Ana selalu terkagum-kagum membaca kisah kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu. Ada yang sanggup berjalan berbulan-bulan di padang pasir untuk mencari hadis. Ada yang tidak makan berhari-hari karena sibuk menuntut ilmu. Ada yang tidak tidur seharian karena sibuk belajar. Merekalah orang-orang seperti dikatakan dalam sebuah syair :
وإذا كانت النفوس كبارا
تعبت في مرادها الأجسام
“Jika jiwa itu besar (cita-citanya),
Maka tubuh akan lelah menuruti keinginannya”
Sedangkan kondisi di zaman ini, hanya kepada Allah kita mengadu atas lemahnya semangat para pencari ilmu. Semoga Allah menjaga yang masih tersisa dan selalu memberkahi ilmu mereka.
Jumat, 24 Februari 2012
Selasa, 14 Februari 2012
Ilmu Tidak Didapatkan Secara Warisan
Dulu ana pernah melihat film dokumenter mengenai seorang ulama besar di zaman ini. Ada satu bagian menarik dari film dokumenter tersebut yakni ketika diceritakan bahwa ulama tersebut memiliki seorang putra, dan sebagaimana kebiasaan orang shalih umumnya beliau mengharap putranya kelak dapat menjadi ulama sepertinya. Maka anak ulama tersebut sejak kecil ditanamkan nilai-nilai agama. Ia beribadah di waktu siang dan malam. Manusia mencintainya dan ia mencintai manusia. Namun ketika ia beranjak dewasa, ia tampaknya kurang meminati ilmu agama.
Ana lalu teringat perkataan Imam Ahmad yang pernah berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Ia tidak didapatkan lewat keturunan. Seandainya ilmu bisa didapatkan lewat keturunan, tentulah ahli bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih berhak untuk mendapatkannya.” Imam Malik pernah melihat anaknya yang bernama Yahya lebih senang bermain-main ketimbang menuntut ilmu, maka Imam Malik berkata : “Alhamdulillah, Allah tidak menjadikan ilmu ini seperti harta warisan.” (Lihat Ma’alim fi Thariq Thalab Al-Ilmi, hal. 56, Syaikh Muhammad As-Sadhan).
Faedah dari pembahasan ini adalah : Anak seorang ulama belum tentu nantinya menjadi ulama, dan anak dari yang bukan ulama bisa jadi nantinya menjadi seorang ulama. Allah memberi karunia kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan bagi yang mendapatkannya ia mempunyai keberuntungan yang tidak terhingga.
Ana lalu teringat perkataan Imam Ahmad yang pernah berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Ia tidak didapatkan lewat keturunan. Seandainya ilmu bisa didapatkan lewat keturunan, tentulah ahli bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih berhak untuk mendapatkannya.” Imam Malik pernah melihat anaknya yang bernama Yahya lebih senang bermain-main ketimbang menuntut ilmu, maka Imam Malik berkata : “Alhamdulillah, Allah tidak menjadikan ilmu ini seperti harta warisan.” (Lihat Ma’alim fi Thariq Thalab Al-Ilmi, hal. 56, Syaikh Muhammad As-Sadhan).
Faedah dari pembahasan ini adalah : Anak seorang ulama belum tentu nantinya menjadi ulama, dan anak dari yang bukan ulama bisa jadi nantinya menjadi seorang ulama. Allah memberi karunia kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan bagi yang mendapatkannya ia mempunyai keberuntungan yang tidak terhingga.
Sabtu, 11 Februari 2012
Faedah Diam Untuk Orang 'Alim Dan Orang Jahil
Ada kata hikmah mengatakan :
الصمت زين للعالم وسترللجاهل
“Diam adalah hiasan bagi orang ‘alim dan tabir bagi orang bodoh.”
Maksudnya adalah :
Diamnya orang ‘alim (berilmu) dapat menambah kewibawaan dirinya. Ia tidak akan berbicara kecuali hanya pada perkara yang ada maslahatnya.
Sedangkan bagi orang bodoh, maka diam adalah tabir untuk menutupi kebodohannya. Karena jika ia diam, maka kebodohannya tidak akan diketahui manusia lainnya.
الصمت زين للعالم وسترللجاهل
“Diam adalah hiasan bagi orang ‘alim dan tabir bagi orang bodoh.”
Maksudnya adalah :
Diamnya orang ‘alim (berilmu) dapat menambah kewibawaan dirinya. Ia tidak akan berbicara kecuali hanya pada perkara yang ada maslahatnya.
Sedangkan bagi orang bodoh, maka diam adalah tabir untuk menutupi kebodohannya. Karena jika ia diam, maka kebodohannya tidak akan diketahui manusia lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)