Kitab Adabud Dunya wad Din (أدب الدنيا والدين) adalah diantara kitab turats (klasik) terbaik yang menjelaskan tentang adab-adab menyikapi dunia dan akhirat. Kitab tersebut ditulis oleh al-Imam al-Mawardi (wafat 450 H) seorang ulama ternama sekaligus seorang hakim agung pada zamannya. Al-Mawardi adalah guru dari al-Khatib al-Baghdadi (wafat 463 H) pengarang kitab Tarikh Baghdad yang terkenal.
Kitab Adabud Dunya wad Din secara umum terbagi dalam 5 bab yakni : bab keutamaan akal dan tercelanya hawa nafsu; bab keutamaan ilmu; bab etika dalam menjalankan agama; bab etika dalam kehidupan dunia; dan bab etika pribadi.
Kitab ini dipenuhi dengan penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits Nabawi yang berjumlah lebih dari 600 hadits, atsar-atsar para salaf, kata-kata mutiara dan hikmah, serta sekitar 1000 bait syair dari penyair terkenal seperti Abul ‘Atahiyah, Al-Buhtara, Al-Mutanabbi, dsbnya.
Manuskrip kitab Adabud Dunya wad Din terdapat di perpustakaan Adz-Dzahiriyah di Damaskus, Suriah, yang kemudian dipindahkan ke perpustakaan Al-Asad. Kitab ini telah dicetak pertama kali -tanpa tahqiq- pada tahun 1299 H. Pada tahun 1955 penerbit Musthafa al-Babi al-Halabi, Cairo, menerbitkan kitab Adabud Dunya wad Din dengan tahqiq Syaikh Musthafa as-Saqa. Pada tahun 1991, penerbit Dar Ibnu Katsir, Beirut, menerbitkan kitab Adabud Dunya wad Din dengan tahqiq Syaikh Yasin Muhammad as-Sawas. Edisi ini merupakan perbaikan dari edisi tahqiq Syaikh Musthafa as-Saqa.
Yang menarik, dikatakan diantara sebab Imam al-Mawardi menulis kitab Adabud Dunya wad Din adalah karena pada suatu hari beliau menulis kitab tentang jual-beli. Beliau mengerahkan semua kemampuannya untuk menulis kitab itu, dan ketika telah selesai beliau mengira kitab itu adalah kitab paling sempurna dalam pembahasan jual-beli. Sampai suatu hari, datanglah dua orang dari desa menanyakan kepada Imam al-Mawardi suatu permasalahan yang rumit mengenai jual-beli yang terjadi di pedesaan. Ternyata Imam al-Mawardi tidak bisa menjawab soalan mereka. Kedua orang itu lalu bertanya kepada sahabat Imam al-Mawardi yang ternyata mampu menjawabnya dengan baik dan memuaskan. Kejadian itu amat berbekas pada diri Imam al-Mawardi. Beliau kemudian sadar bahwa tidak ada gunanya mengagumi pendapat sendiri dan menyombongkan diri, karena sepandai-pandainya manusia selalu masih ada yang lebih pandai dari dirinya.
Kamis, 30 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar