi Masruq dan bertanya kepadanya. Tapi ia malah berkata, “Datangilah Alqamah dan tanyakanlah kepadanya!”
Aku berkata, “Alqamah menyuruhku mendatangi Ubaidah, lalu Ubaidah menyuruhku untuk bertanya kepadamu.”
Masruq lalu berkata, “Datangilah Abdurrahman bin Abi Laila!”
Aku kemudian mendatangi Abdurrahman bin Abi Laila dan bertanya kepadanya. Tapi ternyata dia tidak suka ditanya. Aku lalu kembali ke Alqamah dan menceritakan kejadian yang telah menimpaku. Maka Alqamah berkata : “Dahulu dikatakan, orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling rendah dan sedikit ilmunya.” (Akhlaq al-Ulama’ : 74-75, Al-Ajurri).
Rabu, 15 Desember 2010
Hikmah Di Balik Doa Yang Tak Terkabul
Berkata Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya Shaidul Khatir :
“Aku pernah ditimpa kesusahan yang mendalam. Aku memperbanyak doa sambil memohon agar dilepaskan dari ujian ini. Tetapi jawabannya sangatlah lambat. Maka, mulailah jiwaku gelisah. Tetapi saat itu aku mulai memperingatkan jiwaku.
Aku berkata kepada jiwa : “Celakalah engkau! Merenunglah! Apakah engkau hamba atau seorang yang merdeka yang dapat berbuat semaunya? Tidakkah engkau berfikir, engkaukah yang mengatur segalanya atau ada yang mengaturmu? Tidakkah engkau tahu bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan cobaan? Jika engkau minta dipenuhi segala keinginanmu, namun engkau tidak mampu bersabar ketika tidak mendapatkan apa yang engkau inginkan, lalu dimana letak ujian itu? Bukankah termasuk ujian ketika tidak dikabulkannya suatu keinginan? Wahai jiwa, pahamilah olehmu makna pembebanan syariat kepadamu, niscaya akan ringanlah yang berat dan akan mudah pula perkara yang sulit.”
Tatkala jiwaku merenungkan hal itu, ia sedikit tenang.
Aku katakan kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban kedua. Engkau hanya menuntut hak-hakmu dan tidak pernah peduli dengan kewajibanmu, padahal itu adalah tindakan yang bodoh. Engkau adalah hamba. Hamba yang cerdas akan berusaha menunaikan hak-hak tuannya. Ia tahu bahwa bukanlah kewajiban seorang tuan untuk memenuhi semua yang diinginkan hambanya.”
Mendengar penjelasan itu, jiwaku semakin tenang.
Aku berkata kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban ketiga. Engkau menganggap jawaban-jawaban bagi doamu sangatlah lambat. Padahal engkau sendiri menutup jalan terkabulnya doa dengan berbagai maksiat. Jika saja engkau buka kembali jalan itu dengan meninggalkan maksiat, niscaya akan dipercepat jawaban bagi doamu. Sepertinya engkau tidak tahu bahwa ketenangan diperoleh dari takwa. Tidakkah engkau membaca dan mendengar firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangka … Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS. Ath-Thalaq : 2 - 4).”
Jiwaku membenarkan ucapanku. Maka bertambah tenanglah dia.
Aku berkata lagi : “Aku masih punya jawaban yang keempat. Engkau meminta harta padahal engkau tahu akibat-akibatnya. Jika Dia mengabulkan, boleh jadi harta itu akan membahayakanmu. Engkau seperti anak kecil yang sakit gigi tapi meminta manisan. Padahal Zat yang mengaturmu lebih tahu apa yang terbaik bagimu. Bagaimana tidak, Dia sendiri telah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu (QS. Al-Baqarah : 216).”
Ketika jiwaku memahami apa yang aku sampaikan, semakin mantaplah jiwaku dalam ketenangan.
Akupun mengakhiri nasihatku : “Ini jawaban terakhir. Ketahuilah bahwa apa yang engkau minta akan mengurangi pahala dan menurunkan derajatmu. Tatkala Dia tidak mengabulkan doamu, hal itu sebenarnya adalah sebuah pemberian yang sangat berharga dari-Nya untukmu. Jika engkau minta kepada-Nya apa yang terbaik untuk akhiratmu, maka yang demikian itu jauh lebih baik. Pahamilah kembali apa yang aku terangkan kepadamu.”
Akhirnya jiwaku berbisik, “Aku sungguh merasa sangat tenang dan damai.”
“Aku pernah ditimpa kesusahan yang mendalam. Aku memperbanyak doa sambil memohon agar dilepaskan dari ujian ini. Tetapi jawabannya sangatlah lambat. Maka, mulailah jiwaku gelisah. Tetapi saat itu aku mulai memperingatkan jiwaku.
Aku berkata kepada jiwa : “Celakalah engkau! Merenunglah! Apakah engkau hamba atau seorang yang merdeka yang dapat berbuat semaunya? Tidakkah engkau berfikir, engkaukah yang mengatur segalanya atau ada yang mengaturmu? Tidakkah engkau tahu bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan cobaan? Jika engkau minta dipenuhi segala keinginanmu, namun engkau tidak mampu bersabar ketika tidak mendapatkan apa yang engkau inginkan, lalu dimana letak ujian itu? Bukankah termasuk ujian ketika tidak dikabulkannya suatu keinginan? Wahai jiwa, pahamilah olehmu makna pembebanan syariat kepadamu, niscaya akan ringanlah yang berat dan akan mudah pula perkara yang sulit.”
Tatkala jiwaku merenungkan hal itu, ia sedikit tenang.
Aku katakan kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban kedua. Engkau hanya menuntut hak-hakmu dan tidak pernah peduli dengan kewajibanmu, padahal itu adalah tindakan yang bodoh. Engkau adalah hamba. Hamba yang cerdas akan berusaha menunaikan hak-hak tuannya. Ia tahu bahwa bukanlah kewajiban seorang tuan untuk memenuhi semua yang diinginkan hambanya.”
Mendengar penjelasan itu, jiwaku semakin tenang.
Aku berkata kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban ketiga. Engkau menganggap jawaban-jawaban bagi doamu sangatlah lambat. Padahal engkau sendiri menutup jalan terkabulnya doa dengan berbagai maksiat. Jika saja engkau buka kembali jalan itu dengan meninggalkan maksiat, niscaya akan dipercepat jawaban bagi doamu. Sepertinya engkau tidak tahu bahwa ketenangan diperoleh dari takwa. Tidakkah engkau membaca dan mendengar firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangka … Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS. Ath-Thalaq : 2 - 4).”
Jiwaku membenarkan ucapanku. Maka bertambah tenanglah dia.
Aku berkata lagi : “Aku masih punya jawaban yang keempat. Engkau meminta harta padahal engkau tahu akibat-akibatnya. Jika Dia mengabulkan, boleh jadi harta itu akan membahayakanmu. Engkau seperti anak kecil yang sakit gigi tapi meminta manisan. Padahal Zat yang mengaturmu lebih tahu apa yang terbaik bagimu. Bagaimana tidak, Dia sendiri telah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu (QS. Al-Baqarah : 216).”
Ketika jiwaku memahami apa yang aku sampaikan, semakin mantaplah jiwaku dalam ketenangan.
Akupun mengakhiri nasihatku : “Ini jawaban terakhir. Ketahuilah bahwa apa yang engkau minta akan mengurangi pahala dan menurunkan derajatmu. Tatkala Dia tidak mengabulkan doamu, hal itu sebenarnya adalah sebuah pemberian yang sangat berharga dari-Nya untukmu. Jika engkau minta kepada-Nya apa yang terbaik untuk akhiratmu, maka yang demikian itu jauh lebih baik. Pahamilah kembali apa yang aku terangkan kepadamu.”
Akhirnya jiwaku berbisik, “Aku sungguh merasa sangat tenang dan damai.”
Senin, 13 Desember 2010
Diantara Ciri Ahli Syurga
Tsabit mengatakan bahwa Muthrif pernah berkata :
“Sungguh, aku suka berbaring di atas kasurku pada malam hari, lalu aku merenungkan Al-Qur’an dengan cara membandingkan amalku dengan amalnya ahli syurga. Ternyata amalan ahli syurga sangat mengagumkan :
كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz-Dzariyaat : 17).
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqaan : 64).
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً
“Ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri” (Az-Zumar : 9).
Aku melihat diriku tidak termasuk di antara mereka.
Lalu aku bertemu dengan ayat :
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُواْ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُواْ عَمَلاً صَالِحاً وَآخَرَ سَيِّئاً عَسَى اللّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan amalan yang baik dengan amalan yang buruk. Semoga Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah : 102).
Akhirnya aku berharap semoga aku dan anda semua termasuk diantara mereka.” (Hilyatul Auliya' : 2/198).
“Sungguh, aku suka berbaring di atas kasurku pada malam hari, lalu aku merenungkan Al-Qur’an dengan cara membandingkan amalku dengan amalnya ahli syurga. Ternyata amalan ahli syurga sangat mengagumkan :
كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz-Dzariyaat : 17).
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqaan : 64).
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً
“Ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri” (Az-Zumar : 9).
Aku melihat diriku tidak termasuk di antara mereka.
Lalu aku bertemu dengan ayat :
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُواْ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُواْ عَمَلاً صَالِحاً وَآخَرَ سَيِّئاً عَسَى اللّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan amalan yang baik dengan amalan yang buruk. Semoga Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah : 102).
Akhirnya aku berharap semoga aku dan anda semua termasuk diantara mereka.” (Hilyatul Auliya' : 2/198).
Rabu, 01 Desember 2010
Siapakah Orang Faqih, Pemimpin, dan Orang Kaya Sejati ?
Imam Asy-Syafi’i dalam Diwan (kumpulan syairnya) berkata :
إن الفقيه هـو الفقيـه بفعلـه
ليس الفقيـه بنطقـه ومقالـه
وكذا الرئيس هو الرئيس بـخلقه
ليس الرئيس بقومه ورجالـه
وكذا الغنـي هو الغني بحالــه
ليس الغنـي بملكـه وبمالـه
“Orang yang faqih adalah yang beramal dengan perbuatan,
Bukan dinamakan faqih jika hanya fasih dengan lisan dan perkataan;
Dan yang disebut pemimpin adalah yang memimpin dengan kelembutan,
Bukan dinamakan pemimpin hanya dengan banyaknya pengikut dan bawahan;
Demikian juga yang disebut kaya adalah orang yang dermawan,
Bukan dinamakan kaya hanya dengan sekedar banyaknya harta simpanan.”
إن الفقيه هـو الفقيـه بفعلـه
ليس الفقيـه بنطقـه ومقالـه
وكذا الرئيس هو الرئيس بـخلقه
ليس الرئيس بقومه ورجالـه
وكذا الغنـي هو الغني بحالــه
ليس الغنـي بملكـه وبمالـه
“Orang yang faqih adalah yang beramal dengan perbuatan,
Bukan dinamakan faqih jika hanya fasih dengan lisan dan perkataan;
Dan yang disebut pemimpin adalah yang memimpin dengan kelembutan,
Bukan dinamakan pemimpin hanya dengan banyaknya pengikut dan bawahan;
Demikian juga yang disebut kaya adalah orang yang dermawan,
Bukan dinamakan kaya hanya dengan sekedar banyaknya harta simpanan.”
Senin, 29 November 2010
Wangi Semerbak Dari Kisah Ibnul Mubarak
‘Abdullah bin Al-Mubarak adalah seorang imam besar dari kalangan tabi'ut tabi'in, hidup dari tahun 118 H - 181 H. Ana ceritakan sebagian dari kisah hidupnya disini karena beliau memiliki beberapa keutamaan. Beliau seorang yang faqih dalam ilmu agama, gemar beribadah, tidak pernah ketinggalan berjihad, jutawan yang dermawan tapi juga zuhud terhadap dunia, dan yang paling mengagumkan dari beliau adalah sifatnya yang selalu berusaha menyembunyikan amalannya.
Inilah beberapa ringkasan kisah hidupnya :
- Ibnul Mubarak pernah turut serta berjihad melawan pasukan Romawi. Ketika itu ia dengan gagah berani berperang sehingga banyak membunuh pasukan musuh. Uniknya ketika berperang beliau menggunakan penutup muka (cadar) agar tidak ada yang mengenalinya. Yang mengenali beliau hanya teman dekatnya saja. Beliau berpesan kepada teman yang mengenalinya : “Wahai fulan, selama aku masih hidup jangan ceritakan kejadian ini kepada siapa-siapa.” (Siyar A’lam An-Nubala' : 8/408-409).
- Ibnul Mubarak biasa ke daerah Tharasus untuk belajar hadits. Di daerah itu Ibnul Mubarak mempunyai seorang teman yakni seorang pemuda yang biasa membantunya memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada suatu hari ia tidak menemukan pemuda itu. Orang-orang memberitahukan bahwa pemuda itu dipenjara karena dililit hutang sebanyak sepuluh ribu dirham. Ibnul Mubarak segera melunasi hutang pemuda itu kepada orang yang menghutangi, dan berpesan agar jangan memberitahukan bahwa ia yang melunasinya. Teman Ibnul Mubarak tersebut baru mengetahui Ibnul Mubarak lah yang membayar hutangnya setelah Ibnul Mubarak wafat. (Shifatush Shafwah : 4/141-142).
- Seorang murid Ibnul Mubarak bercerita ketika sedang berada di Kufah, Ibnul Mubarak pernah membacakan kitab tentang manasik haji. Hingga sampai kepada pembahasan satu permasalahan yang di dalamnya terdapat tulisan : “Demikianlah pendapat ‘Abdullah (Ibnul Mubarak) dan demikian pendapat kami”, maka Ibnul Mubarak langsung menghapus namanya dalam kitab tersebut sambil berkata: “Siapalah saya, sehingga pantas ditulis pendapat saya.” (Shifatush Shafwah : 4/137).
- Pada musim haji biasanya teman-teman Ibnul Mubarak mendatangi beliau karena berkeinginan untuk menunaikan haji bersamanya. Maka Ibnul Mubarak mensyaratkan jika mereka ingin berhaji bersamanya mereka harus menyetor uang perbekalan kepadanya. Setelah masing-masing temannya menyetor uang kepadanya, Ibnul Mubarak lalu menyimpan uang mereka ke dalam sebuah kotak. Selama dalam perjalanan Ibnul Mubarak lah yang membiayai kebutuhan hidup mereka, membayar ongkos perjalanan, membayar penginapan, dan membelikan oleh-oleh untuk keluarga teman-temannya. Setelah pulang, Ibnul Mubarak membuka kotak tempat ia menyimpan uang teman-temannya. Uang tersebut masih utuh, dan Ibnul Mubarak mengembalikan uang tersebut kepada mereka. (Siyar A’lam An-Nubala' : 8/385-386).
Inilah beberapa ringkasan kisah hidupnya :
- Ibnul Mubarak pernah turut serta berjihad melawan pasukan Romawi. Ketika itu ia dengan gagah berani berperang sehingga banyak membunuh pasukan musuh. Uniknya ketika berperang beliau menggunakan penutup muka (cadar) agar tidak ada yang mengenalinya. Yang mengenali beliau hanya teman dekatnya saja. Beliau berpesan kepada teman yang mengenalinya : “Wahai fulan, selama aku masih hidup jangan ceritakan kejadian ini kepada siapa-siapa.” (Siyar A’lam An-Nubala' : 8/408-409).
- Ibnul Mubarak biasa ke daerah Tharasus untuk belajar hadits. Di daerah itu Ibnul Mubarak mempunyai seorang teman yakni seorang pemuda yang biasa membantunya memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada suatu hari ia tidak menemukan pemuda itu. Orang-orang memberitahukan bahwa pemuda itu dipenjara karena dililit hutang sebanyak sepuluh ribu dirham. Ibnul Mubarak segera melunasi hutang pemuda itu kepada orang yang menghutangi, dan berpesan agar jangan memberitahukan bahwa ia yang melunasinya. Teman Ibnul Mubarak tersebut baru mengetahui Ibnul Mubarak lah yang membayar hutangnya setelah Ibnul Mubarak wafat. (Shifatush Shafwah : 4/141-142).
- Seorang murid Ibnul Mubarak bercerita ketika sedang berada di Kufah, Ibnul Mubarak pernah membacakan kitab tentang manasik haji. Hingga sampai kepada pembahasan satu permasalahan yang di dalamnya terdapat tulisan : “Demikianlah pendapat ‘Abdullah (Ibnul Mubarak) dan demikian pendapat kami”, maka Ibnul Mubarak langsung menghapus namanya dalam kitab tersebut sambil berkata: “Siapalah saya, sehingga pantas ditulis pendapat saya.” (Shifatush Shafwah : 4/137).
- Pada musim haji biasanya teman-teman Ibnul Mubarak mendatangi beliau karena berkeinginan untuk menunaikan haji bersamanya. Maka Ibnul Mubarak mensyaratkan jika mereka ingin berhaji bersamanya mereka harus menyetor uang perbekalan kepadanya. Setelah masing-masing temannya menyetor uang kepadanya, Ibnul Mubarak lalu menyimpan uang mereka ke dalam sebuah kotak. Selama dalam perjalanan Ibnul Mubarak lah yang membiayai kebutuhan hidup mereka, membayar ongkos perjalanan, membayar penginapan, dan membelikan oleh-oleh untuk keluarga teman-temannya. Setelah pulang, Ibnul Mubarak membuka kotak tempat ia menyimpan uang teman-temannya. Uang tersebut masih utuh, dan Ibnul Mubarak mengembalikan uang tersebut kepada mereka. (Siyar A’lam An-Nubala' : 8/385-386).
Selasa, 23 November 2010
Sulit Konsentrasi
Beberapa waktu belakangan ini ana rasanya sulit untuk konsentrasi. Konsentrasi yang ana maksudkan adalah menumpukan perhatian pada suatu perkara terutama pada hafalan dan bacaan.
Hafalan yang dulu mudah dilakukan sekarang rasanya susah sekali untuk melekat dalam ingatan. Sedangkan dalam hal bacaan, ana rasakan susah untuk mencerna subjek-subjek bacaan yang ‘berat’, sehingga terkadang perlu dilakukan pembacaan berulang-ulang. Hal tersebut merupakan suatu hal yang sebelumnya jarang dilakukan.
Setelah ana introspeksi, mungkin hal ini karena bercabangnya pikiran, serta banyaknya kegiatan keduniaan yang menyita waktu dan perhatian. Sungguh benar apa yang diwasiatkan ulama bahwa antara dunia dan menuntut ilmu agama tidaklah dapat disatukan.
Para ulama telah mengingatkan : “Seorang penuntut ilmu harus meninggalkan perkara-perkara yang menyibukkan. Karena jika pikirannya terbagi-bagi maka ia tidak dapat konsentrasi dalam menyelami dan mengetahui hakikat yang dipelajari. Dulu para salaf mengutamakan ilmu dibanding perkara lainnya. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad tidak menikah kecuali setelah berumur 40 tahun (agar ia dapat berkonsentrasi menuntut ilmu). Seorang salaf lainnya yakni Abu Bakar bin Al-Anbari pernah dihadiahkan seorang hamba sahaya wanita. Ketika hamba sahaya itu masuk menemuinya, maka hilanglah dari pikirannya beberapa permasalahan yang sedang dibahasnya. Maka Abu Bakar bin Al-Anbari mengembalikan hamba sahaya tersebut agar ia dapat berkonsentrasi kembali dalam bidang keilmuan.” (Mukhtasar Minhajul Qashidin : 14, Ibnu Qudamah).
Imam Ibnu Jama’ah berkata : “Semestinya seorang penuntut ilmu berusaha memutus kegiatan-kegiatan yang dapat menyibukkannya dan menghalanginya dari menuntut ilmu. Sebab jika pikirannya bercabang, niscaya ia tidak akan mampu menyingkap hakikat ilmu dan perkara-perkara yang rumit. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan pada diri seseorang dua pikiran.” (Tadzkiratus Sami' wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Muta'allim : 70-71, Ibnu Jama’ah).
Demikianlah yang diwasiatkan para ulama. Sekarang tinggal ana yang harus menyeleksi kegiatan mana yang harus di-turn off untuk sementara, agar dapat mengembalikan konsentrasi seperti sedia kala.
Allahul Musta’an.
Hafalan yang dulu mudah dilakukan sekarang rasanya susah sekali untuk melekat dalam ingatan. Sedangkan dalam hal bacaan, ana rasakan susah untuk mencerna subjek-subjek bacaan yang ‘berat’, sehingga terkadang perlu dilakukan pembacaan berulang-ulang. Hal tersebut merupakan suatu hal yang sebelumnya jarang dilakukan.
Setelah ana introspeksi, mungkin hal ini karena bercabangnya pikiran, serta banyaknya kegiatan keduniaan yang menyita waktu dan perhatian. Sungguh benar apa yang diwasiatkan ulama bahwa antara dunia dan menuntut ilmu agama tidaklah dapat disatukan.
Para ulama telah mengingatkan : “Seorang penuntut ilmu harus meninggalkan perkara-perkara yang menyibukkan. Karena jika pikirannya terbagi-bagi maka ia tidak dapat konsentrasi dalam menyelami dan mengetahui hakikat yang dipelajari. Dulu para salaf mengutamakan ilmu dibanding perkara lainnya. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad tidak menikah kecuali setelah berumur 40 tahun (agar ia dapat berkonsentrasi menuntut ilmu). Seorang salaf lainnya yakni Abu Bakar bin Al-Anbari pernah dihadiahkan seorang hamba sahaya wanita. Ketika hamba sahaya itu masuk menemuinya, maka hilanglah dari pikirannya beberapa permasalahan yang sedang dibahasnya. Maka Abu Bakar bin Al-Anbari mengembalikan hamba sahaya tersebut agar ia dapat berkonsentrasi kembali dalam bidang keilmuan.” (Mukhtasar Minhajul Qashidin : 14, Ibnu Qudamah).
Imam Ibnu Jama’ah berkata : “Semestinya seorang penuntut ilmu berusaha memutus kegiatan-kegiatan yang dapat menyibukkannya dan menghalanginya dari menuntut ilmu. Sebab jika pikirannya bercabang, niscaya ia tidak akan mampu menyingkap hakikat ilmu dan perkara-perkara yang rumit. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan pada diri seseorang dua pikiran.” (Tadzkiratus Sami' wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Muta'allim : 70-71, Ibnu Jama’ah).
Demikianlah yang diwasiatkan para ulama. Sekarang tinggal ana yang harus menyeleksi kegiatan mana yang harus di-turn off untuk sementara, agar dapat mengembalikan konsentrasi seperti sedia kala.
Allahul Musta’an.
Kamis, 18 November 2010
Ejekan Yang Menumbuhkan Semangat Kesungguhan
Motivasi tidak hanya berasal dari pujian manusia. Terkadang motivasi juga timbul karena merasa diremehkan. Ana pernah membaca beberapa kisah ulama yang pada awalnya tidak berminat menekuni ilmu agama, tapi karena diejek manusia maka ia pun bertekad mendalami ilmu dan berhasil menjadi ahlinya.
Kisah tersebut diantaranya :
Imam Ibnu Hazm (wafat 456 H) pada awalnya tidak berminat menekuni ilmu fikih. Sampai suatu hari ketika ia berusia 26 tahun, beliau memasuki masjid dan langsung duduk (tidak melakukan shalat tahiyatul masjid). Tiba-tiba ada seorang lelaki berkata kepadanya : “Berdirilah dan lakukan shalat sunnah tahiyatul masjid!”. Ibnu Hazm pun langsung berdiri dan melaksanakan shalat tahiyatul masjid.
Di lain waktu, ketika Ibnu Hazm masuk masjid dan langsung shalat tahiyatul masjid, tiba-tiba ada orang yang mencelanya dan berkata: “Duduk, duduk! Ini waktu terlarang untuk shalat! (ketika itu ba’da ashar).”
Ibnu Hazm berkata : “Maka saya pun pergi dan sangat sedih -pada sebagian riwayat dikatakan ia merasa terhina- lalu saya meminta kepada seseorang agar menunjukkan rumah seorang ahli fikih bernama Abi Abdillah bin Dahun. Setelah saya menjumpainya dan menceritakan apa yang menimpa saya, beliau kemudian menyuruh untuk mengkaji kitab Al-Muwattha’ karangan Imam Malik. Saya mulai mempelajari kitab itu selama 3 tahun hingga saya dapat berdiskusi dalam masalah keilmuan.”
(Siyar A’lam an-Nubala' : 18/199, Adz-Dzahabi).
Kisah lainnya :
Seorang ulama yang bernama Khalid bin Abdullah Al-Azhari (wafat 905 H) awalnya adalah seorang yang bertugas menyalakan lampu di masjid Jami’ Al-Azhari. Beliau sehari-hari bekerja menuangkan minyak dan menyalakan lampu agar dapat menerangi para pelajar yang belajar di malam hari.
Pada suatu hari, tatkala ia menuangkan minyak ke lampu, tiba-tiba lampu itu jatuh dan menimpa kursi salah seorang pelajar, dan tumpahan minyak mengenai buku-buku pelajar tersebut. Pelajar itu kontan marah dan mengejek Khalid dengan perkataan yang kasar.
Ejekan tersebut membekas di hatinya, sehingga mulailah ia menyibukkan dirinya dengan mempelajari ilmu, walau usianya ketika itu sudah 36 tahun. Dengan kesungguhannya, Khalid bin Abdullah Al-Azhari menjadi ulama terkenal terutama di bidang nahwu. Diantara karyanya adalah Syarah al-Ajrumiyah, At-Tashrih fi Syarhi Awadhahi al-Masalik, Al-Alghaz an-Nahwiyah, dan sebagainya.
(Hamdan Hamud al-Hajari, Agar Anak Mudah Menghafal Al-Qur’an, hlm. 64).
Kisah tersebut diantaranya :
Imam Ibnu Hazm (wafat 456 H) pada awalnya tidak berminat menekuni ilmu fikih. Sampai suatu hari ketika ia berusia 26 tahun, beliau memasuki masjid dan langsung duduk (tidak melakukan shalat tahiyatul masjid). Tiba-tiba ada seorang lelaki berkata kepadanya : “Berdirilah dan lakukan shalat sunnah tahiyatul masjid!”. Ibnu Hazm pun langsung berdiri dan melaksanakan shalat tahiyatul masjid.
Di lain waktu, ketika Ibnu Hazm masuk masjid dan langsung shalat tahiyatul masjid, tiba-tiba ada orang yang mencelanya dan berkata: “Duduk, duduk! Ini waktu terlarang untuk shalat! (ketika itu ba’da ashar).”
Ibnu Hazm berkata : “Maka saya pun pergi dan sangat sedih -pada sebagian riwayat dikatakan ia merasa terhina- lalu saya meminta kepada seseorang agar menunjukkan rumah seorang ahli fikih bernama Abi Abdillah bin Dahun. Setelah saya menjumpainya dan menceritakan apa yang menimpa saya, beliau kemudian menyuruh untuk mengkaji kitab Al-Muwattha’ karangan Imam Malik. Saya mulai mempelajari kitab itu selama 3 tahun hingga saya dapat berdiskusi dalam masalah keilmuan.”
(Siyar A’lam an-Nubala' : 18/199, Adz-Dzahabi).
Kisah lainnya :
Seorang ulama yang bernama Khalid bin Abdullah Al-Azhari (wafat 905 H) awalnya adalah seorang yang bertugas menyalakan lampu di masjid Jami’ Al-Azhari. Beliau sehari-hari bekerja menuangkan minyak dan menyalakan lampu agar dapat menerangi para pelajar yang belajar di malam hari.
Pada suatu hari, tatkala ia menuangkan minyak ke lampu, tiba-tiba lampu itu jatuh dan menimpa kursi salah seorang pelajar, dan tumpahan minyak mengenai buku-buku pelajar tersebut. Pelajar itu kontan marah dan mengejek Khalid dengan perkataan yang kasar.
Ejekan tersebut membekas di hatinya, sehingga mulailah ia menyibukkan dirinya dengan mempelajari ilmu, walau usianya ketika itu sudah 36 tahun. Dengan kesungguhannya, Khalid bin Abdullah Al-Azhari menjadi ulama terkenal terutama di bidang nahwu. Diantara karyanya adalah Syarah al-Ajrumiyah, At-Tashrih fi Syarhi Awadhahi al-Masalik, Al-Alghaz an-Nahwiyah, dan sebagainya.
(Hamdan Hamud al-Hajari, Agar Anak Mudah Menghafal Al-Qur’an, hlm. 64).
Rabu, 10 November 2010
Allah Mengetahui Segala Rahasia
Diantara kiat untuk melatih keikhlasan adalah dengan selalu mengingat bahwa Allah mengetahui segala yang terbetik di hati kita. Tidak ada suatu apapun yang luput dari pengetahuan-Nya, sebagaimana disabdakan dalam firman-Nya :
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau zahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati (manusia).” (QS.Al Mulk : 13).
Hal ini penting untuk diingatkan, karena kita sebagai manusia -yang tak terbebas dari dosa- ketika hendak melakukan suatu amal kebaikan terkadang terbersit perasaan bangga dan ingin mendapat pujian manusia.
Padahal apalah artinya pujian itu jika kesudahannya adalah penderitaan semata, seperti dikatakan sebagian salaf yang berkata: “Apa gunanya pujian manusia jika akhirnya aku dimasukkan ke dalam neraka?”
Maka, pilihlah kecintaan mana yang engkau suka : Kecintaan Allah Ta’ala atau kecintaan manusia? Jawablah dengan jujur di dalam dada. Karena segala rasa cinta akan terbuka di hari pembalasan nantinya, sebagaimana dikatakan oleh ulama :
سيبقى لكم في مضمر القلب والحشا
سريرة حب يوم تبلى السرائر
“Rahasia cinta akan tetap bersembunyi di hati pemiliknya,
Sampai hari ditampakkannya segala macam rahasia.”
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau zahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati (manusia).” (QS.Al Mulk : 13).
Hal ini penting untuk diingatkan, karena kita sebagai manusia -yang tak terbebas dari dosa- ketika hendak melakukan suatu amal kebaikan terkadang terbersit perasaan bangga dan ingin mendapat pujian manusia.
Padahal apalah artinya pujian itu jika kesudahannya adalah penderitaan semata, seperti dikatakan sebagian salaf yang berkata: “Apa gunanya pujian manusia jika akhirnya aku dimasukkan ke dalam neraka?”
Maka, pilihlah kecintaan mana yang engkau suka : Kecintaan Allah Ta’ala atau kecintaan manusia? Jawablah dengan jujur di dalam dada. Karena segala rasa cinta akan terbuka di hari pembalasan nantinya, sebagaimana dikatakan oleh ulama :
سيبقى لكم في مضمر القلب والحشا
سريرة حب يوم تبلى السرائر
“Rahasia cinta akan tetap bersembunyi di hati pemiliknya,
Sampai hari ditampakkannya segala macam rahasia.”
Senin, 08 November 2010
Kata Adz-Dzakhiirah Dalam Kitab-Kitab Ulama
Adz-Dzakhiirah dalam bahasa arab dari kata dzakhara-yadzkhuru-dzukhran atau idzdzakhara-yadzdzakhiru (dengan hurul dzal) atau iddakhara-yaddakhiru (dengan huruf dal) yang artinya menyimpan atau menabung. Sedangkan adz-Dzakhiirah berarti sesuatu yang disimpan, simpanan atau tabungan.
Kata adz-Dzakhiirah banyak menghiasi sampul kitab ulama, diantaranya :
- Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Bassam asy-Syantrini (wafat 542 H) seorang sastrawan dari Andalusia, beliau memiliki sebuah kitab yang berjudul adz-Dzakhiirah fi Mahasin al-Jazirah, yang berjumlah 8 jilid. Kitab ini berisi biografi para sastrawan dan ulama yang hidup sebelum beliau hingga masa beliau.
- Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi (wafat 684 H) yang lebih akrab di telinga kita dengan sebutan al-Qarafi. Beliau memiliki sebuah kitab yang berjumlah 14 jilid dengan judul adz-Dzakhiirah. Ini adalah kitab fikih bermadzhab Maliki yang membahas permasalahan ushul dan furu’ seputar madzhab. Disebutkan bahwa kitab ini merupakan kitab induk madzhab Maliki yang paling penting pada abad ke 7 Hijriah.
- Ada sebuah kitab yang berjudul Dzakhaa’ir al-'Uqba fi Manaqib Dzawi al-Qurba karya al-Hafizh Muhibuddin Ahmad Abdullah ath-Thabari (wafat 694 H), seorang ahli hadits dan ulama yang bermadzhab asy-Syafi’i. Kitab ini mengulas seputar sifat-sifat terpuji dan kebaikan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dzakhaa’ir yang ada pada nama kitab ini merupakan bentuk jamak dari kata Dzakhiirah.
- Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar yang populer dengan sebutan Ibnul Qayyim (atau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, wafat 751 H), memiliki sebuah kitab yang berjudul ‘Uddah ash-Shabirin wa Dzakhiirah asy-Syakirin. Sebuah kitab yang membahas permasalahan tazkiyatun nufus (pensucian jiwa) dari sisi kesabaran, apa itu sabar, beberapa keutamaan sabar, macam-macam sabar, sabar terpuji dan sabar tercela, faktor-faktor yang dapat menumbuhkan kesabaran, kesabaran yang paling berat bagi jiwa, dst.
(Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol.7 No.5 edisi 47 Th.1430 H, hlm 55-57).
Kata adz-Dzakhiirah banyak menghiasi sampul kitab ulama, diantaranya :
- Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Bassam asy-Syantrini (wafat 542 H) seorang sastrawan dari Andalusia, beliau memiliki sebuah kitab yang berjudul adz-Dzakhiirah fi Mahasin al-Jazirah, yang berjumlah 8 jilid. Kitab ini berisi biografi para sastrawan dan ulama yang hidup sebelum beliau hingga masa beliau.
- Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi (wafat 684 H) yang lebih akrab di telinga kita dengan sebutan al-Qarafi. Beliau memiliki sebuah kitab yang berjumlah 14 jilid dengan judul adz-Dzakhiirah. Ini adalah kitab fikih bermadzhab Maliki yang membahas permasalahan ushul dan furu’ seputar madzhab. Disebutkan bahwa kitab ini merupakan kitab induk madzhab Maliki yang paling penting pada abad ke 7 Hijriah.
- Ada sebuah kitab yang berjudul Dzakhaa’ir al-'Uqba fi Manaqib Dzawi al-Qurba karya al-Hafizh Muhibuddin Ahmad Abdullah ath-Thabari (wafat 694 H), seorang ahli hadits dan ulama yang bermadzhab asy-Syafi’i. Kitab ini mengulas seputar sifat-sifat terpuji dan kebaikan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dzakhaa’ir yang ada pada nama kitab ini merupakan bentuk jamak dari kata Dzakhiirah.
- Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar yang populer dengan sebutan Ibnul Qayyim (atau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, wafat 751 H), memiliki sebuah kitab yang berjudul ‘Uddah ash-Shabirin wa Dzakhiirah asy-Syakirin. Sebuah kitab yang membahas permasalahan tazkiyatun nufus (pensucian jiwa) dari sisi kesabaran, apa itu sabar, beberapa keutamaan sabar, macam-macam sabar, sabar terpuji dan sabar tercela, faktor-faktor yang dapat menumbuhkan kesabaran, kesabaran yang paling berat bagi jiwa, dst.
(Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol.7 No.5 edisi 47 Th.1430 H, hlm 55-57).
Kamis, 04 November 2010
Dunia Yang Fana
Seorang salaf menulis surat kepada saudaranya yang isinya : “Wahai saudaraku, engkau bercita-cita akan selamanya hidup di dunia, tetapi ketahuilah sebenarnya engkau hanyalah seorang musafir saja. Engkau berjalan dengan cepat, dan engkau akan disambut oleh kematian. Sementara dunia telah menggulung tikarnya dibelakangmu, melipat umurmu yang telah berlalu dan waktumu tidak bisa diulang lagi.” (Jami’ul Ulum wal Hikam : 381, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Demikianlah saudaraku, perhatikanlah banyak manusia di sekeliling kita yang berlomba-lomba ingin memperpanjang usianya. Apakah mereka lupa atau berpura-pura lupa bahwa tidak ada yang abadi di dunia? Ataukah tidak ada lagi kata ‘kematian’ dalam kamus mereka? Alangkah sangat-sangat mengherankan. Sungguh, cinta dunia telah membuat manusia lupa. Lupa akan hakikat dirinya, dan lupa bahwa dunia adalah fana.
Al-Hasan berkata : “Kalian berangan-angan mendapatkan umur seperti umur umat Nabi Nuh alaihi salam. Padahal kematian mengetuk pintumu setiap malam.” (Az-Zuhd : 47, Al-Hasan Al-Bashri).
Perumpamaan pecinta dunia dan dunia yang menungganginya, bak perkataan seseorang yang berkata :
يؤمل دنيا لتبقى له
فوافى المنية قبل الأمل
حثيثا يروي أصول الفسيل
فعاش الفسيل ومات الرجل
“Dia memilih dunia untuk kekal bersamanya,
Padahal kematian mendatanginya sebelum angannya terlaksana,
Dengan cepat batang kurma ia sirami,
Batang kurmanya tetap hidup sedangkan penyiramnya telah mati.”
Demikianlah saudaraku, perhatikanlah banyak manusia di sekeliling kita yang berlomba-lomba ingin memperpanjang usianya. Apakah mereka lupa atau berpura-pura lupa bahwa tidak ada yang abadi di dunia? Ataukah tidak ada lagi kata ‘kematian’ dalam kamus mereka? Alangkah sangat-sangat mengherankan. Sungguh, cinta dunia telah membuat manusia lupa. Lupa akan hakikat dirinya, dan lupa bahwa dunia adalah fana.
Al-Hasan berkata : “Kalian berangan-angan mendapatkan umur seperti umur umat Nabi Nuh alaihi salam. Padahal kematian mengetuk pintumu setiap malam.” (Az-Zuhd : 47, Al-Hasan Al-Bashri).
Perumpamaan pecinta dunia dan dunia yang menungganginya, bak perkataan seseorang yang berkata :
يؤمل دنيا لتبقى له
فوافى المنية قبل الأمل
حثيثا يروي أصول الفسيل
فعاش الفسيل ومات الرجل
“Dia memilih dunia untuk kekal bersamanya,
Padahal kematian mendatanginya sebelum angannya terlaksana,
Dengan cepat batang kurma ia sirami,
Batang kurmanya tetap hidup sedangkan penyiramnya telah mati.”
Selasa, 26 Oktober 2010
Mengapa Ulama Banyak Yang Miskin ?
Sepanjang pembacaan ana yang terbatas mengenai biografi ulama, didapatkan kebanyakan dari mereka hidup dalam kemiskinan. Memang ada juga ulama yang kaya raya, tapi mayoritas ulama berada dalam kemiskinan. Begitu identiknya ulama dan kemiskinan sampai-sampai ada ungkapan penyair yang mengatakan bahwa kemiskinan tempat tinggalnya di surban para fuqaha.
Ada juga yang mengatakan : “Kemiskinan ulama adalah kemiskinan yang dipilih, sedangkan kemiskinan fuqara adalah kemiskinan karena terpaksa”. Maksudnya para ulama memang memilih miskin karena fokus mengejar akhirat dan meninggalkan dunia. Mereka juga menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta kepada manusia, terutama dari penguasa. Dan sungguh, meminta kepada Allah merupakan kemuliaan, sedangkan meminta kepada manusia hanyalah kehinaan yang didapatkan. Sebagaimana pernah dinasihatkan :
لا تسألن بني آدم حاجة
وسل الذي أبوابه لا تحجب
الله يغضب إن تركت سؤاله
وبني آدم حين يسأل يغضب
“Jangan sekali-kali engkau meminta kepada bani Adam satu permintaan,
Mintalah kepada Zat yang pintu-pintu-Nya tidak berada dalam ketutupan,
Allah akan marah jika engkau tidak mengajukan kepada-Nya permintaan,
Sedangkan bani Adam akan marah jika engkau mengajukan suatu permohonan.”
Sebab lain dari kemiskinan ulama adalah karena mereka sangat mencintai ilmu dibanding lainnya. Sehingga mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan ilmu yang di inginkannya, walaupun harus mengorbankan harta benda yang ada. Lihatlah kisah-kisah mereka :
- Al-Hafiz Abul A’la al-Hamdani menjual rumahnya untuk membeli beberapa kitab seharga 60 dinar. (Siyar A’lam An-Nubala : 21/40, adz-Dzahabi).
- Imam Malik menjual kayu atap rumahnya untuk biaya menuntut ilmu. (Tartibul Madarik : 1/130, al-Qadhi Iyadh).
- Syu’bah bin Hajaj menjual harta warisan yang didapatkannya untuk bekalnya belajar. (Tazkirah al-Huffaz : 1/195, adz-Dzhabi).
- Yahya bin Ma’in mendapat warisan lebih dari sejuta dirham, semuanya habis ia gunakan untuk biaya menuntut ilmu. (Al-Manhaj al-Ahmadi : 1/95, al-Ulaimi).
- Shalih bin Ahmad menjual tanahnya seharga 700 dinar. Uangnya beliau bagi-bagikan untuk para penuntut ilmu yang belajar kepadanya. (Tazkirah al-Huffaz : 4/1249, adz-Dzahabi).
- Ziyad bin Abdullah al-Buka’i menjual rumahnya untuk bekalnya mengadakan rihlah menuntut ilmu. (Tahzibut Tahzib : 3/375, Ibnu Hajar Asqalani).
- Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab pernah membeli kitab seharga 500 dinar. Karena tidak memiliki uang untuk membayarnya, beliau menjual rumahnya. (Dzail Thabaqat Hanabilah : 1/319, Ibnu Rajab).
- Abdul Haq bin Muhammad bin Harun as-Suhami menjual perhiasan, perabot serta rumahnya untuk membeli kitab “Syarah al-Mudawanah”. (Ad-Dibaj al-Mudzahab : 3/1013, Ibnu Farhun al-Maliki).
Serta masih banyak kisah lainnya.
Kemiskinan yang menimpa ulama tidaklah membuat mereka patah dan lemah semangat dalam berkarya. Karya-karya mereka tetap mengalir bagaikan air. Mungkin karena niat yang ikhlas mencari ridha Allah semata, lalu Allah memberi barokah pada ilmu dan umur mereka. Semestinya kemiskinan memang bukan suatu penghalang, karena yang menjadi pendorong utama adalah niat dan kemauan. Selain itu, miskin sesungguhnya bukanlah miskin harta, tetapi miskin sesungguhnya adalah miskin ilmu dan miskin akhlak mulia.
Ada juga yang mengatakan : “Kemiskinan ulama adalah kemiskinan yang dipilih, sedangkan kemiskinan fuqara adalah kemiskinan karena terpaksa”. Maksudnya para ulama memang memilih miskin karena fokus mengejar akhirat dan meninggalkan dunia. Mereka juga menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta kepada manusia, terutama dari penguasa. Dan sungguh, meminta kepada Allah merupakan kemuliaan, sedangkan meminta kepada manusia hanyalah kehinaan yang didapatkan. Sebagaimana pernah dinasihatkan :
لا تسألن بني آدم حاجة
وسل الذي أبوابه لا تحجب
الله يغضب إن تركت سؤاله
وبني آدم حين يسأل يغضب
“Jangan sekali-kali engkau meminta kepada bani Adam satu permintaan,
Mintalah kepada Zat yang pintu-pintu-Nya tidak berada dalam ketutupan,
Allah akan marah jika engkau tidak mengajukan kepada-Nya permintaan,
Sedangkan bani Adam akan marah jika engkau mengajukan suatu permohonan.”
Sebab lain dari kemiskinan ulama adalah karena mereka sangat mencintai ilmu dibanding lainnya. Sehingga mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan ilmu yang di inginkannya, walaupun harus mengorbankan harta benda yang ada. Lihatlah kisah-kisah mereka :
- Al-Hafiz Abul A’la al-Hamdani menjual rumahnya untuk membeli beberapa kitab seharga 60 dinar. (Siyar A’lam An-Nubala : 21/40, adz-Dzahabi).
- Imam Malik menjual kayu atap rumahnya untuk biaya menuntut ilmu. (Tartibul Madarik : 1/130, al-Qadhi Iyadh).
- Syu’bah bin Hajaj menjual harta warisan yang didapatkannya untuk bekalnya belajar. (Tazkirah al-Huffaz : 1/195, adz-Dzhabi).
- Yahya bin Ma’in mendapat warisan lebih dari sejuta dirham, semuanya habis ia gunakan untuk biaya menuntut ilmu. (Al-Manhaj al-Ahmadi : 1/95, al-Ulaimi).
- Shalih bin Ahmad menjual tanahnya seharga 700 dinar. Uangnya beliau bagi-bagikan untuk para penuntut ilmu yang belajar kepadanya. (Tazkirah al-Huffaz : 4/1249, adz-Dzahabi).
- Ziyad bin Abdullah al-Buka’i menjual rumahnya untuk bekalnya mengadakan rihlah menuntut ilmu. (Tahzibut Tahzib : 3/375, Ibnu Hajar Asqalani).
- Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab pernah membeli kitab seharga 500 dinar. Karena tidak memiliki uang untuk membayarnya, beliau menjual rumahnya. (Dzail Thabaqat Hanabilah : 1/319, Ibnu Rajab).
- Abdul Haq bin Muhammad bin Harun as-Suhami menjual perhiasan, perabot serta rumahnya untuk membeli kitab “Syarah al-Mudawanah”. (Ad-Dibaj al-Mudzahab : 3/1013, Ibnu Farhun al-Maliki).
Serta masih banyak kisah lainnya.
Kemiskinan yang menimpa ulama tidaklah membuat mereka patah dan lemah semangat dalam berkarya. Karya-karya mereka tetap mengalir bagaikan air. Mungkin karena niat yang ikhlas mencari ridha Allah semata, lalu Allah memberi barokah pada ilmu dan umur mereka. Semestinya kemiskinan memang bukan suatu penghalang, karena yang menjadi pendorong utama adalah niat dan kemauan. Selain itu, miskin sesungguhnya bukanlah miskin harta, tetapi miskin sesungguhnya adalah miskin ilmu dan miskin akhlak mulia.
Selasa, 19 Oktober 2010
Beratnya Sebuah Perjuangan
Dulu ada seorang teman yang mengeluhkan sulitnya belajar bahasa Arab. Ada juga yang mengeluh karena beratnya menghafal hadits. Tak kurang juga yang mengadu susahnya belajar ilmu tajwid. Dan masih banyak keluhan-keluhan lainnya dalam menuntut ilmu.
Ya, memang demikianlah konsekuensi sebuah perjuangan. Ilmu tidaklah didapat dengan bersenang-senang. Dengan jiwa yang malas dan dalam waktu yang singkat. Sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang yang mengira ilmu sangatlah mudah untuk didapatkan. Ia mengira cukuplah membeli beberapa buku, lalu membacanya 1-2 jam sehari sambil bermalas-malasan di atas sofa. Kemudian ia meyakini setelah berlalu setahun dua tahun maka ia dapat menguasai seluruh cabang ilmu agama.
Yang demikian itu adalah pandangan yang keliru, harapan yang mustahil, kerusakannya besar, dan bahayanya sangat nyata, karena menggambarkan semangat yang rendah dan menunjukkan ketidaksabaran dalam menuntut ilmu yang mulia.
Imam Syafi’i berkata : “Seseorang tidak akan mencapai hasil dalam bidang ini sampai kefakiran menimpanya, dan dia mendahulukan ilmu atas segala sesuatunya”. (Siyar A’lam an-Nubala : 10/89, Adz-Dzahabi).
Yahya bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak dapat diperoleh dengan bersantai-santai”. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi : 1/91, Ibnu Abdil Barr).
Ketergesa-gesaan dalam belajar akan membuahkan hasil sebagaimana disebutkan kaidah fiqih yang masyhur :
من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه
“Barangsiapa tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka akan dihukum dengan tidak mendapatkannya”
Maksudnya ketidaksabaran dalam menuntut ilmu akan berakibat tidak dapat menguasai ilmu secara sempurna. Apalagi jika ditambah niat yang rusak seperti memburu pujian, atau supaya manusia memanggilnya dengan panggilan terhormat. Maka jiwa yang rendah akan segera tergesa-gesa untuk “turun gunung” sebelum waktunya.
Maka tiada kata lain bagi saudara-saudaraku penuntut ilmu -termasuk penulis sendiri- selain pesan :
Bersabarlah dalam menuntut ilmu. Hadapilah semua rintangan dalam belajar. Titilah ujian dengan penuh semangat. Dan ketahuilah bahwa penghalang utama adalah berasal dari dalam diri sendiri. Maka jadikanlah perkataan Ibnu Hisyam ini sebagai slogan :
ومن يصطبر للعلم يظفر بنيله
ومن يخطب الحسناء يصبر على البذل
ومن لم يذل النفس في طلب العلا
يسيرا يعش دهرا طويلا أخا ذل
“Barangsiapa berusaha untuk sabar dalam mencari ilmu niscaya ia akan mendapatkannya,
(Sebagaimana) barangsiapa meminang wanita yang cantik maka ia akan sabar dalam (membayar) maharnya,
Barangsiapa tidak menghinakan dirinya dalam meraih kemuliaan sesaat saja,
Ia pasti akan hidup dalam masa yang panjang dalam keadaan hina dina.”
Ya, memang demikianlah konsekuensi sebuah perjuangan. Ilmu tidaklah didapat dengan bersenang-senang. Dengan jiwa yang malas dan dalam waktu yang singkat. Sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang yang mengira ilmu sangatlah mudah untuk didapatkan. Ia mengira cukuplah membeli beberapa buku, lalu membacanya 1-2 jam sehari sambil bermalas-malasan di atas sofa. Kemudian ia meyakini setelah berlalu setahun dua tahun maka ia dapat menguasai seluruh cabang ilmu agama.
Yang demikian itu adalah pandangan yang keliru, harapan yang mustahil, kerusakannya besar, dan bahayanya sangat nyata, karena menggambarkan semangat yang rendah dan menunjukkan ketidaksabaran dalam menuntut ilmu yang mulia.
Imam Syafi’i berkata : “Seseorang tidak akan mencapai hasil dalam bidang ini sampai kefakiran menimpanya, dan dia mendahulukan ilmu atas segala sesuatunya”. (Siyar A’lam an-Nubala : 10/89, Adz-Dzahabi).
Yahya bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak dapat diperoleh dengan bersantai-santai”. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi : 1/91, Ibnu Abdil Barr).
Ketergesa-gesaan dalam belajar akan membuahkan hasil sebagaimana disebutkan kaidah fiqih yang masyhur :
من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه
“Barangsiapa tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka akan dihukum dengan tidak mendapatkannya”
Maksudnya ketidaksabaran dalam menuntut ilmu akan berakibat tidak dapat menguasai ilmu secara sempurna. Apalagi jika ditambah niat yang rusak seperti memburu pujian, atau supaya manusia memanggilnya dengan panggilan terhormat. Maka jiwa yang rendah akan segera tergesa-gesa untuk “turun gunung” sebelum waktunya.
Maka tiada kata lain bagi saudara-saudaraku penuntut ilmu -termasuk penulis sendiri- selain pesan :
Bersabarlah dalam menuntut ilmu. Hadapilah semua rintangan dalam belajar. Titilah ujian dengan penuh semangat. Dan ketahuilah bahwa penghalang utama adalah berasal dari dalam diri sendiri. Maka jadikanlah perkataan Ibnu Hisyam ini sebagai slogan :
ومن يصطبر للعلم يظفر بنيله
ومن يخطب الحسناء يصبر على البذل
ومن لم يذل النفس في طلب العلا
يسيرا يعش دهرا طويلا أخا ذل
“Barangsiapa berusaha untuk sabar dalam mencari ilmu niscaya ia akan mendapatkannya,
(Sebagaimana) barangsiapa meminang wanita yang cantik maka ia akan sabar dalam (membayar) maharnya,
Barangsiapa tidak menghinakan dirinya dalam meraih kemuliaan sesaat saja,
Ia pasti akan hidup dalam masa yang panjang dalam keadaan hina dina.”
Minggu, 17 Oktober 2010
Haji Yang Mabrur
Menjelang musim haji ini sering kita dengar ucapan kepada calon jamaah haji : “Semoga menjadi haji yang mabrur”.
Apakah definisi haji mabrur itu? Imam Ibnu Abdil Barr berkata : “Haji mabrur yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan dan (berangkat haji) dari harta yang halal”. (At-Tamhid : 22/39, Ibnu Abdil Barr; Masa’il Yaktsuru Su’al ‘Ahna : 12-13, Abdullah bin Shalih al-Fauzan).
Maksud tiada riya’ dan sum’ah adalah mengerjakan haji ikhlas untuk Allah semata dan tidak berhasrat untuk dilihat dan didengar manusia dalam amal perbuatannya.
Tapi lihatlah fenomena yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Rasanya ramai calon jamaah haji yang jauh-jauh hari sebelumnya (bahkan ada yang bertahun-tahun sebelumnya) telah “mengiklankan” dirinya kemana-mana bahwa ia akan berangkat haji. Hal ini menimbulkan pertanyaan : untuk siapakah ia berhaji? Untuk Allah atau untuk diketahui manusia? Jika sekedar pemberitahuan, maka mengapa tidak mencukupkan dengan memberi kabar sekedarnya saja (lewat hp, sms, surat, e-mail, dsb). Bahkan kebiasaan masyarakat di tempat ana, calon jamaah haji sebelum berangkat membuat selamatan ala-ala walimah pernikahan dengan mengundang banyak orang, terkadang ditambah dengan spanduk besar di depan rumah bertuliskan : “Akan berangkat haji Fulan bin Fulan” yang dapat dibaca ramai manusia yang melewati rumahnya. Maka, dimanakah keikhlasan itu? Wallahul musta’an.
Betapa benarnya perkataan seorang tabi’in yang mulia, Syuraih al-Qadhi yang berkata : “Rombongan yang berangkat haji banyak, tetapi orang yang haji sedikit. Betapa banyak orang yang mengerjakan kebaikan, tetapi sangat sedikit orang yang meniatkan ikhlas mengharap ridha-Nya.” (Lathaif al-Ma’arif : 419-120, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Apakah definisi haji mabrur itu? Imam Ibnu Abdil Barr berkata : “Haji mabrur yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan dan (berangkat haji) dari harta yang halal”. (At-Tamhid : 22/39, Ibnu Abdil Barr; Masa’il Yaktsuru Su’al ‘Ahna : 12-13, Abdullah bin Shalih al-Fauzan).
Maksud tiada riya’ dan sum’ah adalah mengerjakan haji ikhlas untuk Allah semata dan tidak berhasrat untuk dilihat dan didengar manusia dalam amal perbuatannya.
Tapi lihatlah fenomena yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Rasanya ramai calon jamaah haji yang jauh-jauh hari sebelumnya (bahkan ada yang bertahun-tahun sebelumnya) telah “mengiklankan” dirinya kemana-mana bahwa ia akan berangkat haji. Hal ini menimbulkan pertanyaan : untuk siapakah ia berhaji? Untuk Allah atau untuk diketahui manusia? Jika sekedar pemberitahuan, maka mengapa tidak mencukupkan dengan memberi kabar sekedarnya saja (lewat hp, sms, surat, e-mail, dsb). Bahkan kebiasaan masyarakat di tempat ana, calon jamaah haji sebelum berangkat membuat selamatan ala-ala walimah pernikahan dengan mengundang banyak orang, terkadang ditambah dengan spanduk besar di depan rumah bertuliskan : “Akan berangkat haji Fulan bin Fulan” yang dapat dibaca ramai manusia yang melewati rumahnya. Maka, dimanakah keikhlasan itu? Wallahul musta’an.
Betapa benarnya perkataan seorang tabi’in yang mulia, Syuraih al-Qadhi yang berkata : “Rombongan yang berangkat haji banyak, tetapi orang yang haji sedikit. Betapa banyak orang yang mengerjakan kebaikan, tetapi sangat sedikit orang yang meniatkan ikhlas mengharap ridha-Nya.” (Lathaif al-Ma’arif : 419-120, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Kamis, 07 Oktober 2010
Jagalah Rahasia Saudaramu
Diantara akhlak mulia seorang muslim adalah menjaga rahasia yang diamanahkan kepadanya.
Rahasia didefiniskan ulama sebagai : “Segala perkara yang disembunyikan dalam dirimu dan engkau tidak memperlihatkannya kepada orang lain, untuk menolak mudarat dan meraih mafsadat, atau engkau khusus menceritakannya kepada orang tertentu yang dipercaya, tidak selainnya” (Hatstsul Akhyar ‘ala Hifzhil Asrar : 10, Abdullah bin Ibrahim).
Sayangnya, pada zaman ini banyak sekali manusia yang membocorkan rahasia temannya, apalagi jika antara dia dan temannya terdapat perselisihan dan permusuhan -padahal dulunya akrab- maka ia tak segan-segan membocorkan rahasia tersebut kepada khalayak ramai.
Padahal membocorkan rahasia adalah haram hukumnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian dalam keadaan mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27).
As-Safarini berkata : “Haram bagi manusia yang mukallaf untuk menyebarkan rahasia.” (Ghidza’ul Albab : 1/90).
Al-Ghazali berkata : “Menyebarkan rahasia hukumnya haram karena hal tersebut menyakiti dan merendahkan hak kawan. Membocorkan rahasia termasuk perbuatan khianat.” (Ihya’ Ulumuddin : 3/1860).
Maka sebagai seorang yang berakal, hendaklah kita berhati-hati dalam menceritakan rahasia kita kepada orang lain. Pastikan orang yang kita ceritakan seorang yang dikenal mempunyai sifat amanah, takwa, takut kepada Allah, dan dapat memberi nasihat yang baik dikala senang maupun susah.
Dan bagi pemegang rahasia, maka simpanlah baik-baik rahasia tersebut. Karena jika rahasia telah bocor maka sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib : “Rahasiamu adalah tawananmu, apabila ia bocor maka engkau yang berbalik menjadi tawanannya.” (Adabud Dunya wad Din : 483, al-Mawardi).
Rahasia didefiniskan ulama sebagai : “Segala perkara yang disembunyikan dalam dirimu dan engkau tidak memperlihatkannya kepada orang lain, untuk menolak mudarat dan meraih mafsadat, atau engkau khusus menceritakannya kepada orang tertentu yang dipercaya, tidak selainnya” (Hatstsul Akhyar ‘ala Hifzhil Asrar : 10, Abdullah bin Ibrahim).
Sayangnya, pada zaman ini banyak sekali manusia yang membocorkan rahasia temannya, apalagi jika antara dia dan temannya terdapat perselisihan dan permusuhan -padahal dulunya akrab- maka ia tak segan-segan membocorkan rahasia tersebut kepada khalayak ramai.
Padahal membocorkan rahasia adalah haram hukumnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian dalam keadaan mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27).
As-Safarini berkata : “Haram bagi manusia yang mukallaf untuk menyebarkan rahasia.” (Ghidza’ul Albab : 1/90).
Al-Ghazali berkata : “Menyebarkan rahasia hukumnya haram karena hal tersebut menyakiti dan merendahkan hak kawan. Membocorkan rahasia termasuk perbuatan khianat.” (Ihya’ Ulumuddin : 3/1860).
Maka sebagai seorang yang berakal, hendaklah kita berhati-hati dalam menceritakan rahasia kita kepada orang lain. Pastikan orang yang kita ceritakan seorang yang dikenal mempunyai sifat amanah, takwa, takut kepada Allah, dan dapat memberi nasihat yang baik dikala senang maupun susah.
Dan bagi pemegang rahasia, maka simpanlah baik-baik rahasia tersebut. Karena jika rahasia telah bocor maka sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib : “Rahasiamu adalah tawananmu, apabila ia bocor maka engkau yang berbalik menjadi tawanannya.” (Adabud Dunya wad Din : 483, al-Mawardi).
Senin, 04 Oktober 2010
Kunyah
Sebagian rekan ana biasa memanggil ana dengan nama kunyah : Abu Unaisah, karena Unaisah nama anak pertama ana. Ada juga yang memanggil ana dengan nama kunyah : Abu Abdillah, karena nama tersebut yang ana pakai sebagai ‘nama pena’ (nama dalam penulisan artikel yang beredar dikalangan rekan-rekan).
Berkaitan dengan kunyah, ada sedikit faidah mengenainya :
- Kunyah hukumnya tidak wajib. Namun kunyah merupakan adab dalam pergaulan sebagai penghormatan kepada seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
أكنيه حين أناديه لأكرمه
ولا ألقبه والسوءة اللقب
“Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan baginya,
Dan aku tidak memanggilnya dengan gelaran karena gelar tidak sesuai untuknya.”
- Panggilan kunyah untuk laki-laki selain dengan “Abu” juga dapat dengan “Ibnu”, sedangkan bagi perempuan selain dengan “Ummu” atau juga dapat dengan “Bintu”.
- Kunyah apabila digabung dengan nama asli maka dapat diawalkan seperti : “Abu Hafsh Umar bin Khattab”. Selain itu dapat juga diakhirkan seperti : “Bakar Abu Zaid”. Tapi yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena tujuan dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada zat (orang yang bersangkutan) bukan kepada sifat. (Syarh Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah Ibni Malik : 1/115, dan al-Qawa’id al-Asasiyyah li Lughatil Arabiyyah : 67, Sayyid Ahmad al-Hasyimi).
- Kunyah dapat dipakai oleh seseorang walaupun belum memiliki anak, bahkan kunyah dapat diberikan kepada anak kecil karena menurut ulama tujuannya adalah memberi rasa optimisme bahwa dia akan hidup panjang hingga mempunyai anak. (Bulughul Amani fi Asrari Fathur Rabbani : 2/2013. Lihat juga Tuhfatul Maulud : 232, Ibnul Qayyim, serta Aunul Ma’bud : 13/212, Adzim Abadi).
- Apakah boleh memakai kunyah Abul Qasim (Abul Qasim adalah kunyah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam)? Para ulama berselisih dalam hal ini menjadi 3 pendapat : boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, dan tidak boleh ketika Nabi masih hidup dan boleh ketika Nabi telah wafat. Yang tidak membolehkan seperti Ibnul Qayyim yang berkata : “Pendapat yang rajih adalah dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qasim” (Zaadul Ma'ad : 2/347). Sedangkan yang membolehkan seperti al-Lalikai, ath-Thabarani, Ibnu Asakir. Perbedaan pendapat dalam masalah ini luas dan masyhur dikalangan ulama, maka hendaklah berlapang dada dalam masalah ini. (Lihat Ahkamul Maulud fi Sunnah Muthahharah : 95-103, Salim asy-Syibli dan Muhammad Khalifah ar-Rabbah).
- Kunyah banyak dipakai oleh para ulama dan para perawi hadits, sehingga Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Banyak sekali para perawi hadits yang cukup disebut kunyahnya tanpa perlu menyebutkan nama asli dan nasab mereka, karena mereka telah masyhur dengan nama kunyah tersebut.” (Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ : 2/77).
- Diperkirakan ada 30 kitab yang membahas khusus tentang kunyah perawi hadits (!), seperti kitab al-Kuna karangan Imam Muslim, al-Kuna wa al-Asma’ karangan ad-Daulabi, al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim, an-Nasa’i, Ibnu Mandah, Ibnul Madini dan lain-lain. (Muqaddimah al-Muqtana fil Kuna : 22-31 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Murad, lihat al-Baitsul Hatsits : 2/594, Syaikh Ahmad Syakir).
Demikian sedikit pembahasan mengenai kunyah, semoga bermanfaat.
(P/s : Tulisan ini banyak mengambil faidah dari pembahasan mengenai kunyah pada majalah Al-Furqon edisi 11 th ke-9/1431 H, hal. 47-49).
Berkaitan dengan kunyah, ada sedikit faidah mengenainya :
- Kunyah hukumnya tidak wajib. Namun kunyah merupakan adab dalam pergaulan sebagai penghormatan kepada seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
أكنيه حين أناديه لأكرمه
ولا ألقبه والسوءة اللقب
“Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan baginya,
Dan aku tidak memanggilnya dengan gelaran karena gelar tidak sesuai untuknya.”
- Panggilan kunyah untuk laki-laki selain dengan “Abu” juga dapat dengan “Ibnu”, sedangkan bagi perempuan selain dengan “Ummu” atau juga dapat dengan “Bintu”.
- Kunyah apabila digabung dengan nama asli maka dapat diawalkan seperti : “Abu Hafsh Umar bin Khattab”. Selain itu dapat juga diakhirkan seperti : “Bakar Abu Zaid”. Tapi yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena tujuan dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada zat (orang yang bersangkutan) bukan kepada sifat. (Syarh Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah Ibni Malik : 1/115, dan al-Qawa’id al-Asasiyyah li Lughatil Arabiyyah : 67, Sayyid Ahmad al-Hasyimi).
- Kunyah dapat dipakai oleh seseorang walaupun belum memiliki anak, bahkan kunyah dapat diberikan kepada anak kecil karena menurut ulama tujuannya adalah memberi rasa optimisme bahwa dia akan hidup panjang hingga mempunyai anak. (Bulughul Amani fi Asrari Fathur Rabbani : 2/2013. Lihat juga Tuhfatul Maulud : 232, Ibnul Qayyim, serta Aunul Ma’bud : 13/212, Adzim Abadi).
- Apakah boleh memakai kunyah Abul Qasim (Abul Qasim adalah kunyah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam)? Para ulama berselisih dalam hal ini menjadi 3 pendapat : boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, dan tidak boleh ketika Nabi masih hidup dan boleh ketika Nabi telah wafat. Yang tidak membolehkan seperti Ibnul Qayyim yang berkata : “Pendapat yang rajih adalah dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qasim” (Zaadul Ma'ad : 2/347). Sedangkan yang membolehkan seperti al-Lalikai, ath-Thabarani, Ibnu Asakir. Perbedaan pendapat dalam masalah ini luas dan masyhur dikalangan ulama, maka hendaklah berlapang dada dalam masalah ini. (Lihat Ahkamul Maulud fi Sunnah Muthahharah : 95-103, Salim asy-Syibli dan Muhammad Khalifah ar-Rabbah).
- Kunyah banyak dipakai oleh para ulama dan para perawi hadits, sehingga Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Banyak sekali para perawi hadits yang cukup disebut kunyahnya tanpa perlu menyebutkan nama asli dan nasab mereka, karena mereka telah masyhur dengan nama kunyah tersebut.” (Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ : 2/77).
- Diperkirakan ada 30 kitab yang membahas khusus tentang kunyah perawi hadits (!), seperti kitab al-Kuna karangan Imam Muslim, al-Kuna wa al-Asma’ karangan ad-Daulabi, al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim, an-Nasa’i, Ibnu Mandah, Ibnul Madini dan lain-lain. (Muqaddimah al-Muqtana fil Kuna : 22-31 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Murad, lihat al-Baitsul Hatsits : 2/594, Syaikh Ahmad Syakir).
Demikian sedikit pembahasan mengenai kunyah, semoga bermanfaat.
(P/s : Tulisan ini banyak mengambil faidah dari pembahasan mengenai kunyah pada majalah Al-Furqon edisi 11 th ke-9/1431 H, hal. 47-49).
Senin, 27 September 2010
Etika Menyampaikan Ilmu
Termasuk diantara tanda kefaqihan seseorang adalah menyampaikan ilmu pada waktu yang tepat. Jangan sampai ilmu yang disampaikannya dikeluarkan pada waktu orang sedang tidak berminat untuk mendengar ‘ceramah’nya. Hal ini penting untuk diperhatikan, karena jika tidak, maka yang terjadi adalah ketidaksenangan terhadap ilmu yang disampaikan. Dan kebencian terhadap ilmu yang disampaikan akan menutup jalan menuju pintu kebaikan.
Ibnu Hajar Asqalani berkata : “Bahwasanya makruh untuk berbicara dengan orang yang kurang menghargai kita. Sesungguhnya tidak semestinya menyebarkan ilmu kepada orang yang tidak menginginkannya. Sebaliknya, bicaralah kepada siapa yang ingin mendengarkan, karena hal tersebut lebih pantas dan lebih memberikan manfaat”. (Fathul Baari : 11/143).
Imam Syafi’i pernah bersyair :
ولا تعطين الرأي من لايريده
فلا أنت محمود ولا الرأي نافعه
“Janganlah menyampaikan pendapat kepada orang yang tidak menginginkannya,
Karena kau tidak akan mendapat pujian, tidak pula pendapatmu akan memberi manfaat baginya.”
Mutharrif berkata : “Janganlah engkau berbicara kepada orang yang tidak menginginkan pembicaraanmu.” (Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi wa Adabi as-Sami’ : 731).
Mughirah berkata : “Sesungguhnya aku merasa puas dalam hal membatasi pembicaraanku, sebagaimana kalian merasa puas dengan banyak berbicara.” (Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi wa Adabi as-Sami’ : 736).
Maka yang harus dilakukan oleh seorang yang hendak menyampaikan pesan kebaikan adalah : Tunggulah saat yang tepat untuk berbicara. Sebagaimana kata hikmah mengatakan : “Setiap ucapan ada tempatnya, dan setiap tempat ada ucapannya yang tepat.”
Ibnu Hajar Asqalani berkata : “Bahwasanya makruh untuk berbicara dengan orang yang kurang menghargai kita. Sesungguhnya tidak semestinya menyebarkan ilmu kepada orang yang tidak menginginkannya. Sebaliknya, bicaralah kepada siapa yang ingin mendengarkan, karena hal tersebut lebih pantas dan lebih memberikan manfaat”. (Fathul Baari : 11/143).
Imam Syafi’i pernah bersyair :
ولا تعطين الرأي من لايريده
فلا أنت محمود ولا الرأي نافعه
“Janganlah menyampaikan pendapat kepada orang yang tidak menginginkannya,
Karena kau tidak akan mendapat pujian, tidak pula pendapatmu akan memberi manfaat baginya.”
Mutharrif berkata : “Janganlah engkau berbicara kepada orang yang tidak menginginkan pembicaraanmu.” (Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi wa Adabi as-Sami’ : 731).
Mughirah berkata : “Sesungguhnya aku merasa puas dalam hal membatasi pembicaraanku, sebagaimana kalian merasa puas dengan banyak berbicara.” (Al-Jami’ li Akhlaqi ar-Rawi wa Adabi as-Sami’ : 736).
Maka yang harus dilakukan oleh seorang yang hendak menyampaikan pesan kebaikan adalah : Tunggulah saat yang tepat untuk berbicara. Sebagaimana kata hikmah mengatakan : “Setiap ucapan ada tempatnya, dan setiap tempat ada ucapannya yang tepat.”
Rabu, 22 September 2010
Cita-Cita Yang Tinggi
Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) menulis nasihat yang amat bagus dalam kitabnya Shaidul Khatir, dimana beliau berkata :
“Dunia hanyalah arena perlombaan menuju kemuliaan. Maka semestinya orang yang bercita-cita tinggi tidak memperlambat langkahnya. Jika ia menang, maka itulah tujuannya. Jika ia kalah setelah mengeluarkan semua usahanya, ia tidak akan dicela.
Apabila ada orang yang berkata : “Saya memiliki cita-cita yang tinggi namun tidak mempunyai biaya untuk meraihnya, lalu apa yang harus saya lakukan?” Jawabnya : “Apabila anda tidak dikaruniai sebagian rezeki, anda tidak akan terhalang dari rezeki yang lainnya. Adalah sesuatu yang mustahil bila Allah memberi anda kemauan yang tinggi tetapi Dia tidak membantu anda. Evaluasilah diri anda! Mungkin anda dikaruniai sesuatu tetapi anda tidak mensyukurinya, atau Allah sedang menguji anda namun anda tidak bisa bersabar darinya. Ketahuilah, mungkin Allah telah menutup kenikmatan dunia agar anda dapat merasakan nikmatnya ilmu, karena anda lemah dan tidak bisa mengumpulkan keduanya. Allah lebih mengetahui apa yang baik bagi anda, dan tangisan hendaklah semata-mata karena rendahnya kemauan. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”
Sememangnya cita-cita yang tinggi hanya untuk orang yang mempunyai semangat dan kesabaran yang tinggi pula, sebagaimana seorang penyair yang berkata :
لأستسهلن اصعب أو أدرك المنى
فما انقادت الآمال إلا لصابر
“Sungguh, aku menganggap kesulitan itu mudah hingga aku menggapai asa,
Karena segala harapan dan cita itu tidak akan dicapai melainkan bagi orang yang sabar sahaja.”
“Dunia hanyalah arena perlombaan menuju kemuliaan. Maka semestinya orang yang bercita-cita tinggi tidak memperlambat langkahnya. Jika ia menang, maka itulah tujuannya. Jika ia kalah setelah mengeluarkan semua usahanya, ia tidak akan dicela.
Apabila ada orang yang berkata : “Saya memiliki cita-cita yang tinggi namun tidak mempunyai biaya untuk meraihnya, lalu apa yang harus saya lakukan?” Jawabnya : “Apabila anda tidak dikaruniai sebagian rezeki, anda tidak akan terhalang dari rezeki yang lainnya. Adalah sesuatu yang mustahil bila Allah memberi anda kemauan yang tinggi tetapi Dia tidak membantu anda. Evaluasilah diri anda! Mungkin anda dikaruniai sesuatu tetapi anda tidak mensyukurinya, atau Allah sedang menguji anda namun anda tidak bisa bersabar darinya. Ketahuilah, mungkin Allah telah menutup kenikmatan dunia agar anda dapat merasakan nikmatnya ilmu, karena anda lemah dan tidak bisa mengumpulkan keduanya. Allah lebih mengetahui apa yang baik bagi anda, dan tangisan hendaklah semata-mata karena rendahnya kemauan. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”
Sememangnya cita-cita yang tinggi hanya untuk orang yang mempunyai semangat dan kesabaran yang tinggi pula, sebagaimana seorang penyair yang berkata :
لأستسهلن اصعب أو أدرك المنى
فما انقادت الآمال إلا لصابر
“Sungguh, aku menganggap kesulitan itu mudah hingga aku menggapai asa,
Karena segala harapan dan cita itu tidak akan dicapai melainkan bagi orang yang sabar sahaja.”
Selasa, 21 September 2010
Waktu Dan Ilmu
Ada kata hikmah mengatakan :
“Berikanlah seluruh waktumu untuk ilmu, maka ilmu akan memberikan sebagian daripadanya. Jika engkau hanya memberikan sebagian waktumu untuk ilmu, maka ilmu tidak akan memberikan apa-apa.”
Maksud kata hikmah tersebut adalah :
Sesungguhnya ilmu sangatlah banyak dengan segala cabangnya. Maka jika kita hanya setengah-setengah dalam menuntut ilmu maka kita tidak akan mendapatkan apapun jua. Bahkan kalau kita memberikan seluruh waktu yang kita punya untuk menuntut ilmu, kita hanya akan mendapatkan setengah dari ilmu saja.
(P/s : Teringat kata hikmah tersebut ketika melihat tumpukan buku yang belum terbaca, dan kelalaian diri ini yang banyak menyia-nyiakan waktu yang ada).
“Berikanlah seluruh waktumu untuk ilmu, maka ilmu akan memberikan sebagian daripadanya. Jika engkau hanya memberikan sebagian waktumu untuk ilmu, maka ilmu tidak akan memberikan apa-apa.”
Maksud kata hikmah tersebut adalah :
Sesungguhnya ilmu sangatlah banyak dengan segala cabangnya. Maka jika kita hanya setengah-setengah dalam menuntut ilmu maka kita tidak akan mendapatkan apapun jua. Bahkan kalau kita memberikan seluruh waktu yang kita punya untuk menuntut ilmu, kita hanya akan mendapatkan setengah dari ilmu saja.
(P/s : Teringat kata hikmah tersebut ketika melihat tumpukan buku yang belum terbaca, dan kelalaian diri ini yang banyak menyia-nyiakan waktu yang ada).
Senin, 20 September 2010
Antara Dosa, Sakit Dan Musibah
Tepat pada hari 1 Syawwal -Alhamdulillah dalam segala keadaan- ana ditakdirkan Allah menderita sakit demam. Jadi di saat semua orang bergembira ria di hari raya, ana hanya berbaring di tempat tidur sambil berselimut tebal.
Ketika sakit yang terucap hanyalah ucapan istighfar serta terbayang akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Ya, karena sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits bahwa sakit dan musibah merupakan penghapus dosa, maka pemahaman kebalikannya (mafhum mukhalafah) adalah : dosa merupakan sebab turunnya sakit dan musibah, yang boleh jadi tidak hanya berasal dari dosa besar, namun mungkin saja berasal dari dosa kecil yang dianggap remeh.
Al Imam Ibnu Hajar Asqalani ketika menjelaskan hadits tentang seorang mukmin yang melihat dosa-dosanya seolah-olah ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut runtuh menimpanya, sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) memandang remeh dosa-dosanya bagaikan seekor lalat yang lewat di hidungnya lalu dengan mudah ia menghalaunya, kemudian Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Batthal yang berkata :
“Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa hendaknya seorang mukmin mempunyai perasaan takut yang besar terhadap balasan Allah akibat dosa-dosa yang ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar. Sebab, terkadang Allah mengazab seorang hamba karena dosa kecil yang ia lakukan, dan Allah tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-Nya.” (Fathul Baari : 11/109).
Ibnu ‘Aun berkata : “Janganlah engkau merasa selamat dengan banyaknya amal, karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah amalmu diterima atau tidak. Dan janganlah engkau merasa aman dari dosa-dosamu, karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah dosa-dosamu diampuni atau tidak.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam : 1/174).
Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena bisa jadi dosa kecil tersebut sumber sakit dan musibah yang menimpanya. Bukankah dosa kecil kalau ditumpuk maka akan menjadi besar ? Seperti dikatakan :
لاتحقرن من الذنوب أقلها
إن القليل إلى اقليل كثير
“Janganlah engkau remehkan dosa kecil yang tidak seberapa,
Karena dosa kecil kalau terus dikerjakan maka akan menjadi besar pula.”
Semoga Allah merahmati Bilal bin Sa’ad yang berkata : “Janganlah engkau melihat kecil maksiat yang engkau lakukan, tetapi lihatlah keagungan Zat yang engkau maksiati.” (Minhajul Qashidin : 282, Ibnul Jauzi).
Ketika sakit yang terucap hanyalah ucapan istighfar serta terbayang akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Ya, karena sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits bahwa sakit dan musibah merupakan penghapus dosa, maka pemahaman kebalikannya (mafhum mukhalafah) adalah : dosa merupakan sebab turunnya sakit dan musibah, yang boleh jadi tidak hanya berasal dari dosa besar, namun mungkin saja berasal dari dosa kecil yang dianggap remeh.
Al Imam Ibnu Hajar Asqalani ketika menjelaskan hadits tentang seorang mukmin yang melihat dosa-dosanya seolah-olah ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut runtuh menimpanya, sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) memandang remeh dosa-dosanya bagaikan seekor lalat yang lewat di hidungnya lalu dengan mudah ia menghalaunya, kemudian Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Batthal yang berkata :
“Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa hendaknya seorang mukmin mempunyai perasaan takut yang besar terhadap balasan Allah akibat dosa-dosa yang ia lakukan, baik dosa kecil maupun dosa besar. Sebab, terkadang Allah mengazab seorang hamba karena dosa kecil yang ia lakukan, dan Allah tidak ditanya terhadap apa yang dikerjakan-Nya.” (Fathul Baari : 11/109).
Ibnu ‘Aun berkata : “Janganlah engkau merasa selamat dengan banyaknya amal, karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah amalmu diterima atau tidak. Dan janganlah engkau merasa aman dari dosa-dosamu, karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah dosa-dosamu diampuni atau tidak.” (Jami’ul Ulum Wal Hikam : 1/174).
Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak meremehkan dosa-dosa kecil, karena bisa jadi dosa kecil tersebut sumber sakit dan musibah yang menimpanya. Bukankah dosa kecil kalau ditumpuk maka akan menjadi besar ? Seperti dikatakan :
لاتحقرن من الذنوب أقلها
إن القليل إلى اقليل كثير
“Janganlah engkau remehkan dosa kecil yang tidak seberapa,
Karena dosa kecil kalau terus dikerjakan maka akan menjadi besar pula.”
Semoga Allah merahmati Bilal bin Sa’ad yang berkata : “Janganlah engkau melihat kecil maksiat yang engkau lakukan, tetapi lihatlah keagungan Zat yang engkau maksiati.” (Minhajul Qashidin : 282, Ibnul Jauzi).
Senin, 06 September 2010
Selamat Tinggal Bulan Ramadhan
Jika mayoritas manusia sekarang bergembira dengan hampir selesainya bulan Ramadhan, maka tidaklah demikian dengan para salaf kita. Mereka justru sedih berpisah dengan bulan yang mulia ini selain karena keutamaannya, juga karena mereka tidak mengetahui apakah amalan mereka selama di bulan Ramadhan diterima Allah Ta'ala.
Demikianlah ciri-ciri insan yang bertakwa. Bahkan diceritakan bahwasanya sebagian salaf berdoa selama 6 bulan agar amalan mereka di bulan Ramadhan diterima, kemudian 6 bulan selanjutnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.
Dalam kitab Latha’if al-Ma’arif karangan Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) kita jumpai para salaf mengungkapkan kesedihannya dan kegundahan mereka :
- Umar bin Abdul Aziz ketika berkhutbah pada hari raya 'Idul Fithri berkata : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama 30 hari, kalian solat malam selama 30 hari, dan pada hari ini kalian semua keluar untuk memohon kepada Allah agar amalan kalian diterima. Ketahuilah, dulu sebagian salaf menampakkan kesedihan pada hari raya ‘Idul Fithri, kemudian ditanyakan padanya : ‘Bukankah hari ini hari kegembiraan dan kebahagiaan?’. Maka dia menjawab : ‘Benar, namun aku hanyalah seorang hamba yang Allah memerintahkanku untuk beramal, akan tetapi aku tidak mengetahui apakah amalku diterima Allah atau tidak?”.
- Wuhaib bin al-Warad jika melihat sekumpulan orang yang tertawa terbahak-bahak pada hari ‘Idul Fithri maka ia berkata : “Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya di sisi Allah, sungguh apa yang mereka lakukan ini bukanlah perbuatan orang-orang yang bersyukur. Dan jika puasa yang mereka lakukan tidak diterima, maka perbuatan mereka ini bukanlah perbuatan orang-orang yang takut.”
- Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu berseru pada akhir malam bulan Ramadhan : “Duhai, siapakah yang diterima amalannya sehingga kami bisa memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah yang ditolak amalannya sehingga kami bisa menyampaikan bela sungkawa terhadapnya?”
- Ucapan senada juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu: “Siapakah diantara kita yang diterima amalannya agar kita bisa mengucapkan selamat kepadanya, dan siapakah diantara kita yang ditolak amalannya agar kita bisa menyampaikan bela sungkawa kepadanya? Wahai orang yang amalannya diterima, selamat atasmu, dan wahai orang yang amalannya tertolak, semoga Allah mengganti musibahmu.”
Semoga Allah merahmati mereka semua, dan menjadikan orang yang mengikuti jejaknya sebagai insan bertakwa. Karena hanya orang bertakwa yang diterima amalannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah : 27).
Demikianlah ciri-ciri insan yang bertakwa. Bahkan diceritakan bahwasanya sebagian salaf berdoa selama 6 bulan agar amalan mereka di bulan Ramadhan diterima, kemudian 6 bulan selanjutnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.
Dalam kitab Latha’if al-Ma’arif karangan Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) kita jumpai para salaf mengungkapkan kesedihannya dan kegundahan mereka :
- Umar bin Abdul Aziz ketika berkhutbah pada hari raya 'Idul Fithri berkata : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama 30 hari, kalian solat malam selama 30 hari, dan pada hari ini kalian semua keluar untuk memohon kepada Allah agar amalan kalian diterima. Ketahuilah, dulu sebagian salaf menampakkan kesedihan pada hari raya ‘Idul Fithri, kemudian ditanyakan padanya : ‘Bukankah hari ini hari kegembiraan dan kebahagiaan?’. Maka dia menjawab : ‘Benar, namun aku hanyalah seorang hamba yang Allah memerintahkanku untuk beramal, akan tetapi aku tidak mengetahui apakah amalku diterima Allah atau tidak?”.
- Wuhaib bin al-Warad jika melihat sekumpulan orang yang tertawa terbahak-bahak pada hari ‘Idul Fithri maka ia berkata : “Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya di sisi Allah, sungguh apa yang mereka lakukan ini bukanlah perbuatan orang-orang yang bersyukur. Dan jika puasa yang mereka lakukan tidak diterima, maka perbuatan mereka ini bukanlah perbuatan orang-orang yang takut.”
- Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu berseru pada akhir malam bulan Ramadhan : “Duhai, siapakah yang diterima amalannya sehingga kami bisa memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah yang ditolak amalannya sehingga kami bisa menyampaikan bela sungkawa terhadapnya?”
- Ucapan senada juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu anhu: “Siapakah diantara kita yang diterima amalannya agar kita bisa mengucapkan selamat kepadanya, dan siapakah diantara kita yang ditolak amalannya agar kita bisa menyampaikan bela sungkawa kepadanya? Wahai orang yang amalannya diterima, selamat atasmu, dan wahai orang yang amalannya tertolak, semoga Allah mengganti musibahmu.”
Semoga Allah merahmati mereka semua, dan menjadikan orang yang mengikuti jejaknya sebagai insan bertakwa. Karena hanya orang bertakwa yang diterima amalannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah : 27).
Rabu, 01 September 2010
Faidah Dari Dosa
Al Imam Ibnu Rajab (wafat 795 H) berkata :
“Sesungguhnya termasuk hikmah Allah adalah Dia menjadikan sebagian hamba-Nya terkadang jatuh dalam lembah dosa, dan hal tersebut memiliki dua faidah :
Pertama : Pengakuan akan dosa mereka dan kelalaian mereka dalam menunaikan perintah-Nya akan menghilangkan penyakit ‘ujub dari diri mereka. Hal ini lebih dicintai oleh Allah daripada ketaatan yang banyak tetapi kerapkali membuat pelakunya merasa ‘ujub dengan amalnya.
Kedua : Meraih ampunan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, karena Allah suka mengasihi dan mengampuni. Diantara nama-nama Allah adalah al-Ghaffar (Maha Pengampun), al-Afuw (Maha Pengasih), at-Tawwab (Maha Menjadikan Hamba-Nya Untuk Bertaubat dan Maha Menerima Taubat).
Seandainya semua hamba tidak terjatuh dalam dosa, lalu untuk siapakah ampunan dan kasih sayang-Nya?”
(Lathaif al-Ma’arif : 57-58, Ibnu Rajab al-Hanbali).
“Sesungguhnya termasuk hikmah Allah adalah Dia menjadikan sebagian hamba-Nya terkadang jatuh dalam lembah dosa, dan hal tersebut memiliki dua faidah :
Pertama : Pengakuan akan dosa mereka dan kelalaian mereka dalam menunaikan perintah-Nya akan menghilangkan penyakit ‘ujub dari diri mereka. Hal ini lebih dicintai oleh Allah daripada ketaatan yang banyak tetapi kerapkali membuat pelakunya merasa ‘ujub dengan amalnya.
Kedua : Meraih ampunan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, karena Allah suka mengasihi dan mengampuni. Diantara nama-nama Allah adalah al-Ghaffar (Maha Pengampun), al-Afuw (Maha Pengasih), at-Tawwab (Maha Menjadikan Hamba-Nya Untuk Bertaubat dan Maha Menerima Taubat).
Seandainya semua hamba tidak terjatuh dalam dosa, lalu untuk siapakah ampunan dan kasih sayang-Nya?”
(Lathaif al-Ma’arif : 57-58, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Senin, 30 Agustus 2010
Tetaplah Menulis
Seorang hamba Allah -semoga Allah selalu menjaga dan memberkahi beliau-, memberi motivasi kepada ana agar tetap istiqomah menulis di blog ini. Sejujurnya, menulis adalah suatu “misteri”. Misteri yang ana maksudkan adalah tidak dapat dipastikan kapan suatu ide/ilham untuk menulis datang. Sehingga terkadang dalam beberapa menit satu tulisan siap, tapi kadang berhari-hari satu huruf pun belum mengisi halaman yang masih kosong.
Selain itu, kendala utama adalah ana belum bisa memanfaatkan waktu dengan maksimal. Rasanya banyak waktu terbuang untuk kegiatan yang kurang bermanfaat, yang jika digunakan untuk mencari ilham untuk menulis mungkin kegiatan menulis sudah berjalan lancar :-).
Sehingga perkataan sebagian orang : “Tidak ada waktu untuk menulis” sebenarnya hanya alasan orang yang 'pemalas' seperti ana. Yang tepat adalah “Tidak bisa memanfaatkan waktu”, sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i :
رأيت الناس يشكون الزمانا
وما لزماننا عيب سوانا
نعيب زماننا ولعيب فينا
ولو نطق الزمان به رمانا
“Aku melihat banyak manusia mengeluh tentang waktunya
Padahal tidak ada kesalahan pada waktu selain alasan kita saja
Kita mencela waktu padahal yang salah adalah diri kita
Andai waktu dapat bicara tentu kita akan dimarahinya.”
Ana juga semestinya banyak-banyak bersyukur. Bersyukur masih memiliki mata yang mampu untuk membaca, tangan yang siap untuk menulis, dan sarana untuk menulis yang sudah tersedia.
Teladanilah para salaf yang bahkan ada yang menulis dengan kaki karena tidak memiliki jari tangan. Contohnya Imam al-Baihaqi (wafat 458 H). Diceritakan bahwa Imam al-Baihaqi pernah menderita penyakit pada jari tangannya, sehingga jari-jari tangannya harus dipotong sampai pergelangan tangan. Namun hal tersebut tidak membuatnya patah semangat, bahkan beliau tetap menulis dengan kakinya (!!), yang mana dalam sehari beliau mampu menulis sebanyak 10 lembar dengan tulisan yang indah dan jelas. Berkata as-Sam’ani –sang perawi cerita- : “Sungguh ini adalah kejadian menakjubkan yang pernah aku lihat!”. (At-Tahbir fil Mu’jam al-Kabir : 1/223).
Semoga Allah selalu memberi pertolongan dan kesungguhan pada kita semua..
Selain itu, kendala utama adalah ana belum bisa memanfaatkan waktu dengan maksimal. Rasanya banyak waktu terbuang untuk kegiatan yang kurang bermanfaat, yang jika digunakan untuk mencari ilham untuk menulis mungkin kegiatan menulis sudah berjalan lancar :-).
Sehingga perkataan sebagian orang : “Tidak ada waktu untuk menulis” sebenarnya hanya alasan orang yang 'pemalas' seperti ana. Yang tepat adalah “Tidak bisa memanfaatkan waktu”, sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i :
رأيت الناس يشكون الزمانا
وما لزماننا عيب سوانا
نعيب زماننا ولعيب فينا
ولو نطق الزمان به رمانا
“Aku melihat banyak manusia mengeluh tentang waktunya
Padahal tidak ada kesalahan pada waktu selain alasan kita saja
Kita mencela waktu padahal yang salah adalah diri kita
Andai waktu dapat bicara tentu kita akan dimarahinya.”
Ana juga semestinya banyak-banyak bersyukur. Bersyukur masih memiliki mata yang mampu untuk membaca, tangan yang siap untuk menulis, dan sarana untuk menulis yang sudah tersedia.
Teladanilah para salaf yang bahkan ada yang menulis dengan kaki karena tidak memiliki jari tangan. Contohnya Imam al-Baihaqi (wafat 458 H). Diceritakan bahwa Imam al-Baihaqi pernah menderita penyakit pada jari tangannya, sehingga jari-jari tangannya harus dipotong sampai pergelangan tangan. Namun hal tersebut tidak membuatnya patah semangat, bahkan beliau tetap menulis dengan kakinya (!!), yang mana dalam sehari beliau mampu menulis sebanyak 10 lembar dengan tulisan yang indah dan jelas. Berkata as-Sam’ani –sang perawi cerita- : “Sungguh ini adalah kejadian menakjubkan yang pernah aku lihat!”. (At-Tahbir fil Mu’jam al-Kabir : 1/223).
Semoga Allah selalu memberi pertolongan dan kesungguhan pada kita semua..
Rabu, 25 Agustus 2010
What's In A Name ?
Mungkin ungkapan itu sering kita dengar, yang masyhur dikatakan oleh seorang yang bernama Shakespeare, yang lafaz lengkapnya berbunyi : What's in a name ? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
Tulisan ini tidak membahas perkataan Shakespeare tersebut, tapi ana teringat ungkapan itu ketika seorang teman meminta saran nama untuk calon anaknya yang akan lahir.
Dalam Islam nama adalah sangat penting. Bahkan para ulama mengatakan bahwa memberi nama adalah wajib hukumnya (Maratib al-Ijma’ : 154, Ibnu Hazm).
Bahkan terkadang -walau tidak mutlak- nama menunjukkan kepribadian seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
وقلما أبصرت عيناك ذا لقب
إلا ومعناه إن فكرت في لقبه
“Jarang sekali engkau mendapati seseorang yang memiliki nama,
Kecuali kalau engkau renungkan perangainya sesuai dengan namanya.”
Bahkan termasuk contoh “keajaiban” adalah seperti diterangkan Ibnu Hajar Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari (VII/198), bahwasanya dari 4 paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, 2 orang yang tidak masuk Islam mempunyai nama yang batil yakni Abu Thalib yang nama aslinya ‘Abdu Manaf dan Abu Lahab yang nama aslinya ‘Abdul ‘Uzza. Sedangkan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam adalah Hamzah dan Abbas.
Namun demikian, ada juga kepribadian seseorang yang tidak sesuai dengan namanya. Contohnya kebiasaan orang melayu -terutama di tempat ana- adalah memberi nama dengan berakhiran “Din” yang mengandung arti tazkiyah/menganggap diri suci, seperti nama : Syamsuddin, Qomaruddin, Jalaluddin, Muhyiddin, Fakhruddin, ‘Izzuddin dsb. Padahal tak sedikit pemilik nama tersebut orang yang tidak komitmen dengan agama. Sehingga dengan sebab itu banyak ulama yang memakruhkan penggunaan nama dengan diakhiri dengan “Din”.
Mungkin ada yang bertanya bagaimana pula dengan banyak ulama yang bergelar dengan akhiran “Din”? Maka dijawab Syaikh Bakr Abu Zaid bahwa gelar tersebut pada awalnya adalah gelar tambahan -bukan nama asli mereka-. (Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah : 563-564). Jadi bukan keinginan ulama itu untuk sengaja memakai gelar tersebut. Atau bisa jadi gelar tersebut sebagai penghormatan/penghargaan atas jasa-jasa mereka terhadap Islam.
Bahkan kita temukan beberapa dari ulama tersebut seperti Imam Nawawi yang digelari Muhyiddin tidak menyukai gelar tersebut (Tanbih al-Ghafilin : 510, Ibnu Nahhas Asy-Syafi’i). Juga Ibnu Taimiyah yang tidak menyukai diberi gelar Taqiyuddin (Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah : 22, Bakr Abu Zaid).
Bandingkan dengan orang-orang zaman sekarang yang sengaja menamakan dirinya dengan berakhiran “Din”, padahal tak jarang keadaan orang tersebut tidak sesuai dengan namanya, seperti dikatakan Imam ash-Shan’ani (wafat 1182 H) dalam bait syairnya :
تسمى بنور الدين وهو ظلامه
وذاك شمس الدين وهو له خسف
“Dia memakai nama Nuruddin (cahaya agama), padahal gelap agamanya,
Dan yang ini bernama Syamsuddin (matahari agama), padahal ia buta agamanya.”
Tulisan ini tidak membahas perkataan Shakespeare tersebut, tapi ana teringat ungkapan itu ketika seorang teman meminta saran nama untuk calon anaknya yang akan lahir.
Dalam Islam nama adalah sangat penting. Bahkan para ulama mengatakan bahwa memberi nama adalah wajib hukumnya (Maratib al-Ijma’ : 154, Ibnu Hazm).
Bahkan terkadang -walau tidak mutlak- nama menunjukkan kepribadian seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
وقلما أبصرت عيناك ذا لقب
إلا ومعناه إن فكرت في لقبه
“Jarang sekali engkau mendapati seseorang yang memiliki nama,
Kecuali kalau engkau renungkan perangainya sesuai dengan namanya.”
Bahkan termasuk contoh “keajaiban” adalah seperti diterangkan Ibnu Hajar Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari (VII/198), bahwasanya dari 4 paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, 2 orang yang tidak masuk Islam mempunyai nama yang batil yakni Abu Thalib yang nama aslinya ‘Abdu Manaf dan Abu Lahab yang nama aslinya ‘Abdul ‘Uzza. Sedangkan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam adalah Hamzah dan Abbas.
Namun demikian, ada juga kepribadian seseorang yang tidak sesuai dengan namanya. Contohnya kebiasaan orang melayu -terutama di tempat ana- adalah memberi nama dengan berakhiran “Din” yang mengandung arti tazkiyah/menganggap diri suci, seperti nama : Syamsuddin, Qomaruddin, Jalaluddin, Muhyiddin, Fakhruddin, ‘Izzuddin dsb. Padahal tak sedikit pemilik nama tersebut orang yang tidak komitmen dengan agama. Sehingga dengan sebab itu banyak ulama yang memakruhkan penggunaan nama dengan diakhiri dengan “Din”.
Mungkin ada yang bertanya bagaimana pula dengan banyak ulama yang bergelar dengan akhiran “Din”? Maka dijawab Syaikh Bakr Abu Zaid bahwa gelar tersebut pada awalnya adalah gelar tambahan -bukan nama asli mereka-. (Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah : 563-564). Jadi bukan keinginan ulama itu untuk sengaja memakai gelar tersebut. Atau bisa jadi gelar tersebut sebagai penghormatan/penghargaan atas jasa-jasa mereka terhadap Islam.
Bahkan kita temukan beberapa dari ulama tersebut seperti Imam Nawawi yang digelari Muhyiddin tidak menyukai gelar tersebut (Tanbih al-Ghafilin : 510, Ibnu Nahhas Asy-Syafi’i). Juga Ibnu Taimiyah yang tidak menyukai diberi gelar Taqiyuddin (Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah : 22, Bakr Abu Zaid).
Bandingkan dengan orang-orang zaman sekarang yang sengaja menamakan dirinya dengan berakhiran “Din”, padahal tak jarang keadaan orang tersebut tidak sesuai dengan namanya, seperti dikatakan Imam ash-Shan’ani (wafat 1182 H) dalam bait syairnya :
تسمى بنور الدين وهو ظلامه
وذاك شمس الدين وهو له خسف
“Dia memakai nama Nuruddin (cahaya agama), padahal gelap agamanya,
Dan yang ini bernama Syamsuddin (matahari agama), padahal ia buta agamanya.”
Senin, 23 Agustus 2010
Jika Yang Terjadi Tak Sesuai Rencana
Sebenarnya jauh hari sebelum Ramadhan, ana ada merencanakan sesuatu sebagai “hadiah” menyambut bulan Ramadhan. Tapi takdir Allah menentukan lain. Sampai hampir pertengahan Ramadhan ini, yang direncanakan itu tak kunjung terwujud karena berbagai kendala.
Ya, demikianlah sebenarnya hakikat manusia yang lemah, sebagaimana pernah dikatakan :
ولأنت تفري ما خلقت
وبعض القوم يخلق ثم لا يفري
“Sungguh Engkau dapat mewujudkan apa yang Engkau rencanakan,
Namun selain-Mu hanya bisa merencanakan dan tidak dapat mewujudkan.”
Alhamdulillah, walau yang direncanakan itu tidak terwujud, ana menghibur hati dengan berpikir mungkin dibalik kejadian tersebut ada hikmah Allah yang tidak diketahui. Bukankah kita sering mengalami kejadian yang tidak sesuai dengan yang direncanakan -lalu hati sedikit tidak menyukai ketentuan Allah tersebut-, kemudian selang beberapa waktu kita berbalik bersyukur kepada Allah karena baru mengetahui hikmah disebalik kejadian itu.
Percayalah bahwa takdir dan ketentuan Allah mengandung banyak sekali hikmah, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnul Qayyim :
“Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.” (Syifa’ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil : 452, Ibnu Qayyim al-Jauziyah).
Bahkan bisa jadi ketentuan Allah yang tidak kita sukai tersebut adalah sebagai kemaslahatan bagi dunia dan akhirat kita. Ana teringat kejadian beberapa waktu yang lalu, salah seorang keluarga ana ditakdirkan tidak berhasil untuk menduduki sebuah jabatan. Tapi syukurlah beliau tidak menduduki jabatan tersebut, karena ternyata jabatan tersebut banyak fitnahnya (godaan korupsi dsb).
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman :
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216).
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menjelaskan ayat tersebut : “Allah lebih mengetahui tentang akibat dari semua perkara dibanding kalian, dan lebih mengetahui tentang hal-hal yang di dalamnya terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian.”
Ya, demikianlah sebenarnya hakikat manusia yang lemah, sebagaimana pernah dikatakan :
ولأنت تفري ما خلقت
وبعض القوم يخلق ثم لا يفري
“Sungguh Engkau dapat mewujudkan apa yang Engkau rencanakan,
Namun selain-Mu hanya bisa merencanakan dan tidak dapat mewujudkan.”
Alhamdulillah, walau yang direncanakan itu tidak terwujud, ana menghibur hati dengan berpikir mungkin dibalik kejadian tersebut ada hikmah Allah yang tidak diketahui. Bukankah kita sering mengalami kejadian yang tidak sesuai dengan yang direncanakan -lalu hati sedikit tidak menyukai ketentuan Allah tersebut-, kemudian selang beberapa waktu kita berbalik bersyukur kepada Allah karena baru mengetahui hikmah disebalik kejadian itu.
Percayalah bahwa takdir dan ketentuan Allah mengandung banyak sekali hikmah, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnul Qayyim :
“Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.” (Syifa’ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil : 452, Ibnu Qayyim al-Jauziyah).
Bahkan bisa jadi ketentuan Allah yang tidak kita sukai tersebut adalah sebagai kemaslahatan bagi dunia dan akhirat kita. Ana teringat kejadian beberapa waktu yang lalu, salah seorang keluarga ana ditakdirkan tidak berhasil untuk menduduki sebuah jabatan. Tapi syukurlah beliau tidak menduduki jabatan tersebut, karena ternyata jabatan tersebut banyak fitnahnya (godaan korupsi dsb).
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman :
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216).
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menjelaskan ayat tersebut : “Allah lebih mengetahui tentang akibat dari semua perkara dibanding kalian, dan lebih mengetahui tentang hal-hal yang di dalamnya terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian.”
Rabu, 18 Agustus 2010
Diganti Allah Dengan Yang Lebih Baik
Ana mengenal seorang hamba Allah yang mempunyai kisah berharga. Beliau bercerita, beberapa belas tahun yang lalu dia adalah penggemar musik dan lagu dunia. Tidak ada satupun lagu dan trend musik terbaru melainkan ia mengikuti perkembangannya. Setiap hari alunan lagu keluar dari mulutnya dan suara musik masuk ke telinganya.
Sampai suatu hari Allah memberi hidayah kepadanya. Sampailah ia ke satu toko buku di kotanya. Ia tertegun melihat sebuah buku agama yang terletak pada rak paling atas di atas buku lainnya. Rasa ingin tahu membuatnya memutuskan membeli buku itu walaupun mahal harganya.
Sesampai di rumah, halaman demi halaman buku itu dibukanya. Dibacanya perlahan-lahan dan setelah menamatkan pembacaannya ia berkata : “Alangkah lalainya diriku ini dengan ilmu agama. Aku selama ini disibukkan dengan urusan dunia. Betapa ruginya hidupku jika dihabiskan untuk kegiatan yang sia-sia”. Sejak saat itu ia menekuni ilmu agama dan bertekad mengejar ketertinggalannya dengan belajar sepanjang masa.
Sekarang ana temukan beliau telah mendapatkan pengganti musik dan lagu yang dulu digemarinya. Allah menggantinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang setiap hari selalu menemaninya. Baik dilantunkannya lewat lisan dan maupun singgah lewat pendengarannya. Sungguh, itu adalah suatu penggantian oleh Allah yang tidak ternilai harganya.
Beliau juga sangat mudah menitiskan air mata, terutama jika mendengar bacaan Al-Qur’an mengingatkan syurga dan neraka. Dia mengatakan dahulu ia menangis karena lagu cinta. Tapi ternyata kesedihannya hanyalah fatamorgana. Sekarang tangisannya jujur keluar dari dalam jiwa. Alangkah ruginya mata yang tidak menangis karena mendengar kalam-Nya.
Wahai saudaraku yang mulia, sungguh kulihat engkau adalah sedikit manusia yang masih tersisa. Sisa-sisa manusia dari generasi pendahulu yang engkau ikuti jejaknya. Semoga Allah selalu memberi keteguhan iman kepada kita di dunia, memberi ampunan atas dosa-dosa kita, serta mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Sampai suatu hari Allah memberi hidayah kepadanya. Sampailah ia ke satu toko buku di kotanya. Ia tertegun melihat sebuah buku agama yang terletak pada rak paling atas di atas buku lainnya. Rasa ingin tahu membuatnya memutuskan membeli buku itu walaupun mahal harganya.
Sesampai di rumah, halaman demi halaman buku itu dibukanya. Dibacanya perlahan-lahan dan setelah menamatkan pembacaannya ia berkata : “Alangkah lalainya diriku ini dengan ilmu agama. Aku selama ini disibukkan dengan urusan dunia. Betapa ruginya hidupku jika dihabiskan untuk kegiatan yang sia-sia”. Sejak saat itu ia menekuni ilmu agama dan bertekad mengejar ketertinggalannya dengan belajar sepanjang masa.
Sekarang ana temukan beliau telah mendapatkan pengganti musik dan lagu yang dulu digemarinya. Allah menggantinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang setiap hari selalu menemaninya. Baik dilantunkannya lewat lisan dan maupun singgah lewat pendengarannya. Sungguh, itu adalah suatu penggantian oleh Allah yang tidak ternilai harganya.
Beliau juga sangat mudah menitiskan air mata, terutama jika mendengar bacaan Al-Qur’an mengingatkan syurga dan neraka. Dia mengatakan dahulu ia menangis karena lagu cinta. Tapi ternyata kesedihannya hanyalah fatamorgana. Sekarang tangisannya jujur keluar dari dalam jiwa. Alangkah ruginya mata yang tidak menangis karena mendengar kalam-Nya.
Wahai saudaraku yang mulia, sungguh kulihat engkau adalah sedikit manusia yang masih tersisa. Sisa-sisa manusia dari generasi pendahulu yang engkau ikuti jejaknya. Semoga Allah selalu memberi keteguhan iman kepada kita di dunia, memberi ampunan atas dosa-dosa kita, serta mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Kamis, 12 Agustus 2010
Bergantung Kepada Allah Semata
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya tidak ada tempat bergantung bagi seorang muslim selain kepada Allah semata. Maka alangkah ruginya jika seseorang menggantungkan harapan kepada selain-Nya. Bukankah pengalaman hidup selama ini telah mengajarkan kita, bahwa menggantungkan harapan kepada selain-Nya hasilnya tidaklah seperti yang dikira, bahkan acapkali hanya membuat kecewa.
Allah Ta’ala sendiri mensifati diri-Nya sebagai tempat bergantung segala sesuatu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (QS. Al-Ikhlas : 2).
Ahli tafsir berkata : “Ash-Shomad artinya Allah menjadi tempat bergantungnya para hamba dalam memenuhi kebutuhannya.” (Ad-Durr al-Mantsur : 15/782, As-Suyuthi).
Bergantung kepada Allah dalam semua perkara, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon petunjuk, menaruh harapan, menyerahkan urusan, bertaubat, sampai dalam perkara-perkara yang remeh, itulah yang dilakukan para salaf kita. Bahkan Urwah bin Zubair berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar berdoa kepada Allah meminta segala keperluanku, sampai-sampai dalam perkara garam.” (Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah Ibn Zaid al-Qirwani : 1/211, Ahmad bin Ghunaim al-Maliki).
Dan orang yang bergantung kepada Allah semata, akan dibukakan pintu kesulitannya.
Abu Ja’far al-Balkhi berkata : “Telah sampai kepadaku bahwa Abu Hanifah dulu jika ia mendapat kesulitan atau ragu-ragu dalam suatu permasalahan, maka ia berkata kepada sahabat-sahabatnya: ‘Tidaklah ini terjadi melainkan karena dosa yang telah aku perbuat’. Lalu beliau beristighfar, dan kadang-kadang beliau berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat lalu beristighfar, maka setelah itu selesailah masalahnya. Beliau berkata : ‘Aku selalu mengantungkan harapanku kepada Allah, dan meyakini bahwasanya Dia mengampuni dosa-dosaku, sehingga aku dapat menyelesaikan masalah yang kuhadapi.”
(‘Uqud al-Juman fi Manaqib al-Imam al-A’zham Abu Hanifah an-Nu’man : 228-229, Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi).
Ibnu Taimiyah jika beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an, beliau memohon dibukakan pintu kepahaman kepada Allah dengan berdoa : “Wahai Dzat yang mengajari Adam dan Ibrahim, ajarilah aku, dan Wahai Dzat yang memberi kepahaman kepada Sulaiman, jadikanlah aku paham.”
(I’lam al-Muwaqqi’in : 4/257, Ibnul Qayyim; dan al-Majmu’ah al-‘Ilmiyyah : 181, Syaikh Bakr Abu Zaid).
Imam Nawawi menceritakan bahwa Abu Ishaq asy-Syirazi (pengarang kitab Muhadzdzab) tidaklah membahas suatu masalah melainkan sebelumnya beliau memohon pertolongan (isti’anah) kepada Allah. Selain itu tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan diawali dengan shalat beberapa rakaat terlebih dahulu -untuk meminta petunjuk kepada Allah-. (Muqaddimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab : 1/15, An-Nawawi).
Semoga Allah merahmati seorang ulama yang berkata :
صبرا جميلا ما أقر ب الفر جا
من راقب الله في الأمور نجا
من صدق الله لم ينله أذى
ومن ر جاه يكو ن حيث رجا
“Bersabarlah, karena kelapangan itu akan datang secepatnya,
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala urusannya maka dia akan bahagia,
Barangsiapa yang selalu bergantung kepada Allah maka dia tidak akan ditimpa bencana,
Dan barangsiapa yang berharap kepada Allah maka dia akan mendapatkan harapannya.”
Allah Ta’ala sendiri mensifati diri-Nya sebagai tempat bergantung segala sesuatu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (QS. Al-Ikhlas : 2).
Ahli tafsir berkata : “Ash-Shomad artinya Allah menjadi tempat bergantungnya para hamba dalam memenuhi kebutuhannya.” (Ad-Durr al-Mantsur : 15/782, As-Suyuthi).
Bergantung kepada Allah dalam semua perkara, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon petunjuk, menaruh harapan, menyerahkan urusan, bertaubat, sampai dalam perkara-perkara yang remeh, itulah yang dilakukan para salaf kita. Bahkan Urwah bin Zubair berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar berdoa kepada Allah meminta segala keperluanku, sampai-sampai dalam perkara garam.” (Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah Ibn Zaid al-Qirwani : 1/211, Ahmad bin Ghunaim al-Maliki).
Dan orang yang bergantung kepada Allah semata, akan dibukakan pintu kesulitannya.
Abu Ja’far al-Balkhi berkata : “Telah sampai kepadaku bahwa Abu Hanifah dulu jika ia mendapat kesulitan atau ragu-ragu dalam suatu permasalahan, maka ia berkata kepada sahabat-sahabatnya: ‘Tidaklah ini terjadi melainkan karena dosa yang telah aku perbuat’. Lalu beliau beristighfar, dan kadang-kadang beliau berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat lalu beristighfar, maka setelah itu selesailah masalahnya. Beliau berkata : ‘Aku selalu mengantungkan harapanku kepada Allah, dan meyakini bahwasanya Dia mengampuni dosa-dosaku, sehingga aku dapat menyelesaikan masalah yang kuhadapi.”
(‘Uqud al-Juman fi Manaqib al-Imam al-A’zham Abu Hanifah an-Nu’man : 228-229, Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi).
Ibnu Taimiyah jika beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an, beliau memohon dibukakan pintu kepahaman kepada Allah dengan berdoa : “Wahai Dzat yang mengajari Adam dan Ibrahim, ajarilah aku, dan Wahai Dzat yang memberi kepahaman kepada Sulaiman, jadikanlah aku paham.”
(I’lam al-Muwaqqi’in : 4/257, Ibnul Qayyim; dan al-Majmu’ah al-‘Ilmiyyah : 181, Syaikh Bakr Abu Zaid).
Imam Nawawi menceritakan bahwa Abu Ishaq asy-Syirazi (pengarang kitab Muhadzdzab) tidaklah membahas suatu masalah melainkan sebelumnya beliau memohon pertolongan (isti’anah) kepada Allah. Selain itu tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan diawali dengan shalat beberapa rakaat terlebih dahulu -untuk meminta petunjuk kepada Allah-. (Muqaddimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab : 1/15, An-Nawawi).
Semoga Allah merahmati seorang ulama yang berkata :
صبرا جميلا ما أقر ب الفر جا
من راقب الله في الأمور نجا
من صدق الله لم ينله أذى
ومن ر جاه يكو ن حيث رجا
“Bersabarlah, karena kelapangan itu akan datang secepatnya,
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala urusannya maka dia akan bahagia,
Barangsiapa yang selalu bergantung kepada Allah maka dia tidak akan ditimpa bencana,
Dan barangsiapa yang berharap kepada Allah maka dia akan mendapatkan harapannya.”
Senin, 09 Agustus 2010
Selamat Datang Bulan Ramadhan !!
Tak terasa hari demi hari berlalu dan bulan demi bulan telah berganti, akhirnya bulan Ramadhan sudah di depan mata. Betapa gembiranya jiwa-jiwa manusia menyambut kedatangan bulan yang mulia. Bulan yang penuh ampunan, bulan dihidupkan solat malam, dan bulan pembacaan Al-Qur’an.
Oleh karena itu janganlah sia-siakan bulan Ramadhan. Isilah selalu dengan penuh amalan. Kerana kita tak tahu apakah Ramadhan tahun depan kita masih dipertemukan.
Seorang penyair mengatakan :
ياذا الذي ما كفاه الذنب في رجب
حتى عصى ربه في شهر شعبان
لقد أظلك شهر الصوم بعدهما
فلا تصيره أيضا شهر عصيان
واتل القرآن و سبح فيه مجتهدا
فإنه شهر تسبيح وقرآن
كم كنت تعرف ممن صام في سلف
من بين أهل وجيران وإخوان
أفناهم الوت واستبقاك بعدهمو
حيا فما أقرب القاصي من الداني
“Wahai jiwa yang tidak puas berbuat dosa di bulan Rajab
Hingga ia bermaksiat lagi di bulan Sya’ban
Telah datang kepadamu bulan puasa setelah keduanya
Janganlah kau jadikan bulan bergelimang dosa
Bacalah Al-Qur’an dan pujilah Dia dengan segala ketulusan
Inilah bulan pujian dan bacaan Al-Qur’an
Berapa banyak mereka yang dahulunya berpuasa
Keluarga, tetangga, hingga saudara
Maut telah menjemput mereka meninggalkanmu sebatang kara
Sungguh alangkah dekatnya kematian itu dibanding mereka yang disamping kita.”
Jadikanlah bulan Ramadhan sebagai sarana untuk mencari bekal pahala sebanyak-banyaknya. Bersabarlah dengan kelaparan dan kehausan selama berpuasa di dunia, karena itu lebih ringan daripada bersabar dengan kelaparan dan kehausan di hari kiamat yang tiada akhirnya. Dan penyesalan di hari kiamat tiadalah berguna.
Sebagaimana dikatakan ulama :
أتى رمضان مرزعة العباد
لتطهير القلوب من افساد
فأد حقوقه قولا و فعلا
وزادك فاتخذه للمعاد
فمن زرع الحبوب وما سقاها
تأوه نادما يوم الحصاد
“Ramadhan telah tiba sebagai ladang bagi hamba
Untuk membersihkan hati dari berbagai kerusakannya
Maka tunaikanlah hak (Ramadhan) dengan perkataan dan perbuatan mulia
Dan jadikanlah bulan itu sebagai bekal untuk hari kemudian nantinya
Barangsiapa yang menabur biji tetapi ia tidak menyiramnya
Niscaya ia akan merintih menyesal ketika musim panennya.”
(Latha’if al-Ma’arif : 280, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Ya Allah, berilah kekuatan kepada kami agar dapat menjalani bulan Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan kesabaran. Terimalah semua amalan-amalan kami, serta masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau ridhai...
Oleh karena itu janganlah sia-siakan bulan Ramadhan. Isilah selalu dengan penuh amalan. Kerana kita tak tahu apakah Ramadhan tahun depan kita masih dipertemukan.
Seorang penyair mengatakan :
ياذا الذي ما كفاه الذنب في رجب
حتى عصى ربه في شهر شعبان
لقد أظلك شهر الصوم بعدهما
فلا تصيره أيضا شهر عصيان
واتل القرآن و سبح فيه مجتهدا
فإنه شهر تسبيح وقرآن
كم كنت تعرف ممن صام في سلف
من بين أهل وجيران وإخوان
أفناهم الوت واستبقاك بعدهمو
حيا فما أقرب القاصي من الداني
“Wahai jiwa yang tidak puas berbuat dosa di bulan Rajab
Hingga ia bermaksiat lagi di bulan Sya’ban
Telah datang kepadamu bulan puasa setelah keduanya
Janganlah kau jadikan bulan bergelimang dosa
Bacalah Al-Qur’an dan pujilah Dia dengan segala ketulusan
Inilah bulan pujian dan bacaan Al-Qur’an
Berapa banyak mereka yang dahulunya berpuasa
Keluarga, tetangga, hingga saudara
Maut telah menjemput mereka meninggalkanmu sebatang kara
Sungguh alangkah dekatnya kematian itu dibanding mereka yang disamping kita.”
Jadikanlah bulan Ramadhan sebagai sarana untuk mencari bekal pahala sebanyak-banyaknya. Bersabarlah dengan kelaparan dan kehausan selama berpuasa di dunia, karena itu lebih ringan daripada bersabar dengan kelaparan dan kehausan di hari kiamat yang tiada akhirnya. Dan penyesalan di hari kiamat tiadalah berguna.
Sebagaimana dikatakan ulama :
أتى رمضان مرزعة العباد
لتطهير القلوب من افساد
فأد حقوقه قولا و فعلا
وزادك فاتخذه للمعاد
فمن زرع الحبوب وما سقاها
تأوه نادما يوم الحصاد
“Ramadhan telah tiba sebagai ladang bagi hamba
Untuk membersihkan hati dari berbagai kerusakannya
Maka tunaikanlah hak (Ramadhan) dengan perkataan dan perbuatan mulia
Dan jadikanlah bulan itu sebagai bekal untuk hari kemudian nantinya
Barangsiapa yang menabur biji tetapi ia tidak menyiramnya
Niscaya ia akan merintih menyesal ketika musim panennya.”
(Latha’if al-Ma’arif : 280, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Ya Allah, berilah kekuatan kepada kami agar dapat menjalani bulan Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan kesabaran. Terimalah semua amalan-amalan kami, serta masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau ridhai...
Kamis, 05 Agustus 2010
Nasihatilah Manusia Walaupun Engkau Seorang Pendosa
Mungkin ada sebagian orang yang tidak tergerak hatinya untuk menasihati manusia, karena ia merasa banyak melakukan dosa dan tidak layak untuk mengucapkan ucapan kebaikan kepada sesama manusia.
Pandangan seperti itu adalah keliru dan bahayanya sangat besar, serta akan membuat syaitan gembira. Betapa tidak, karena jika mesti menunggu sampai seseorang bersih dari dosa baru ia layak menasihati manusia, maka tidak ada seorangpun dimuka bumi yang layak memberi nasihat setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercinta.
Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
إذا لم يعظ في الناس من هو مذنب
فمن يعظ العاصين بعد محمد
“Apabila seorang pendosa itu tidak menasihati manusia,
Maka siapakah yang akan menasihati orang-orang yang berdosa setelah Nabi Muhammad kita”.
Sa’id bin Jubair berkata : “Apabila seseorang tidak memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari yang munkar, hingga ia menunggu dirinya bebas dari kesalahan, maka tidak akan ada seorangpun yang memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari yang munkar”.
Imam Malik setelah mendengar perkataan Sa’id bin Jubair berkata : “Benar apa yang dikatakan Sa’id. Siapakah yang tidak memiliki sedikitpun dosa dalam dirinya?”.
Al Hasan berkata kepada Mutharrif bin ‘Abdillah : “Berilah nasihat kepada sahabat-sahabatmu”. Mutharrif menjawab : “Sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku kerjakan”.
Al Hasan balik berkata : “Semoga Allah merahmati dirimu. Tidak ada seorangpun diantara kita yang melakukan semua yang diperintahkan Allah. Syaitan akan gembira apabila kita berpikir seperti itu sehingga tidak ada seorangpun yang memerintah kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari kemungkaran”.
Berkata Ibnu Hazm : “Apabila orang yang mencegah dari perbuatan keji mesti orang yang tidak memiliki kesalahan, dan orang yang memerintah kepada kebaikan mesti orang yang selalu mengerjakan kebajikan, maka tidak ada seorangpun yang mencegah dari yang munkar dan tidak ada seorang pun yang mengajak kepada kebaikan setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Semua nukilan diatas dapat ditemukan dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an : 1/367, Al-Qurthubi).
Imam Nawawi berkata :
“Para ulama menyatakan bahwa tidak disyaratkan pada orang yang memerintah kepada kebaikan atau orang yang mencegah dari kemungkaran untuk mencapai kesempurnaan dalam segala hal. Tapi, ia mesti tetap mengajak kepada kebaikan walaupun ia memiliki kekurangan dalam hal yang ia ajak kepadanya, dan ia tetap mencegah kemungkaran walau ia terkadang mengerjakan apa yang ia cegah. Karena sesungguhnya wajib pada dirinya dua perkara yaitu : mengajak dirinya sendiri ke arah kebaikan dan mencegah dari kemungkaran; dan mengajak orang lain ke arah kepada kebaikan dan mencegah mereka dari yang mungkar. Tidak boleh ia melalaikan salah satu dari dua perkara tersebut”.
(Syarh Shahih Muslim : 2/23, An-Nawawi).
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu saling menasihati dalam kebaikan.
Pandangan seperti itu adalah keliru dan bahayanya sangat besar, serta akan membuat syaitan gembira. Betapa tidak, karena jika mesti menunggu sampai seseorang bersih dari dosa baru ia layak menasihati manusia, maka tidak ada seorangpun dimuka bumi yang layak memberi nasihat setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercinta.
Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
إذا لم يعظ في الناس من هو مذنب
فمن يعظ العاصين بعد محمد
“Apabila seorang pendosa itu tidak menasihati manusia,
Maka siapakah yang akan menasihati orang-orang yang berdosa setelah Nabi Muhammad kita”.
Sa’id bin Jubair berkata : “Apabila seseorang tidak memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari yang munkar, hingga ia menunggu dirinya bebas dari kesalahan, maka tidak akan ada seorangpun yang memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari yang munkar”.
Imam Malik setelah mendengar perkataan Sa’id bin Jubair berkata : “Benar apa yang dikatakan Sa’id. Siapakah yang tidak memiliki sedikitpun dosa dalam dirinya?”.
Al Hasan berkata kepada Mutharrif bin ‘Abdillah : “Berilah nasihat kepada sahabat-sahabatmu”. Mutharrif menjawab : “Sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku kerjakan”.
Al Hasan balik berkata : “Semoga Allah merahmati dirimu. Tidak ada seorangpun diantara kita yang melakukan semua yang diperintahkan Allah. Syaitan akan gembira apabila kita berpikir seperti itu sehingga tidak ada seorangpun yang memerintah kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari kemungkaran”.
Berkata Ibnu Hazm : “Apabila orang yang mencegah dari perbuatan keji mesti orang yang tidak memiliki kesalahan, dan orang yang memerintah kepada kebaikan mesti orang yang selalu mengerjakan kebajikan, maka tidak ada seorangpun yang mencegah dari yang munkar dan tidak ada seorang pun yang mengajak kepada kebaikan setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Semua nukilan diatas dapat ditemukan dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an : 1/367, Al-Qurthubi).
Imam Nawawi berkata :
“Para ulama menyatakan bahwa tidak disyaratkan pada orang yang memerintah kepada kebaikan atau orang yang mencegah dari kemungkaran untuk mencapai kesempurnaan dalam segala hal. Tapi, ia mesti tetap mengajak kepada kebaikan walaupun ia memiliki kekurangan dalam hal yang ia ajak kepadanya, dan ia tetap mencegah kemungkaran walau ia terkadang mengerjakan apa yang ia cegah. Karena sesungguhnya wajib pada dirinya dua perkara yaitu : mengajak dirinya sendiri ke arah kebaikan dan mencegah dari kemungkaran; dan mengajak orang lain ke arah kepada kebaikan dan mencegah mereka dari yang mungkar. Tidak boleh ia melalaikan salah satu dari dua perkara tersebut”.
(Syarh Shahih Muslim : 2/23, An-Nawawi).
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu saling menasihati dalam kebaikan.
Senin, 02 Agustus 2010
Dosa Yang Disesali Lebih Baik Daripada Amal Yang Dibanggakan
Ibnul Qayyim (wafat 751 H) berkata :
“Berkata sebagian salaf : ‘Adakalanya seorang hamba berbuat dosa, namun masuk surga. Dan adakalanya seseorang mengerjakan ketaatan, namun masuk neraka’.
Bagaimana hal tersebut dapat terjadi ?
Hal ini karena orang yang berbuat dosa, maka seolah-olah dosa itu selalu di hadapan matanya. Ketika ia berdiri, duduk, maupun berjalan, ia selalu ingat akan dosa tersebut sehingga membuat hatinya luluh, bertaubat, memohon ampunan kepada Allah, dan menyesali perbuatannya. Hal inilah yang menjadi sebab keselamatannya.
Adapun orang yang berbuat kebaikan, seakan-akan kebaikan itu selalu tampak di hadapan matanya. Ketika ia berdiri, duduk, maupun berjalan, ia selalu ingat akan kebaikannya tersebut sehingga membuatnya takabur, ujub, dan merasa telah mendapatkan karunia. Hal itulah yang menjadi sebab kebinasaannya.
Dengan demikian, dosa dapat mendatangkan berbagai ketaatan dan kebaikan. Menimbulkan ibadah hati seperti perasaan takut terhadap azab Allah yang pedih, malu dan merasa hina di hadapan-Nya sambil menundukkan kepala, membuatnya menangis karena menyesali dosa yang pernah dilakukannya, serta mengharap ampunan dari Rabb-nya.
Pengaruh tersebut lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada ketaatan yang menjadikannya angkuh, sombong, menghinakan orang lain, dan melihat manusia dengan pandangan merendahkan.”
(Madarijus Salikin : 1/307, Ibnul Qayyim al-Jauziyah).
“Berkata sebagian salaf : ‘Adakalanya seorang hamba berbuat dosa, namun masuk surga. Dan adakalanya seseorang mengerjakan ketaatan, namun masuk neraka’.
Bagaimana hal tersebut dapat terjadi ?
Hal ini karena orang yang berbuat dosa, maka seolah-olah dosa itu selalu di hadapan matanya. Ketika ia berdiri, duduk, maupun berjalan, ia selalu ingat akan dosa tersebut sehingga membuat hatinya luluh, bertaubat, memohon ampunan kepada Allah, dan menyesali perbuatannya. Hal inilah yang menjadi sebab keselamatannya.
Adapun orang yang berbuat kebaikan, seakan-akan kebaikan itu selalu tampak di hadapan matanya. Ketika ia berdiri, duduk, maupun berjalan, ia selalu ingat akan kebaikannya tersebut sehingga membuatnya takabur, ujub, dan merasa telah mendapatkan karunia. Hal itulah yang menjadi sebab kebinasaannya.
Dengan demikian, dosa dapat mendatangkan berbagai ketaatan dan kebaikan. Menimbulkan ibadah hati seperti perasaan takut terhadap azab Allah yang pedih, malu dan merasa hina di hadapan-Nya sambil menundukkan kepala, membuatnya menangis karena menyesali dosa yang pernah dilakukannya, serta mengharap ampunan dari Rabb-nya.
Pengaruh tersebut lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada ketaatan yang menjadikannya angkuh, sombong, menghinakan orang lain, dan melihat manusia dengan pandangan merendahkan.”
(Madarijus Salikin : 1/307, Ibnul Qayyim al-Jauziyah).
Rabu, 28 Juli 2010
Mengambil Faidah Dari Kejadian Alam Sekitar
Ana terkadang senang memandangi semut yang bergerak mencari makanan. Jika telah menemukan makanan maka ia segera membawa makanan tersebut, walau makanan itu jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya. Terkadang sang semut dengan susah payah jatuh bangun membawa makanannya, namun dengan keuletan dan kesabaran akhirnya ia berhasil membawa makanan itu ke sarangnya.
Sungguh, kejadian seperti itu mungkin terlihat remeh dalam kehidupan sehari-hari. Tapi bagi yang mau sejenak memikirkan akan mendapatkan perumpamaan bahwasanya hanya dengan keuletan dan kesabaran, maka cita-cita tinggi -yang awalnya sulit ditempuh- akhirnya dapat dicapai.
Bahkan kita temukan dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala mensifati hamba-hamba-Nya yang mau merenungkan hikmah dibalik kejadian-kejadian di alam ini sebagai ulil albab (orang yang berakal). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ، الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Ada kisah ulama yang mendapatkan motivasi setelah melihat kejadian di alam sekitarnya :
Al-Khatib al-Baghdadi menceritakan dengan sanadnya sampai kepada al-Fadhl bin Sa’id, ia berkata :
“Dahulu ada seseorang yang menuntut ilmu. Lalu ia merasa tidak mampu mengikutinya, maka ia putuskan untuk berhenti saja. Ketika ia sedang berjalan dan melihat aliran air dari gunung yang menetes di atas batu, sehingga membuat batu itu cekung karena tetesan air, maka ia pun berkata : ‘Air ini meskipun lembut tapi mampu membuat batu yang keras menjadi cekung! Demi Allah, sungguh aku akan benar-benar menuntut ilmu’. Selanjutnya ia kembali menuntut ilmu dan akhirnya menjadi seorang ulama.”
(Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ : 2/262, al-Khatib al-Baghdadi. Kisah tersebut juga diceritakan oleh as-Suyuthi dalam al-Muzhhir fi Ulum al-Lughah : 2/303).
Demikianlah, semoga kejadian-kejadian di alam sekitar kita dapat direnungkan dan diambil pelajaran sehingga menjadi bahan motivasi dan inspirasi. Sungguh benar ucapan seorang penyair yang berkata:
ما راح يوم على حي ولا ابتكرا
إلا رأى عبرة فيها إن اعتبر
“Tidaklah pagi dan sore berlalu bagi orang yang bernyawa,
Melainkan ia akan melihat padanya pelajaran jika ia mau mengambilnya”.
Sungguh, kejadian seperti itu mungkin terlihat remeh dalam kehidupan sehari-hari. Tapi bagi yang mau sejenak memikirkan akan mendapatkan perumpamaan bahwasanya hanya dengan keuletan dan kesabaran, maka cita-cita tinggi -yang awalnya sulit ditempuh- akhirnya dapat dicapai.
Bahkan kita temukan dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala mensifati hamba-hamba-Nya yang mau merenungkan hikmah dibalik kejadian-kejadian di alam ini sebagai ulil albab (orang yang berakal). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ، الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Ada kisah ulama yang mendapatkan motivasi setelah melihat kejadian di alam sekitarnya :
Al-Khatib al-Baghdadi menceritakan dengan sanadnya sampai kepada al-Fadhl bin Sa’id, ia berkata :
“Dahulu ada seseorang yang menuntut ilmu. Lalu ia merasa tidak mampu mengikutinya, maka ia putuskan untuk berhenti saja. Ketika ia sedang berjalan dan melihat aliran air dari gunung yang menetes di atas batu, sehingga membuat batu itu cekung karena tetesan air, maka ia pun berkata : ‘Air ini meskipun lembut tapi mampu membuat batu yang keras menjadi cekung! Demi Allah, sungguh aku akan benar-benar menuntut ilmu’. Selanjutnya ia kembali menuntut ilmu dan akhirnya menjadi seorang ulama.”
(Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ : 2/262, al-Khatib al-Baghdadi. Kisah tersebut juga diceritakan oleh as-Suyuthi dalam al-Muzhhir fi Ulum al-Lughah : 2/303).
Demikianlah, semoga kejadian-kejadian di alam sekitar kita dapat direnungkan dan diambil pelajaran sehingga menjadi bahan motivasi dan inspirasi. Sungguh benar ucapan seorang penyair yang berkata:
ما راح يوم على حي ولا ابتكرا
إلا رأى عبرة فيها إن اعتبر
“Tidaklah pagi dan sore berlalu bagi orang yang bernyawa,
Melainkan ia akan melihat padanya pelajaran jika ia mau mengambilnya”.
Minggu, 25 Juli 2010
Petaka Lisan : Ketika Ucapan Berbalik Kepada Pengucapnya
Dalam kehidupan sehari-hari amatlah mudah kita temukan manusia yang gemar melecehkan dan merendahkan orang lain. Terlebih jika seseorang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, harta, maupun agama, maka jadilah ia sasaran ejekan manusia.
Padahal melecehkan manusia adalah haram hukumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه
“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang dengan merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya”. (HR. Muslim).
Hendaknya setiap diri takut kepada Allah, yang mana Allah akan menimpakan bala’ (musibah) kepada lisan-lisan yang gemar menggunjing manusia, dan acapkali bala’ tersebut terjadi di dunia yakni dengan cara ucapan pelecahan tersebut berbalik kepada pengucapnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً باِلْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذلِكَ
“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian”. (HR. Bukhari).
Beberapa kisah berikut semoga dapat menjadi pelajaran :
- Ibnu Sirin berkata : “Aku pernah mengejek orang yang sedang mengalami kebangkrutan. Lalu justru aku yang ditimpa kebangkrutan”. Dalam riwayat lain beliau pernah mengatakan kepada seseorang : “Wahai orang yang bangkrut!”. Tak lama setelahnya beliau dihukum penjara karena bangkrut dan tidak dapat membayar hutang. (Tarikh Baghdad : 5/334, Al-Khatib al-Baghdadi; Siyar A’lam an-Nubala : 4/616, adz-Dzahabi; al-Adab asy-Syar’iyyah : 1/341, Ibnu Muflih).
- Diceritakan bahwa al-Kisa’i -seorang ahli nahwu dan qira’ah- bertemu dengan al-Yazidi -juga seorang ahli nahwu- di tempat khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ketika masuk waktu shalat ditunjuklah al-Kisa’i menjadi imam, dan beliau salah ketika membaca surah al-Kafirun. Setelah shalat al-Yazidi mengejeknya dan berkata: “Seorang qari kota Kufah salah dalam membaca surah al-Kafirun ?!”.
Beberapa waktu kemudian, al-Kisa’i bertemu kembali dengan al-Yazidi, dan ketika masuk waktu shalat ditunjuklah al-Yazidi menjadi imam. Ketika al-Yazidi menjadi imam, beliau salah dalam membaca surah al-Fatihah (!!). Setelah shalat al-Kisa’i berkata dalam bentuk untaian syair :
احفظ لسانك لا تقل فتبتلى
إن البلاء مو كل بالنطق
“Jagalah lisanmu jangan berkomentar, sebab engkau pun dapat ditimpa ujian;
Sesungguhnya bala’ itu dapat disebabkan oleh ucapan”.
(Thabaqat al-Mufassirin : 1/403, ad-Dawudi).
- Ada orang yang berkata : “Aku pernah mencela seseorang yang telah hilang sebagian giginya. Lalu gigiku pun lenyap semuanya!”. (Al-Adab asy-Syar’iyyah : 1/341, Ibnu Muflih).
Semoga kita dapat mengambil ibrah dari beberapa kisah tersebut. Terakhir, dengarlah nasihat dari Ibrahim an-Nakha’i, beliau berkata:
“Sesungguhnya aku mendapatkan jiwaku membisikkan kepadaku agar mengatakan sesuatu. Tidaklah ada yang mencegahku dari mengatakannya melainkan kekhawatiranku akan tertimpa seperti yang kuucapkan”. (Dzamm al-Baghyi : 56, Ibnu Abid Dunya).
Padahal melecehkan manusia adalah haram hukumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه
“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang dengan merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya”. (HR. Muslim).
Hendaknya setiap diri takut kepada Allah, yang mana Allah akan menimpakan bala’ (musibah) kepada lisan-lisan yang gemar menggunjing manusia, dan acapkali bala’ tersebut terjadi di dunia yakni dengan cara ucapan pelecahan tersebut berbalik kepada pengucapnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً باِلْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذلِكَ
“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian”. (HR. Bukhari).
Beberapa kisah berikut semoga dapat menjadi pelajaran :
- Ibnu Sirin berkata : “Aku pernah mengejek orang yang sedang mengalami kebangkrutan. Lalu justru aku yang ditimpa kebangkrutan”. Dalam riwayat lain beliau pernah mengatakan kepada seseorang : “Wahai orang yang bangkrut!”. Tak lama setelahnya beliau dihukum penjara karena bangkrut dan tidak dapat membayar hutang. (Tarikh Baghdad : 5/334, Al-Khatib al-Baghdadi; Siyar A’lam an-Nubala : 4/616, adz-Dzahabi; al-Adab asy-Syar’iyyah : 1/341, Ibnu Muflih).
- Diceritakan bahwa al-Kisa’i -seorang ahli nahwu dan qira’ah- bertemu dengan al-Yazidi -juga seorang ahli nahwu- di tempat khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ketika masuk waktu shalat ditunjuklah al-Kisa’i menjadi imam, dan beliau salah ketika membaca surah al-Kafirun. Setelah shalat al-Yazidi mengejeknya dan berkata: “Seorang qari kota Kufah salah dalam membaca surah al-Kafirun ?!”.
Beberapa waktu kemudian, al-Kisa’i bertemu kembali dengan al-Yazidi, dan ketika masuk waktu shalat ditunjuklah al-Yazidi menjadi imam. Ketika al-Yazidi menjadi imam, beliau salah dalam membaca surah al-Fatihah (!!). Setelah shalat al-Kisa’i berkata dalam bentuk untaian syair :
احفظ لسانك لا تقل فتبتلى
إن البلاء مو كل بالنطق
“Jagalah lisanmu jangan berkomentar, sebab engkau pun dapat ditimpa ujian;
Sesungguhnya bala’ itu dapat disebabkan oleh ucapan”.
(Thabaqat al-Mufassirin : 1/403, ad-Dawudi).
- Ada orang yang berkata : “Aku pernah mencela seseorang yang telah hilang sebagian giginya. Lalu gigiku pun lenyap semuanya!”. (Al-Adab asy-Syar’iyyah : 1/341, Ibnu Muflih).
Semoga kita dapat mengambil ibrah dari beberapa kisah tersebut. Terakhir, dengarlah nasihat dari Ibrahim an-Nakha’i, beliau berkata:
“Sesungguhnya aku mendapatkan jiwaku membisikkan kepadaku agar mengatakan sesuatu. Tidaklah ada yang mencegahku dari mengatakannya melainkan kekhawatiranku akan tertimpa seperti yang kuucapkan”. (Dzamm al-Baghyi : 56, Ibnu Abid Dunya).
Rabu, 21 Juli 2010
Siapakah Thalibul ‘Ilmi (Penuntut Ilmu) ?
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali pernah ditanya : “Kapan seseorang dikatakan sebagai thalibul ‘ilmi (penuntut ilmu)?”
Maka beliau hafidzahullah menjawab :
“Seseorang disebut thalibul ‘ilmi apabila ia menuntut ilmu. Maka yang masih pemula dan yunior adalah thalibul ‘ilmi; yang sedang di tengah perjalanan adalah thalibul ‘ilmi; dan ulama senior yang sudah mujtahid pun pada hakikatnya adalah thalibul ‘ilmi.
Setiap orang yang berusaha dan sedang meniti jalan menuntut ilmu maka ia adalah thalibul ‘ilmi.
Thalibul ‘ilmi adalah gelar mulia. Karena ilmu adalah warisan para Nabi. Barangsiapa yang mencarinya maka ia telah mencari warisan yang paling berharga.
Dan menuntut ilmu itu tidak ada batasnya, bahkan setiap kali seseorang bertambah ‘alim maka ia akan melihat dirinya lebih banyak belum mengetahui dibanding apa yang telah ia ketahui.
Oleh karena itu, seorang thalibul ‘ilmi walaupun telah berusia tua, maka ia tidak akan pernah merasa cukup dari menuntut ilmu selamanya, dan ia masih terus membutuhkan tambahan ilmu, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً
“Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".” (QS. Thoha : 114).
(Sumber : Majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah edisi 52 vol.7 Th.1430 H, hal. 9-10 dengan diringkas).
Maka beliau hafidzahullah menjawab :
“Seseorang disebut thalibul ‘ilmi apabila ia menuntut ilmu. Maka yang masih pemula dan yunior adalah thalibul ‘ilmi; yang sedang di tengah perjalanan adalah thalibul ‘ilmi; dan ulama senior yang sudah mujtahid pun pada hakikatnya adalah thalibul ‘ilmi.
Setiap orang yang berusaha dan sedang meniti jalan menuntut ilmu maka ia adalah thalibul ‘ilmi.
Thalibul ‘ilmi adalah gelar mulia. Karena ilmu adalah warisan para Nabi. Barangsiapa yang mencarinya maka ia telah mencari warisan yang paling berharga.
Dan menuntut ilmu itu tidak ada batasnya, bahkan setiap kali seseorang bertambah ‘alim maka ia akan melihat dirinya lebih banyak belum mengetahui dibanding apa yang telah ia ketahui.
Oleh karena itu, seorang thalibul ‘ilmi walaupun telah berusia tua, maka ia tidak akan pernah merasa cukup dari menuntut ilmu selamanya, dan ia masih terus membutuhkan tambahan ilmu, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً
“Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".” (QS. Thoha : 114).
(Sumber : Majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah edisi 52 vol.7 Th.1430 H, hal. 9-10 dengan diringkas).
Senin, 19 Juli 2010
Larangan Mengingkari Janji
Setiap manusia selama hidupnya pasti pernah membuat janji dengan manusia lainnya. Masalahnya adalah adanya sebagian orang yang mudah membuat janji -karena mengganggapnya perkara remeh-, lalu setelah berjanji ia tidak menepatinya tanpa alasan (udzur) dan tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Padahal mengingkari janji merupakan kezaliman terhadap orang lain. ‘Ajaibnya’ penyakit ini tidak hanya menimpa orang-orang awam bahkan menimpa pula sebagian penuntut ilmu. La haula wala quwwata illa billah.
Berjanji adalah suatu perkara yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu”. (QS. Al Maidah : 1).
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“…dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabnya”. (QS. Al Israa’ : 34).
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran : 76).
Serta masih ada beberapa ayat lain yang menyebutkan keutamaan menepati janji.
Kebalikannya, mengingkari janji adalah salah satu ciri kaum yang diazab. Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat mereka :
وَمَا وَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”. (QS. Al A’raaf : 102).
Penutup para nabi, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga : apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah betapa tercelanya mengingkari janji.
Bercerminlah dari kisah dan perkataan para salaf :
Ibnu Abdi Rabbihi menceritakan kisahnya dengan seorang tabi’in terkemuka bernama Ibnu Sirin (wafat 110 H), ia mengisahkan :
“Suatu hari aku berjanji dengan Ibnu Sirin untuk membelikannya hewan kurban, namun aku lupa karena ada kesibukan dan baru ingat setelah itu. Maka aku mendatanginya ketika sudah lewat tengah hari. Ternyata Ibnu Sirin masih menungguku. Maka aku ucapkan salam, lalu ia mengangkat kepalanya dan berkata : “Akankah aku terima kesalahanmu?”. Aku katakan : “Aku disibukkan oleh sahabat-sahabatku, mereka menghalangiku untuk mendatangimu. Mereka mengatakan engkau (Ibnu Sirin) telah menunggumu lama, maka mungkin engkau telah pergi”. Ibnu Sirin kemudian berkata : “Seandainya engkau tidak datang sampai matahari terbenam, aku tidak akan beranjak dari tempat ini kecuali untuk shalat dan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak”. (Iltimas as-Sa’di fil Wafa bil Wa’di : 70-71, As-Sakhawi; dan Ash-Shamt : 459, Ibnu Abid Dunya).
Auf bin Nu’man radhiyallahu 'anhu pernah berkata : “Di zaman jahiliyah, seseorang lebih baik mati dalam keadaan kehausan daripada ia mengingkari janji”. (Adab al-Imla wal Istimla : 41, As-Sam’ani; dan Tajrid Shahabah : 429, Adz-Dzahabi).
Amr bin Harits berkata : “Di zaman salaf aku jumpai orang yang berjanji pasti ia memenuhinya. Tapi di zaman sekarang aku merasa lelah dengan orang yang berjanji tapi mengingkarinya”. (Uyun al-Akhbar : 3/145, Ibnu Qutaibah).
Sulaiman bin Dawud berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, apabila engkau berjanji maka janganlah engkau mengingkarinya. Karena mengingkari janji dapat mengubah rasa cinta menjadi rasa benci”. (Adab al-Imla wal Istimla : 41).
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sufyan al-Mustamli, dia berkata : Aku pernah bertanya kepada bapakmu -Ahmad bin Hanbal- : ‘Bagaimana engkau dapat mengetahui seseorang itu termasuk pendusta?’. Beliau menjawab : ‘Dari janji-janji mereka’.” (Ma’alim fi Thariq Thalab al-Ilmi : 164, Abdul Aziz as-Sadhan).
Ada sebuah syair terkenal mengatakan :
إذا قلت في شيء نعم فأتمه
فإن نعم دين على الحر واجب
وإلا فقل لا واسترح وأرح بها
لئلا يقول الناس : إنك كاذب
“Apabila engkau telah mengatakan ‘Ya’ maka tunaikanlah
Karena ucapan ‘Ya’ adalah hutang yang wajib dilunasi;
Kalau tidak mampu, katakanlah ‘Tidak’ dan istirahatlah
Supaya orang lain tidak mengatakan : ‘Engkau pendusta’”.
Padahal mengingkari janji merupakan kezaliman terhadap orang lain. ‘Ajaibnya’ penyakit ini tidak hanya menimpa orang-orang awam bahkan menimpa pula sebagian penuntut ilmu. La haula wala quwwata illa billah.
Berjanji adalah suatu perkara yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu”. (QS. Al Maidah : 1).
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“…dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabnya”. (QS. Al Israa’ : 34).
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran : 76).
Serta masih ada beberapa ayat lain yang menyebutkan keutamaan menepati janji.
Kebalikannya, mengingkari janji adalah salah satu ciri kaum yang diazab. Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat mereka :
وَمَا وَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”. (QS. Al A’raaf : 102).
Penutup para nabi, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga : apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah betapa tercelanya mengingkari janji.
Bercerminlah dari kisah dan perkataan para salaf :
Ibnu Abdi Rabbihi menceritakan kisahnya dengan seorang tabi’in terkemuka bernama Ibnu Sirin (wafat 110 H), ia mengisahkan :
“Suatu hari aku berjanji dengan Ibnu Sirin untuk membelikannya hewan kurban, namun aku lupa karena ada kesibukan dan baru ingat setelah itu. Maka aku mendatanginya ketika sudah lewat tengah hari. Ternyata Ibnu Sirin masih menungguku. Maka aku ucapkan salam, lalu ia mengangkat kepalanya dan berkata : “Akankah aku terima kesalahanmu?”. Aku katakan : “Aku disibukkan oleh sahabat-sahabatku, mereka menghalangiku untuk mendatangimu. Mereka mengatakan engkau (Ibnu Sirin) telah menunggumu lama, maka mungkin engkau telah pergi”. Ibnu Sirin kemudian berkata : “Seandainya engkau tidak datang sampai matahari terbenam, aku tidak akan beranjak dari tempat ini kecuali untuk shalat dan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak”. (Iltimas as-Sa’di fil Wafa bil Wa’di : 70-71, As-Sakhawi; dan Ash-Shamt : 459, Ibnu Abid Dunya).
Auf bin Nu’man radhiyallahu 'anhu pernah berkata : “Di zaman jahiliyah, seseorang lebih baik mati dalam keadaan kehausan daripada ia mengingkari janji”. (Adab al-Imla wal Istimla : 41, As-Sam’ani; dan Tajrid Shahabah : 429, Adz-Dzahabi).
Amr bin Harits berkata : “Di zaman salaf aku jumpai orang yang berjanji pasti ia memenuhinya. Tapi di zaman sekarang aku merasa lelah dengan orang yang berjanji tapi mengingkarinya”. (Uyun al-Akhbar : 3/145, Ibnu Qutaibah).
Sulaiman bin Dawud berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, apabila engkau berjanji maka janganlah engkau mengingkarinya. Karena mengingkari janji dapat mengubah rasa cinta menjadi rasa benci”. (Adab al-Imla wal Istimla : 41).
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sufyan al-Mustamli, dia berkata : Aku pernah bertanya kepada bapakmu -Ahmad bin Hanbal- : ‘Bagaimana engkau dapat mengetahui seseorang itu termasuk pendusta?’. Beliau menjawab : ‘Dari janji-janji mereka’.” (Ma’alim fi Thariq Thalab al-Ilmi : 164, Abdul Aziz as-Sadhan).
Ada sebuah syair terkenal mengatakan :
إذا قلت في شيء نعم فأتمه
فإن نعم دين على الحر واجب
وإلا فقل لا واسترح وأرح بها
لئلا يقول الناس : إنك كاذب
“Apabila engkau telah mengatakan ‘Ya’ maka tunaikanlah
Karena ucapan ‘Ya’ adalah hutang yang wajib dilunasi;
Kalau tidak mampu, katakanlah ‘Tidak’ dan istirahatlah
Supaya orang lain tidak mengatakan : ‘Engkau pendusta’”.
Kamis, 15 Juli 2010
Keutamaan Sabar
Wahai saudaraku, sesungguhnya apabila kita membaca Al-Qur’an maka akan kita dapatkan banyak sekali ditemukan kata ‘sabar’, yang menunjukkan keutamaan dan kemuliaan orang-orang yang bersabar.
Bahkan Allah Ta’ala berjanji akan bersama orang-orang yang sabar. Bukankah manusia sungguh senang jika di dunia ditemani seorang sultan, raja, penguasa, atau orang-orang besar lainnya. Lalu bagaimana jika yang menemaninya adalah Robb semesta alam, Allah Subhanahu wa Ta'ala ? Tentu seorang mukmin semestinya amat sangat gembira.
Inilah beberapa janji Allah Ta’ala kepada orang yang sabar. Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 153).
“Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 249).
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Anfaal : 46).
“Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar kalau mereka mengetahui, (yaitu bagi) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal” (QS. An Nahl : 42).
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 155).
“Allah menyukai orang-orang yang sabar” (QS. Ali Imran : 146).
“Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS. Huud : 11).
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan” (QS. An Nahl : 96).
“Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (QS. An Nahl : 126).
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli, mereka semua termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al Anbiyaa : 85).
“Dan tidaklah diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar” (QS. Al Qashash : 80).
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” (QS. Fushilat : 35).
Dan masih banyak ayat-ayat yang lain.
Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H) dalam kitabnya Uddatush Shabirin menukil perkataan para salaf tentang keutamaan sabar :
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Kami mendapati keutamaan hidup dengan bersabar. Kalaulah sabar itu adalah seorang laki-laki maka tentulah ia sangat mulia”.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menuturkan :
“Ketahuilah, perumpamaan sabar dengan iman seperti kepala dengan badan. Jika kepalanya terpotong maka binasalah badannya”.
Berkata Al-Hasan : “Sabar adalah perbendaharaan surga yang tidak diberikan Allah kecuali bagi hamba yang mulia di sisi-Nya”.
(Uddatush Shabirin : 95, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah).
Bahkan Allah Ta’ala berjanji akan bersama orang-orang yang sabar. Bukankah manusia sungguh senang jika di dunia ditemani seorang sultan, raja, penguasa, atau orang-orang besar lainnya. Lalu bagaimana jika yang menemaninya adalah Robb semesta alam, Allah Subhanahu wa Ta'ala ? Tentu seorang mukmin semestinya amat sangat gembira.
Inilah beberapa janji Allah Ta’ala kepada orang yang sabar. Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 153).
“Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 249).
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Anfaal : 46).
“Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar kalau mereka mengetahui, (yaitu bagi) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal” (QS. An Nahl : 42).
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 155).
“Allah menyukai orang-orang yang sabar” (QS. Ali Imran : 146).
“Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS. Huud : 11).
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan” (QS. An Nahl : 96).
“Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (QS. An Nahl : 126).
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli, mereka semua termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al Anbiyaa : 85).
“Dan tidaklah diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar” (QS. Al Qashash : 80).
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” (QS. Fushilat : 35).
Dan masih banyak ayat-ayat yang lain.
Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H) dalam kitabnya Uddatush Shabirin menukil perkataan para salaf tentang keutamaan sabar :
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Kami mendapati keutamaan hidup dengan bersabar. Kalaulah sabar itu adalah seorang laki-laki maka tentulah ia sangat mulia”.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menuturkan :
“Ketahuilah, perumpamaan sabar dengan iman seperti kepala dengan badan. Jika kepalanya terpotong maka binasalah badannya”.
Berkata Al-Hasan : “Sabar adalah perbendaharaan surga yang tidak diberikan Allah kecuali bagi hamba yang mulia di sisi-Nya”.
(Uddatush Shabirin : 95, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah).
Rabu, 14 Juli 2010
Kisah Ulama Dengan Air Zam-Zam
Diantara barokah dan keistimewaan air zam-zam adalah berkhasiat sesuai tujuan diminumnya. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ
“Air zam-zam bermanfaat sesuai dengan tujuan diminumnya”.
(HR. Ibnu Majah no. 3062, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1123).
Selain itu, air zam-zam juga berkhasiat sebagai makanan yang mengenyangkan, dan juga -dengan izin Allah- sebagai obat penyembuh dari penyakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ فِيهِ طَعَامٌ مِنَ الطُّعْمِ وَشِفَاءٌ مِنَ السُّقْمِ
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zam-zam. Air tersebut bisa menjadi makanan yang mengenyangkan dan berkhasiat sebagai obat dari penyakit”.
(HR. Ath-Thabrani : 12/98. Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 3317).
Dengan keberkahan dari air zam-zam yang telah ditetapkan oleh nash tersebut, menyebabkan para ulama ‘berlomba-lomba’ mengejar khasiat dari air zam-zam. Berikut ana nukilkan sebagian daripadanya :
- Anak dari Imam Ahmad yakni Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku melihat bapakku beberapa kali meminum air zam-zam dengan tujuan untuk memohon kesembuhan (dari penyakit) dan mengusapkan air itu di kedua tangan dan wajahnya”. (Al-Adab asy-Syar’iyyah : 3/97, Ibnu Muflih).
- Muhammad bin Ja’far pernah mendengar Imam Ibnu Khuzaimah ditanya : “Darimana engkau mendapat ilmu?”. Beliau menjawab : “Rasulullah telah bersabda : ‘Air zam-zam bermanfaat sesuai dengan tujuan diminumnya’, maka ketika aku meminumnya aku memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat”. (Siyar A’lam an-Nubala’ : 14/370).
- Imam al-Hakim pernah berkata : “Aku pernah meminum air zam-zam dan aku memohon kepada Allah agar memberkahiku dalam menulis kitab”. (Siyar A’lam an-Nubala’ : 17/171). Sungguh Allah Ta’ala mengabulkan permohonan beliau. Ketika beliau wafat, beliau banyak meninggalkan kitab-kitab yang dijadikan rujukan oleh ulama sesudahnya, seperti : Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Tarikh Naisabur, Kitab Muzzaki al-Akhbar, al-Madkhal ila ash-Shahih, Fadha’il asy-Syafi’i, dan masih banyak yang lain.
- Imam as-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibnu Hajar bercerita bahwa gurunya yakni al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani pernah meminum air zam-zam dengan tujuan agar dapat menyamai kedudukan Imam adz-Dzahabi. Imam as-Sakhawi mengisahkan : “Guruku menceritakan kepada kami bahwa ia pernah meminum air zam-zam ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 800 H atau 805 H –saya ragu– agar dapat mencapai derajat al-Hafizh adz-Dzahabi. Kemudian sekitar 20 tahun berikutnya ketika beliau menunaikan haji, beliau mendapatkan dirinya ingin memohon derajat yang lebih tinggi lagi. Maka beliau berharap kepada Allah agar dapat mencapainya”. Kemudian Imam as-Sakhawi berkata : “Sungguh Allah telah mengabulkan keinginan beliau”. (Al Jawahir wa ad-Durar : 78).
Kisah al-Hafizh Ibnu Hajar meminum air zam-zam untuk memohon derajat seperti Imam adz-Dzahabi juga terdapat dalam Thabaqat al-Huffadz karya Imam as-Suyuthi. As-Suyuthi lalu berkomentar : “Maka beliau telah mencapai derajat itu, bahkan melebihinya!”. (Thabaqat al-Huffadz : 552).
- Diceritakan dari Ibnu Asakir bahwa Imam al-Khatib al-Baghdadi pernah meminum air zam-zam untuk 3 keinginan. Pertama, dimudahkan menyusun Tarikh Baghdad. Kedua, diberi kesempatan mengajar di Masjid Jami’ al-Manshur. Ketiga, dikuburkan di sisi Bisyr al-Hafi. Kemudian perawi kisah tersebut berkata : “Dan semuanya telah dikabulkan”. (Al-Jawahir wa ad-Durar : 79).
- Imam Syafi’i pernah mengatakan : “Aku pernah meminum air zam-zam untuk 3 permohonan : Pertama, agar aku dijadikan pandai dalam memanah, maka permohonanku dikabulkan sehingga tidak ada sasaranku yang meleset; kedua agar aku dikaruniai ilmu, sehingga keadaanku seperti yang kalian lihat; dan ketiga agar aku dapat masuk surga. Aku berharap semua itu dapat tercapai”. (Al-Jawahir wa ad-Durar : 79).
- Imam Ibnul Qayyim berkata : “Sungguh aku dan selainku telah mencoba untuk memohon kesembuhan dengan meminum air zam-zam. Aku pernah mencoba (meminum air zam-zam) untuk menyembuhkan beberapa penyakit, lalu akupun sembuh dengan izin Allah”. (Zadul Ma’ad : 4/393).
-Abu Thayyib al-Fasi menceritakan bahwa Ahmad bin Abdullah asy-Syarifi pernah meminum air zam-zam dengan niat agar sembuh dari kebutaan, lalu Allah Ta’ala menyembuhkannya. (Al ‘Iqd ats-Tsamin fi Tarikh al-Balad al-Amin : 1/93, Abu Thayyib al-Fasi).
Demikianlah, sebenarnya masih ada beberapa kisah-kisah lainnya mengenai khasiat air zam-zam. Ana batasi dengan kisah-kisah diatas semoga telah mencukupi.
(Catatan : Tulisan ini banyak mengambil faedah dari pembahasan seputar Air Zam-Zam pada majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah edisi 45 vol.7 Th 1429 H, hal 26-37).
مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ
“Air zam-zam bermanfaat sesuai dengan tujuan diminumnya”.
(HR. Ibnu Majah no. 3062, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1123).
Selain itu, air zam-zam juga berkhasiat sebagai makanan yang mengenyangkan, dan juga -dengan izin Allah- sebagai obat penyembuh dari penyakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ فِيهِ طَعَامٌ مِنَ الطُّعْمِ وَشِفَاءٌ مِنَ السُّقْمِ
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zam-zam. Air tersebut bisa menjadi makanan yang mengenyangkan dan berkhasiat sebagai obat dari penyakit”.
(HR. Ath-Thabrani : 12/98. Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 3317).
Dengan keberkahan dari air zam-zam yang telah ditetapkan oleh nash tersebut, menyebabkan para ulama ‘berlomba-lomba’ mengejar khasiat dari air zam-zam. Berikut ana nukilkan sebagian daripadanya :
- Anak dari Imam Ahmad yakni Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku melihat bapakku beberapa kali meminum air zam-zam dengan tujuan untuk memohon kesembuhan (dari penyakit) dan mengusapkan air itu di kedua tangan dan wajahnya”. (Al-Adab asy-Syar’iyyah : 3/97, Ibnu Muflih).
- Muhammad bin Ja’far pernah mendengar Imam Ibnu Khuzaimah ditanya : “Darimana engkau mendapat ilmu?”. Beliau menjawab : “Rasulullah telah bersabda : ‘Air zam-zam bermanfaat sesuai dengan tujuan diminumnya’, maka ketika aku meminumnya aku memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat”. (Siyar A’lam an-Nubala’ : 14/370).
- Imam al-Hakim pernah berkata : “Aku pernah meminum air zam-zam dan aku memohon kepada Allah agar memberkahiku dalam menulis kitab”. (Siyar A’lam an-Nubala’ : 17/171). Sungguh Allah Ta’ala mengabulkan permohonan beliau. Ketika beliau wafat, beliau banyak meninggalkan kitab-kitab yang dijadikan rujukan oleh ulama sesudahnya, seperti : Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Tarikh Naisabur, Kitab Muzzaki al-Akhbar, al-Madkhal ila ash-Shahih, Fadha’il asy-Syafi’i, dan masih banyak yang lain.
- Imam as-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibnu Hajar bercerita bahwa gurunya yakni al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani pernah meminum air zam-zam dengan tujuan agar dapat menyamai kedudukan Imam adz-Dzahabi. Imam as-Sakhawi mengisahkan : “Guruku menceritakan kepada kami bahwa ia pernah meminum air zam-zam ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 800 H atau 805 H –saya ragu– agar dapat mencapai derajat al-Hafizh adz-Dzahabi. Kemudian sekitar 20 tahun berikutnya ketika beliau menunaikan haji, beliau mendapatkan dirinya ingin memohon derajat yang lebih tinggi lagi. Maka beliau berharap kepada Allah agar dapat mencapainya”. Kemudian Imam as-Sakhawi berkata : “Sungguh Allah telah mengabulkan keinginan beliau”. (Al Jawahir wa ad-Durar : 78).
Kisah al-Hafizh Ibnu Hajar meminum air zam-zam untuk memohon derajat seperti Imam adz-Dzahabi juga terdapat dalam Thabaqat al-Huffadz karya Imam as-Suyuthi. As-Suyuthi lalu berkomentar : “Maka beliau telah mencapai derajat itu, bahkan melebihinya!”. (Thabaqat al-Huffadz : 552).
- Diceritakan dari Ibnu Asakir bahwa Imam al-Khatib al-Baghdadi pernah meminum air zam-zam untuk 3 keinginan. Pertama, dimudahkan menyusun Tarikh Baghdad. Kedua, diberi kesempatan mengajar di Masjid Jami’ al-Manshur. Ketiga, dikuburkan di sisi Bisyr al-Hafi. Kemudian perawi kisah tersebut berkata : “Dan semuanya telah dikabulkan”. (Al-Jawahir wa ad-Durar : 79).
- Imam Syafi’i pernah mengatakan : “Aku pernah meminum air zam-zam untuk 3 permohonan : Pertama, agar aku dijadikan pandai dalam memanah, maka permohonanku dikabulkan sehingga tidak ada sasaranku yang meleset; kedua agar aku dikaruniai ilmu, sehingga keadaanku seperti yang kalian lihat; dan ketiga agar aku dapat masuk surga. Aku berharap semua itu dapat tercapai”. (Al-Jawahir wa ad-Durar : 79).
- Imam Ibnul Qayyim berkata : “Sungguh aku dan selainku telah mencoba untuk memohon kesembuhan dengan meminum air zam-zam. Aku pernah mencoba (meminum air zam-zam) untuk menyembuhkan beberapa penyakit, lalu akupun sembuh dengan izin Allah”. (Zadul Ma’ad : 4/393).
-Abu Thayyib al-Fasi menceritakan bahwa Ahmad bin Abdullah asy-Syarifi pernah meminum air zam-zam dengan niat agar sembuh dari kebutaan, lalu Allah Ta’ala menyembuhkannya. (Al ‘Iqd ats-Tsamin fi Tarikh al-Balad al-Amin : 1/93, Abu Thayyib al-Fasi).
Demikianlah, sebenarnya masih ada beberapa kisah-kisah lainnya mengenai khasiat air zam-zam. Ana batasi dengan kisah-kisah diatas semoga telah mencukupi.
(Catatan : Tulisan ini banyak mengambil faedah dari pembahasan seputar Air Zam-Zam pada majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah edisi 45 vol.7 Th 1429 H, hal 26-37).
Selasa, 13 Juli 2010
Saudaraku, Ikhlaskah Engkau Menuntut Ilmu ?
Hisyam Ad-Dastuwa’i Al-Bashri mengatakan : “Demi Allah, aku tidak berani mengatakan sesungguhnya aku pergi suatu hari untuk belajar hadits hanya untuk Allah Ta’ala semata”.
Imam Adz-Dzahabi kemudian mengomentari perkataan tersebut :
“Demi Allah, demikian pula diriku. Dahulu generasi salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang pantas untuk diikuti. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu pada awalnya bukan karena Allah, namun mereka tersadar dan kembali ke jalan yang lurus berkat ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid dan lainnya : ‘Awalnya kami menuntut ilmu tanpa niat yang benar. Namun kemudian Allah membetulkan niat kami sesudah kami mendapat ilmu’. Sebagian ulama yang lain berkata : ‘Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah, namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah’.
Yang demikian adalah tidak mengapa. Karena pada akhirnya mereka menyebarkan ilmu dengan niat yang benar.
Ada pula kaum yang menuntut ilmu dengan niat yang rusak untuk mencari materi dunia dan agar mereka mendapat sanjungan manusia. Orang-orang semacam itu tidaklah mendapat cahaya dari ilmunya. Ilmu mereka juga tidak berfaedah membentuk amalannya.
Ada juga kaum yang memperoleh ilmu yang digunakannya untuk mendapatkan jabatan. Mereka biasanya berbuat zalim, tidak berpegang pada prinsip-prinsip keilmuan, dan turut melakukan perbuatan keji. Celaka, sungguh celaka, mereka bukanlah ulama.
Muncul pula generasi yang kurang ilmu dan amalnya. Mereka menisbatkan diri sebagai ahli ilmu, padahal hanya sedikit ilmu yang mereka kuasai. Lalu dengan modal ilmu yang tak seberapa itu mereka menganggap diri mereka ulama yang terhormat. Tak terlintas dalam benak mereka bahwa tujuan mencari ilmu sesungguhnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata”. (Siyar A’lam An-Nubala’ : 7/152-153).
Alangkah miripnya hari ini dengan hari kemarin.
Maka telitilah niatmu secara jujur wahai saudaraku. Kemudian pilihlah apakah engkau senang dikatakan alim di kalangan manusia, ataukah engkau lebih senang dikatakan alim di sisi Allah Ta’ala ?
Imam Adz-Dzahabi kemudian mengomentari perkataan tersebut :
“Demi Allah, demikian pula diriku. Dahulu generasi salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang pantas untuk diikuti. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu pada awalnya bukan karena Allah, namun mereka tersadar dan kembali ke jalan yang lurus berkat ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid dan lainnya : ‘Awalnya kami menuntut ilmu tanpa niat yang benar. Namun kemudian Allah membetulkan niat kami sesudah kami mendapat ilmu’. Sebagian ulama yang lain berkata : ‘Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah, namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah’.
Yang demikian adalah tidak mengapa. Karena pada akhirnya mereka menyebarkan ilmu dengan niat yang benar.
Ada pula kaum yang menuntut ilmu dengan niat yang rusak untuk mencari materi dunia dan agar mereka mendapat sanjungan manusia. Orang-orang semacam itu tidaklah mendapat cahaya dari ilmunya. Ilmu mereka juga tidak berfaedah membentuk amalannya.
Ada juga kaum yang memperoleh ilmu yang digunakannya untuk mendapatkan jabatan. Mereka biasanya berbuat zalim, tidak berpegang pada prinsip-prinsip keilmuan, dan turut melakukan perbuatan keji. Celaka, sungguh celaka, mereka bukanlah ulama.
Muncul pula generasi yang kurang ilmu dan amalnya. Mereka menisbatkan diri sebagai ahli ilmu, padahal hanya sedikit ilmu yang mereka kuasai. Lalu dengan modal ilmu yang tak seberapa itu mereka menganggap diri mereka ulama yang terhormat. Tak terlintas dalam benak mereka bahwa tujuan mencari ilmu sesungguhnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata”. (Siyar A’lam An-Nubala’ : 7/152-153).
Alangkah miripnya hari ini dengan hari kemarin.
Maka telitilah niatmu secara jujur wahai saudaraku. Kemudian pilihlah apakah engkau senang dikatakan alim di kalangan manusia, ataukah engkau lebih senang dikatakan alim di sisi Allah Ta’ala ?
Langganan:
Postingan (Atom)