Kamis, 27 Oktober 2011

Orang-Orang Yang Beruntung

Imam Adz-Dzahabi menceritakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah dalam sebuah majelis mendapatkan 30.000 dinar. Tapi dalam bulan berikutnya ia tidak memakan sepotong dagingpun, itu semua karena hartanya habis diinfakkan. (Siyar A’lam An-Nubala' : 3/128).

Sedangkan seorang ulama terkenal bernama Laits bin Saad, beliau mendapatkan gaji 20.000 dinar setiap tahun. Ia berkata : “Meski hartaku sebanyak ini, aku tidak pernah terkena zakat.” (Tarikh Baghdad : 13/80). Hal ini karena harta beliau digunakan untuk berinfak di jalan Allah dan habis sebelum satu tahun, sehingga ia tidak pernah terkena kewajiban zakat.

Mereka adalah sekelumit contoh generasi salaf yang dipelihara dari sifat bakhil terhadap harta. Ana percaya, sungguh berat bagi generasi kita untuk berbuat seperti mereka. Tapi setidaknya, tirulah sifat gemar bersedekah dan kedermawanan mereka.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun : 16).

Sebaik-baik pujian adalah pujian dari Yang Maha Pencipta. Sekarang tergantung kita, maukah kita termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung nan mulia?

Rabu, 19 Oktober 2011

Membaca Buku Tanpa Lampu ?

Pernahkah membaca buku dalam cahaya yang minim (misal di depan lilin)? Jika pernah, pasti merasakan hal tersebut tidak menyenangkan, karena mata harus bekerja ekstra untuk membaca. Ana sendiri termasuk yang “menyerah” alias berhenti membaca jika listrik mati di malam hari. Karena jika dipaksakan, rasanya mata tidak kuat untuk membaca lama.

Terkadang ana terpikir, bagaimana ulama zaman dahulu -ketika belum ditemukan lampu listrik- membaca di malam hari? Ternyata semangat mereka tetap luar biasa, seperti cerita berikut :

Al-Qadhi Iyadh dalam kitabnya Tartib al-Madarik (1/78) ketika menceritakan biografi Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ishaq, yang terkenal dengan julukan Ibnu Tabban (wafat 371 H). Ibnu Tabban pernah menceritakan dirinya : “Pertama kali aku masuk sekolah dasar, aku membaca semalam suntuk. Ibuku kemudian melarangku membaca di malam hari. Lalu akupun mengambil lentera kemudian menyembunyikannya di bawah mangkuk besar, dan pura-pura segera tidur. Jika ibuku sudah tidur nyenyak, maka aku pun mengambil lentera tersebut dan mulai membaca lagi.”
Al-Qadhi Iyadh berkata : “Dia (Ibnu Tabban) adalah tipe orang yang gemar membaca. Dia pernah membaca satu buku sebanyak 1000 kali.”

Demikianlah semangat para ulama salaf kita. Semoga Allah Ta’ala merahmati mereka atas kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu. Dan semoga Allah mengkaruniakan kepada generasi kita kesungguhan yang serupa ataupun yang mendekatinya..

Senin, 17 Oktober 2011

Setelah Kesulitan Pasti Ada Kemudahan

Pernah seorang teman menceritakan kesusahan hidupnya. Dia merasa dunia sangat sempit baginya, dan ia hampir putus asa untuk mencari solusinya. Selang beberapa lama ana bertemu dengannya, wajahnya telah kembali ceria menandakan kesusahan hidupnya telah sirna. Alhamdulillah.

Begitulah sunnatullah di dunia ini. Tidak ada kesusahan yang terus menerus. Sebagaimana tidak ada kesenangan yang abadi. Semua akan datang silih berganti. Maka tidak semestinya seorang mukmin merasa putus asa ketika kesulitan menerpa, karena setelah itu kemudahan pasti akan menggantikannya. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman :

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah : 5-6).

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengenai ayat tersebut : “Ayat ini memberi kabar gembira tatkala orang menjumpai kesulitan dan kesukaran, maka kemudahan pasti menemaninya. Seandainya kesulitan sesulit lubang biawak, maka kemudahan pun akan memasuki lalu melepas kesulitan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (dalam ayat yang lain) :

سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً

Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. Ath-Thalaq : 7]. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman : 1/929).

Imam Al-Khaththabi berkata : “Jika kita lihat teks ayat (QS. Alam Nasyrah : 5-6) diatas, disebutkan ada dua kesulitan dan ada dua kemudahan. Akan tetapi, kesulitan itu hanya (dihitung) sekali karena datang dengan isim ma’rifat (tertentu), sedangkan kemudahan menunjukkan nakiroh (umum, jumlahnya banyak) menunjukkan bahwa yang pertama berlainan dengan yang kedua. Maksudnya kesulitan itu berada di antara dua kemudahan, yaitu kemudahan di dunia dan kemudahan berupa pahala di akhirat.” (Syarh Kitab At-Tauhid : 8/92, Al-Ghunaiman).

Oleh karena itu, seorang mukmin tidak boleh berputus asa ketika ditimpa kesulitan. Karena kemudahan pasti akan datang setelahnya, dengan jumlah yang lebih banyak daripada kesulitan yang dialaminya.

(Tulisan ini mengambil faedah dari pembahasan di Majalah Al-Furqon edisi 4/Tahun ke 11, hal. 6-12).