Kitab Adabud Dunya wad Din (أدب الدنيا والدين) adalah diantara kitab turats (klasik) terbaik yang menjelaskan tentang adab-adab menyikapi dunia dan akhirat. Kitab tersebut ditulis oleh al-Imam al-Mawardi (wafat 450 H) seorang ulama ternama sekaligus seorang hakim agung pada zamannya. Al-Mawardi adalah guru dari al-Khatib al-Baghdadi (wafat 463 H) pengarang kitab Tarikh Baghdad yang terkenal.
Kitab Adabud Dunya wad Din secara umum terbagi dalam 5 bab yakni : bab keutamaan akal dan tercelanya hawa nafsu; bab keutamaan ilmu; bab etika dalam menjalankan agama; bab etika dalam kehidupan dunia; dan bab etika pribadi.
Kitab ini dipenuhi dengan penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits Nabawi yang berjumlah lebih dari 600 hadits, atsar-atsar para salaf, kata-kata mutiara dan hikmah, serta sekitar 1000 bait syair dari penyair terkenal seperti Abul ‘Atahiyah, Al-Buhtara, Al-Mutanabbi, dsbnya.
Manuskrip kitab Adabud Dunya wad Din terdapat di perpustakaan Adz-Dzahiriyah di Damaskus, Suriah, yang kemudian dipindahkan ke perpustakaan Al-Asad. Kitab ini telah dicetak pertama kali -tanpa tahqiq- pada tahun 1299 H. Pada tahun 1955 penerbit Musthafa al-Babi al-Halabi, Cairo, menerbitkan kitab Adabud Dunya wad Din dengan tahqiq Syaikh Musthafa as-Saqa. Pada tahun 1991, penerbit Dar Ibnu Katsir, Beirut, menerbitkan kitab Adabud Dunya wad Din dengan tahqiq Syaikh Yasin Muhammad as-Sawas. Edisi ini merupakan perbaikan dari edisi tahqiq Syaikh Musthafa as-Saqa.
Yang menarik, dikatakan diantara sebab Imam al-Mawardi menulis kitab Adabud Dunya wad Din adalah karena pada suatu hari beliau menulis kitab tentang jual-beli. Beliau mengerahkan semua kemampuannya untuk menulis kitab itu, dan ketika telah selesai beliau mengira kitab itu adalah kitab paling sempurna dalam pembahasan jual-beli. Sampai suatu hari, datanglah dua orang dari desa menanyakan kepada Imam al-Mawardi suatu permasalahan yang rumit mengenai jual-beli yang terjadi di pedesaan. Ternyata Imam al-Mawardi tidak bisa menjawab soalan mereka. Kedua orang itu lalu bertanya kepada sahabat Imam al-Mawardi yang ternyata mampu menjawabnya dengan baik dan memuaskan. Kejadian itu amat berbekas pada diri Imam al-Mawardi. Beliau kemudian sadar bahwa tidak ada gunanya mengagumi pendapat sendiri dan menyombongkan diri, karena sepandai-pandainya manusia selalu masih ada yang lebih pandai dari dirinya.
Kamis, 30 Desember 2010
Selasa, 28 Desember 2010
Tips Tetap Sehat Di Hari Tua
Ingin tahu tips tetap sehat dan kuat di hari tua? Maka simaklah kisah dari Abu Ath-Thayyib Thahir bin Abdullah bin Thahir bin Umar Ath-Thabari Asy-Syafi’i, beliau adalah seorang ulama besar dan seorang qadhi (hakim) yang wafat pada tahun 450 Hijriah.
Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah (12/85) menceritakan bahwa ulama tersebut berumur lebih dari 100 tahun, tapi di usianya yang lebih dari seabad itu beliau diberi nikmat oleh Allah dengan badan yang masih sehat dan akal yang kuat (tidak pikun). Pada suatu hari beliau melompat dengan lompatan yang tinggi, lalu orang-orang mencela apa yang dilakukannya, karena menganggap hal itu tidak pantas dilakukan oleh orang yang sudah tua. Beliau kemudian berkata, “Badanku ini ku jaga dari berbuat maksiat ketika aku remaja, maka Allah menjaganya ketika aku sudah tua.”
Maksud beliau adalah ingin menunjukkan bahwa barangsiapa yang menjaga hak-hak Allah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya di saat masih muda, maka Allah akan membalas dengan menjaganya dengan memberi kenikmatan kesehatan badan dan kekuatan akal di hari tua.
Adakah yang berminat ingin mencoba tips ini?
Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah (12/85) menceritakan bahwa ulama tersebut berumur lebih dari 100 tahun, tapi di usianya yang lebih dari seabad itu beliau diberi nikmat oleh Allah dengan badan yang masih sehat dan akal yang kuat (tidak pikun). Pada suatu hari beliau melompat dengan lompatan yang tinggi, lalu orang-orang mencela apa yang dilakukannya, karena menganggap hal itu tidak pantas dilakukan oleh orang yang sudah tua. Beliau kemudian berkata, “Badanku ini ku jaga dari berbuat maksiat ketika aku remaja, maka Allah menjaganya ketika aku sudah tua.”
Maksud beliau adalah ingin menunjukkan bahwa barangsiapa yang menjaga hak-hak Allah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya di saat masih muda, maka Allah akan membalas dengan menjaganya dengan memberi kenikmatan kesehatan badan dan kekuatan akal di hari tua.
Adakah yang berminat ingin mencoba tips ini?
Senin, 27 Desember 2010
Tergesa-gesa Adalah Tabiat Manusia
Selama ana mengikuti diskusi pada sebuah forum di internet, ada hal menarik yang ingin ana ceritakan, yakni sebenarnya banyak perbincangan dalam forum tersebut yang ana ingin sekali mengikutinya dan komentar telah ana siapkan. Tapi setelah dipikir berulang-ulang ana memutuskan tidak jadi untuk mengirimnya. Bahkan posting yang telah dikirim ada beberapa yang di-delete dan di-edit karena setelah dibaca kembali rasanya ada kesalahan dan tidak pas dengan keadaan.
Pelajaran dari kisah tersebut adalah : Tergesa-gesa merupakan tabiat manusia, dan bersabar menahan apa yang ada di kepala membuahkan kelegaan yang tak terhingga. Demikianlah sifat manusia seperti ana yang terkadang sering tergesa-gesa. Tidak hanya dalam tulisan, rasanya juga dalam ucapan dan tindakan kerap dilakukan dengan ketergesaan, sehingga tak jarang menimbulkan penyesalan.
Seorang penyair mengatakan :
وزن اكلام إذا نطقت فإنما
يبدي العقول أو العيوب المنطق
“Pikirkanlah ucapanmu jika kamu berbicara, karena sesungguhnya
ucapan itu dapat mengungkapkan pemikiran atau aib manusia.”
Imam Ibnu Hibban berkata : “Orang yang bersikap hati-hati tidak akan didahului, tidak seperti orang yang tergesa-gesa yang boleh jadi dapat disusul. Orang yang diam tidak akan menyesal, tidak seperti orang yang berbicara yang boleh jadi tidak selamat. Orang yang tergesa-gesa akan berbicara sebelum mengetahui, menjawab sebelum memahami, memuji sebelum menguji, menghina setelah memuji, bertekad sebelum memikirkan, dan melaksanakan sebelum meneliti. Orang yang tergesa-gesa akan diiringi dengan penyesalan dan dijauhi keselamatan.”
Ibnu Hibban juga berkata : “Ada yang mengatakan bahwa orang yang tergesa-gesa tidak akan dipuji, orang yang pemarah tidak akan disenangi, orang yang sombong tidak akan dicintai, orang yang dermawan tidak akan didengki, orang yang kikir tidak akan menjadi kaya, dan orang yang tidak penyabar maka tidak ada yang mau menjadi kawannya.”
(Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala' : 216-217, Ibnu Hibban).
Pelajaran dari kisah tersebut adalah : Tergesa-gesa merupakan tabiat manusia, dan bersabar menahan apa yang ada di kepala membuahkan kelegaan yang tak terhingga. Demikianlah sifat manusia seperti ana yang terkadang sering tergesa-gesa. Tidak hanya dalam tulisan, rasanya juga dalam ucapan dan tindakan kerap dilakukan dengan ketergesaan, sehingga tak jarang menimbulkan penyesalan.
Seorang penyair mengatakan :
وزن اكلام إذا نطقت فإنما
يبدي العقول أو العيوب المنطق
“Pikirkanlah ucapanmu jika kamu berbicara, karena sesungguhnya
ucapan itu dapat mengungkapkan pemikiran atau aib manusia.”
Imam Ibnu Hibban berkata : “Orang yang bersikap hati-hati tidak akan didahului, tidak seperti orang yang tergesa-gesa yang boleh jadi dapat disusul. Orang yang diam tidak akan menyesal, tidak seperti orang yang berbicara yang boleh jadi tidak selamat. Orang yang tergesa-gesa akan berbicara sebelum mengetahui, menjawab sebelum memahami, memuji sebelum menguji, menghina setelah memuji, bertekad sebelum memikirkan, dan melaksanakan sebelum meneliti. Orang yang tergesa-gesa akan diiringi dengan penyesalan dan dijauhi keselamatan.”
Ibnu Hibban juga berkata : “Ada yang mengatakan bahwa orang yang tergesa-gesa tidak akan dipuji, orang yang pemarah tidak akan disenangi, orang yang sombong tidak akan dicintai, orang yang dermawan tidak akan didengki, orang yang kikir tidak akan menjadi kaya, dan orang yang tidak penyabar maka tidak ada yang mau menjadi kawannya.”
(Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala' : 216-217, Ibnu Hibban).
Rabu, 22 Desember 2010
Hari-Hari Yang Telah Kita Lalui
Banyak manusia bersuka cita ketika ia merayakan hari kelahiran, dan lupa bahwasanya itu adalah tanda semakin dekatnya dengan akhir perjalanan. Sesungguhnya umur bukanlah semakin bertambah dalam hitungan, akan tetapi pada hakikatnya ia semakin berkurang. Dulu para salaf mengatakan : “Sesungguhnya dunia hanyalah tiga hari. Hari kemarin yang telah berlalu dan tidak dapat kembali. Hari ini yang harus dimanfaatkan dengan sepenuh hati. Dan hari esok yang kita tidak mengetahui apakah kita masih hidup ataukah mati.”
إنا لنفرح بالأيام نقطعها
وكل يوم مضى يدني من الأجل
“Sesungguhnya kita bergembira dengan hari-hari yang telah kita lalui,
Padahal setiap hari yang telah dilewati akan mendekatkan kita dengan mati.”
Imam Mawardi dalam kitabnya Adabud Dunya wad Din berkata : “Jadilah engkau orang yang mencari dunia karena terpaksa, dan carilah sebab-sebab kebahagian untuk hari akhirat dengan segera. Jadilah engkau di dunia bak musafir yang dalam perjalanan, karena kematian akan datang pada suatu hari yang tidak dapat diperkirakan.”
Maka, perbekalan terbaik adalah dengan memperbanyak amal kebaikan. Semoga dengannya kita mati dalam keadaan husnul khotimah yang merupakan sebaik-baik kematian.
ولدتك أمك يا ابن آدم باكيا
والناس حولك يضحكون سرورا
فاحرص بأن تكون إذا بكوا
في يوم موتك ضاحكا مسرورا
“Engkau dilahirkan ibumu wahai anak Adam dalam keadaan menangis
Sedangkan manusia di sekelilingmu tertawa gembira,
Maka berusahalah jika mereka menangis
di hari kematianmu, engkau dalam keadaan tertawa gembira.”
إنا لنفرح بالأيام نقطعها
وكل يوم مضى يدني من الأجل
“Sesungguhnya kita bergembira dengan hari-hari yang telah kita lalui,
Padahal setiap hari yang telah dilewati akan mendekatkan kita dengan mati.”
Imam Mawardi dalam kitabnya Adabud Dunya wad Din berkata : “Jadilah engkau orang yang mencari dunia karena terpaksa, dan carilah sebab-sebab kebahagian untuk hari akhirat dengan segera. Jadilah engkau di dunia bak musafir yang dalam perjalanan, karena kematian akan datang pada suatu hari yang tidak dapat diperkirakan.”
Maka, perbekalan terbaik adalah dengan memperbanyak amal kebaikan. Semoga dengannya kita mati dalam keadaan husnul khotimah yang merupakan sebaik-baik kematian.
ولدتك أمك يا ابن آدم باكيا
والناس حولك يضحكون سرورا
فاحرص بأن تكون إذا بكوا
في يوم موتك ضاحكا مسرورا
“Engkau dilahirkan ibumu wahai anak Adam dalam keadaan menangis
Sedangkan manusia di sekelilingmu tertawa gembira,
Maka berusahalah jika mereka menangis
di hari kematianmu, engkau dalam keadaan tertawa gembira.”
Senin, 20 Desember 2010
“Jangan Tanya Saya”
Ucapan-ucapan seperti : "Jangan tanya saya", "Coba tanyakan kepada fulan, dia lebih alim dibanding saya", dan ucapan lain yang sejenisnya itulah yang sering ana ucapkan atau tuliskan jika ada yang bertanya mengenai suatu permasalahan terutama masalah fiqih yang berkaitan halal dan haram.
Demikianlah keadaan ana. Tidaklah ana ceritakan ini untuk mencari simpati, atau supaya orang mengira ana seorang yang rendah hati. Tidak, tidak sama sekali. Seorang yang mengetahui kemampuan dirinya pasti akan menghindari berbicara dalam masalah-masalah yang tidak dikuasainya. Walaupun terkadang ia memiliki gambaran jawabannya, tapi jika masih banyak keraguannya, maka lebih baik ia menyerahkan kepada ahlinya.
Adab demikianlah yang diajarkan para salaf kita.
Seorang tabi’in yang bernama Abdurrahman bin Abi Laila berkata : “Aku telah bertemu 120 Sahabat Nabi dari kalangan Anshar. Jika salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah, ia akan melemparkannya kepada temannya, lalu temannya itu melemparkan kepada temannya yang lain, sampai akhirnya soalan itu kembali lagi kepada orang yang pertama.” (Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra no.801, Muqaddimah Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, An-Nawawi : 1/40).
Umair bin Sa’id -seorang tabi’in- menceritakan peristiwa yang pernah dialaminya. Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Alqamah (seorang alim dikalangan tabi’in) tentang suatu masalah. Lalu Alqomah berkata, “Pergilah ke Ubaidah, lalu tanyakanlah kepadanya!”
Ketika aku telah sampai ke tempat Ubaidah, dia berkata, “Datangilah Alqamah!”
Aku -Umair- berkata, “Justru Alqamah menyuruhku menemuimu.”
Ubaidah lalu berkata, “Pergilah ke tempat Masruq, lalu tanyakanlah kepadanya!”
Akupun mendatangi Masruq dan bertanya kepadanya. Tapi ia malah berkata, “Datangilah Alqamah dan tanyakanlah kepadanya!”
Aku berkata, “Alqamah menyuruhku mendatangi Ubaidah, lalu Ubaidah menyuruhku untuk bertanya kepadamu.”
Masruq lalu berkata, “Datangilah Abdurrahman bin Abi Laila!”
Aku kemudian mendatangi Abdurrahman bin Abi Laila dan bertanya kepadanya. Tapi ternyata dia tidak suka ditanya. Aku lalu kembali ke Alqamah dan menceritakan kejadian yang telah menimpaku. Maka Alqamah berkata : “Dahulu dikatakan, orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling rendah dan sedikit ilmunya.” (Akhlaq al-Ulama’ : 74-75, Al-Ajurri).
Demikianlah keadaan ana. Tidaklah ana ceritakan ini untuk mencari simpati, atau supaya orang mengira ana seorang yang rendah hati. Tidak, tidak sama sekali. Seorang yang mengetahui kemampuan dirinya pasti akan menghindari berbicara dalam masalah-masalah yang tidak dikuasainya. Walaupun terkadang ia memiliki gambaran jawabannya, tapi jika masih banyak keraguannya, maka lebih baik ia menyerahkan kepada ahlinya.
Adab demikianlah yang diajarkan para salaf kita.
Seorang tabi’in yang bernama Abdurrahman bin Abi Laila berkata : “Aku telah bertemu 120 Sahabat Nabi dari kalangan Anshar. Jika salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah, ia akan melemparkannya kepada temannya, lalu temannya itu melemparkan kepada temannya yang lain, sampai akhirnya soalan itu kembali lagi kepada orang yang pertama.” (Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra no.801, Muqaddimah Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, An-Nawawi : 1/40).
Umair bin Sa’id -seorang tabi’in- menceritakan peristiwa yang pernah dialaminya. Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Alqamah (seorang alim dikalangan tabi’in) tentang suatu masalah. Lalu Alqomah berkata, “Pergilah ke Ubaidah, lalu tanyakanlah kepadanya!”
Ketika aku telah sampai ke tempat Ubaidah, dia berkata, “Datangilah Alqamah!”
Aku -Umair- berkata, “Justru Alqamah menyuruhku menemuimu.”
Ubaidah lalu berkata, “Pergilah ke tempat Masruq, lalu tanyakanlah kepadanya!”
Akupun mendatangi Masruq dan bertanya kepadanya. Tapi ia malah berkata, “Datangilah Alqamah dan tanyakanlah kepadanya!”
Aku berkata, “Alqamah menyuruhku mendatangi Ubaidah, lalu Ubaidah menyuruhku untuk bertanya kepadamu.”
Masruq lalu berkata, “Datangilah Abdurrahman bin Abi Laila!”
Aku kemudian mendatangi Abdurrahman bin Abi Laila dan bertanya kepadanya. Tapi ternyata dia tidak suka ditanya. Aku lalu kembali ke Alqamah dan menceritakan kejadian yang telah menimpaku. Maka Alqamah berkata : “Dahulu dikatakan, orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling rendah dan sedikit ilmunya.” (Akhlaq al-Ulama’ : 74-75, Al-Ajurri).
Rabu, 15 Desember 2010
Hikmah Di Balik Doa Yang Tak Terkabul
Berkata Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya Shaidul Khatir :
“Aku pernah ditimpa kesusahan yang mendalam. Aku memperbanyak doa sambil memohon agar dilepaskan dari ujian ini. Tetapi jawabannya sangatlah lambat. Maka, mulailah jiwaku gelisah. Tetapi saat itu aku mulai memperingatkan jiwaku.
Aku berkata kepada jiwa : “Celakalah engkau! Merenunglah! Apakah engkau hamba atau seorang yang merdeka yang dapat berbuat semaunya? Tidakkah engkau berfikir, engkaukah yang mengatur segalanya atau ada yang mengaturmu? Tidakkah engkau tahu bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan cobaan? Jika engkau minta dipenuhi segala keinginanmu, namun engkau tidak mampu bersabar ketika tidak mendapatkan apa yang engkau inginkan, lalu dimana letak ujian itu? Bukankah termasuk ujian ketika tidak dikabulkannya suatu keinginan? Wahai jiwa, pahamilah olehmu makna pembebanan syariat kepadamu, niscaya akan ringanlah yang berat dan akan mudah pula perkara yang sulit.”
Tatkala jiwaku merenungkan hal itu, ia sedikit tenang.
Aku katakan kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban kedua. Engkau hanya menuntut hak-hakmu dan tidak pernah peduli dengan kewajibanmu, padahal itu adalah tindakan yang bodoh. Engkau adalah hamba. Hamba yang cerdas akan berusaha menunaikan hak-hak tuannya. Ia tahu bahwa bukanlah kewajiban seorang tuan untuk memenuhi semua yang diinginkan hambanya.”
Mendengar penjelasan itu, jiwaku semakin tenang.
Aku berkata kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban ketiga. Engkau menganggap jawaban-jawaban bagi doamu sangatlah lambat. Padahal engkau sendiri menutup jalan terkabulnya doa dengan berbagai maksiat. Jika saja engkau buka kembali jalan itu dengan meninggalkan maksiat, niscaya akan dipercepat jawaban bagi doamu. Sepertinya engkau tidak tahu bahwa ketenangan diperoleh dari takwa. Tidakkah engkau membaca dan mendengar firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangka … Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS. Ath-Thalaq : 2 - 4).”
Jiwaku membenarkan ucapanku. Maka bertambah tenanglah dia.
Aku berkata lagi : “Aku masih punya jawaban yang keempat. Engkau meminta harta padahal engkau tahu akibat-akibatnya. Jika Dia mengabulkan, boleh jadi harta itu akan membahayakanmu. Engkau seperti anak kecil yang sakit gigi tapi meminta manisan. Padahal Zat yang mengaturmu lebih tahu apa yang terbaik bagimu. Bagaimana tidak, Dia sendiri telah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu (QS. Al-Baqarah : 216).”
Ketika jiwaku memahami apa yang aku sampaikan, semakin mantaplah jiwaku dalam ketenangan.
Akupun mengakhiri nasihatku : “Ini jawaban terakhir. Ketahuilah bahwa apa yang engkau minta akan mengurangi pahala dan menurunkan derajatmu. Tatkala Dia tidak mengabulkan doamu, hal itu sebenarnya adalah sebuah pemberian yang sangat berharga dari-Nya untukmu. Jika engkau minta kepada-Nya apa yang terbaik untuk akhiratmu, maka yang demikian itu jauh lebih baik. Pahamilah kembali apa yang aku terangkan kepadamu.”
Akhirnya jiwaku berbisik, “Aku sungguh merasa sangat tenang dan damai.”
“Aku pernah ditimpa kesusahan yang mendalam. Aku memperbanyak doa sambil memohon agar dilepaskan dari ujian ini. Tetapi jawabannya sangatlah lambat. Maka, mulailah jiwaku gelisah. Tetapi saat itu aku mulai memperingatkan jiwaku.
Aku berkata kepada jiwa : “Celakalah engkau! Merenunglah! Apakah engkau hamba atau seorang yang merdeka yang dapat berbuat semaunya? Tidakkah engkau berfikir, engkaukah yang mengatur segalanya atau ada yang mengaturmu? Tidakkah engkau tahu bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan cobaan? Jika engkau minta dipenuhi segala keinginanmu, namun engkau tidak mampu bersabar ketika tidak mendapatkan apa yang engkau inginkan, lalu dimana letak ujian itu? Bukankah termasuk ujian ketika tidak dikabulkannya suatu keinginan? Wahai jiwa, pahamilah olehmu makna pembebanan syariat kepadamu, niscaya akan ringanlah yang berat dan akan mudah pula perkara yang sulit.”
Tatkala jiwaku merenungkan hal itu, ia sedikit tenang.
Aku katakan kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban kedua. Engkau hanya menuntut hak-hakmu dan tidak pernah peduli dengan kewajibanmu, padahal itu adalah tindakan yang bodoh. Engkau adalah hamba. Hamba yang cerdas akan berusaha menunaikan hak-hak tuannya. Ia tahu bahwa bukanlah kewajiban seorang tuan untuk memenuhi semua yang diinginkan hambanya.”
Mendengar penjelasan itu, jiwaku semakin tenang.
Aku berkata kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban ketiga. Engkau menganggap jawaban-jawaban bagi doamu sangatlah lambat. Padahal engkau sendiri menutup jalan terkabulnya doa dengan berbagai maksiat. Jika saja engkau buka kembali jalan itu dengan meninggalkan maksiat, niscaya akan dipercepat jawaban bagi doamu. Sepertinya engkau tidak tahu bahwa ketenangan diperoleh dari takwa. Tidakkah engkau membaca dan mendengar firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangka … Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS. Ath-Thalaq : 2 - 4).”
Jiwaku membenarkan ucapanku. Maka bertambah tenanglah dia.
Aku berkata lagi : “Aku masih punya jawaban yang keempat. Engkau meminta harta padahal engkau tahu akibat-akibatnya. Jika Dia mengabulkan, boleh jadi harta itu akan membahayakanmu. Engkau seperti anak kecil yang sakit gigi tapi meminta manisan. Padahal Zat yang mengaturmu lebih tahu apa yang terbaik bagimu. Bagaimana tidak, Dia sendiri telah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu (QS. Al-Baqarah : 216).”
Ketika jiwaku memahami apa yang aku sampaikan, semakin mantaplah jiwaku dalam ketenangan.
Akupun mengakhiri nasihatku : “Ini jawaban terakhir. Ketahuilah bahwa apa yang engkau minta akan mengurangi pahala dan menurunkan derajatmu. Tatkala Dia tidak mengabulkan doamu, hal itu sebenarnya adalah sebuah pemberian yang sangat berharga dari-Nya untukmu. Jika engkau minta kepada-Nya apa yang terbaik untuk akhiratmu, maka yang demikian itu jauh lebih baik. Pahamilah kembali apa yang aku terangkan kepadamu.”
Akhirnya jiwaku berbisik, “Aku sungguh merasa sangat tenang dan damai.”
Senin, 13 Desember 2010
Diantara Ciri Ahli Syurga
Tsabit mengatakan bahwa Muthrif pernah berkata :
“Sungguh, aku suka berbaring di atas kasurku pada malam hari, lalu aku merenungkan Al-Qur’an dengan cara membandingkan amalku dengan amalnya ahli syurga. Ternyata amalan ahli syurga sangat mengagumkan :
كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz-Dzariyaat : 17).
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqaan : 64).
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً
“Ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri” (Az-Zumar : 9).
Aku melihat diriku tidak termasuk di antara mereka.
Lalu aku bertemu dengan ayat :
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُواْ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُواْ عَمَلاً صَالِحاً وَآخَرَ سَيِّئاً عَسَى اللّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan amalan yang baik dengan amalan yang buruk. Semoga Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah : 102).
Akhirnya aku berharap semoga aku dan anda semua termasuk diantara mereka.” (Hilyatul Auliya' : 2/198).
“Sungguh, aku suka berbaring di atas kasurku pada malam hari, lalu aku merenungkan Al-Qur’an dengan cara membandingkan amalku dengan amalnya ahli syurga. Ternyata amalan ahli syurga sangat mengagumkan :
كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz-Dzariyaat : 17).
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqaan : 64).
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً
“Ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri” (Az-Zumar : 9).
Aku melihat diriku tidak termasuk di antara mereka.
Lalu aku bertemu dengan ayat :
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُواْ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُواْ عَمَلاً صَالِحاً وَآخَرَ سَيِّئاً عَسَى اللّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan amalan yang baik dengan amalan yang buruk. Semoga Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah : 102).
Akhirnya aku berharap semoga aku dan anda semua termasuk diantara mereka.” (Hilyatul Auliya' : 2/198).
Rabu, 01 Desember 2010
Siapakah Orang Faqih, Pemimpin, dan Orang Kaya Sejati ?
Imam Asy-Syafi’i dalam Diwan (kumpulan syairnya) berkata :
إن الفقيه هـو الفقيـه بفعلـه
ليس الفقيـه بنطقـه ومقالـه
وكذا الرئيس هو الرئيس بـخلقه
ليس الرئيس بقومه ورجالـه
وكذا الغنـي هو الغني بحالــه
ليس الغنـي بملكـه وبمالـه
“Orang yang faqih adalah yang beramal dengan perbuatan,
Bukan dinamakan faqih jika hanya fasih dengan lisan dan perkataan;
Dan yang disebut pemimpin adalah yang memimpin dengan kelembutan,
Bukan dinamakan pemimpin hanya dengan banyaknya pengikut dan bawahan;
Demikian juga yang disebut kaya adalah orang yang dermawan,
Bukan dinamakan kaya hanya dengan sekedar banyaknya harta simpanan.”
إن الفقيه هـو الفقيـه بفعلـه
ليس الفقيـه بنطقـه ومقالـه
وكذا الرئيس هو الرئيس بـخلقه
ليس الرئيس بقومه ورجالـه
وكذا الغنـي هو الغني بحالــه
ليس الغنـي بملكـه وبمالـه
“Orang yang faqih adalah yang beramal dengan perbuatan,
Bukan dinamakan faqih jika hanya fasih dengan lisan dan perkataan;
Dan yang disebut pemimpin adalah yang memimpin dengan kelembutan,
Bukan dinamakan pemimpin hanya dengan banyaknya pengikut dan bawahan;
Demikian juga yang disebut kaya adalah orang yang dermawan,
Bukan dinamakan kaya hanya dengan sekedar banyaknya harta simpanan.”
Langganan:
Postingan (Atom)