Sepanjang pembacaan ana yang terbatas mengenai biografi ulama, didapatkan kebanyakan dari mereka hidup dalam kemiskinan. Memang ada juga ulama yang kaya raya, tapi mayoritas ulama berada dalam kemiskinan. Begitu identiknya ulama dan kemiskinan sampai-sampai ada ungkapan penyair yang mengatakan bahwa kemiskinan tempat tinggalnya di surban para fuqaha.
Ada juga yang mengatakan : “Kemiskinan ulama adalah kemiskinan yang dipilih, sedangkan kemiskinan fuqara adalah kemiskinan karena terpaksa”. Maksudnya para ulama memang memilih miskin karena fokus mengejar akhirat dan meninggalkan dunia. Mereka juga menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta kepada manusia, terutama dari penguasa. Dan sungguh, meminta kepada Allah merupakan kemuliaan, sedangkan meminta kepada manusia hanyalah kehinaan yang didapatkan. Sebagaimana pernah dinasihatkan :
لا تسألن بني آدم حاجة
وسل الذي أبوابه لا تحجب
الله يغضب إن تركت سؤاله
وبني آدم حين يسأل يغضب
“Jangan sekali-kali engkau meminta kepada bani Adam satu permintaan,
Mintalah kepada Zat yang pintu-pintu-Nya tidak berada dalam ketutupan,
Allah akan marah jika engkau tidak mengajukan kepada-Nya permintaan,
Sedangkan bani Adam akan marah jika engkau mengajukan suatu permohonan.”
Sebab lain dari kemiskinan ulama adalah karena mereka sangat mencintai ilmu dibanding lainnya. Sehingga mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan ilmu yang di inginkannya, walaupun harus mengorbankan harta benda yang ada. Lihatlah kisah-kisah mereka :
- Al-Hafiz Abul A’la al-Hamdani menjual rumahnya untuk membeli beberapa kitab seharga 60 dinar. (Siyar A’lam An-Nubala : 21/40, adz-Dzahabi).
- Imam Malik menjual kayu atap rumahnya untuk biaya menuntut ilmu. (Tartibul Madarik : 1/130, al-Qadhi Iyadh).
- Syu’bah bin Hajaj menjual harta warisan yang didapatkannya untuk bekalnya belajar. (Tazkirah al-Huffaz : 1/195, adz-Dzhabi).
- Yahya bin Ma’in mendapat warisan lebih dari sejuta dirham, semuanya habis ia gunakan untuk biaya menuntut ilmu. (Al-Manhaj al-Ahmadi : 1/95, al-Ulaimi).
- Shalih bin Ahmad menjual tanahnya seharga 700 dinar. Uangnya beliau bagi-bagikan untuk para penuntut ilmu yang belajar kepadanya. (Tazkirah al-Huffaz : 4/1249, adz-Dzahabi).
- Ziyad bin Abdullah al-Buka’i menjual rumahnya untuk bekalnya mengadakan rihlah menuntut ilmu. (Tahzibut Tahzib : 3/375, Ibnu Hajar Asqalani).
- Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab pernah membeli kitab seharga 500 dinar. Karena tidak memiliki uang untuk membayarnya, beliau menjual rumahnya. (Dzail Thabaqat Hanabilah : 1/319, Ibnu Rajab).
- Abdul Haq bin Muhammad bin Harun as-Suhami menjual perhiasan, perabot serta rumahnya untuk membeli kitab “Syarah al-Mudawanah”. (Ad-Dibaj al-Mudzahab : 3/1013, Ibnu Farhun al-Maliki).
Serta masih banyak kisah lainnya.
Kemiskinan yang menimpa ulama tidaklah membuat mereka patah dan lemah semangat dalam berkarya. Karya-karya mereka tetap mengalir bagaikan air. Mungkin karena niat yang ikhlas mencari ridha Allah semata, lalu Allah memberi barokah pada ilmu dan umur mereka. Semestinya kemiskinan memang bukan suatu penghalang, karena yang menjadi pendorong utama adalah niat dan kemauan. Selain itu, miskin sesungguhnya bukanlah miskin harta, tetapi miskin sesungguhnya adalah miskin ilmu dan miskin akhlak mulia.
Selasa, 26 Oktober 2010
Selasa, 19 Oktober 2010
Beratnya Sebuah Perjuangan
Dulu ada seorang teman yang mengeluhkan sulitnya belajar bahasa Arab. Ada juga yang mengeluh karena beratnya menghafal hadits. Tak kurang juga yang mengadu susahnya belajar ilmu tajwid. Dan masih banyak keluhan-keluhan lainnya dalam menuntut ilmu.
Ya, memang demikianlah konsekuensi sebuah perjuangan. Ilmu tidaklah didapat dengan bersenang-senang. Dengan jiwa yang malas dan dalam waktu yang singkat. Sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang yang mengira ilmu sangatlah mudah untuk didapatkan. Ia mengira cukuplah membeli beberapa buku, lalu membacanya 1-2 jam sehari sambil bermalas-malasan di atas sofa. Kemudian ia meyakini setelah berlalu setahun dua tahun maka ia dapat menguasai seluruh cabang ilmu agama.
Yang demikian itu adalah pandangan yang keliru, harapan yang mustahil, kerusakannya besar, dan bahayanya sangat nyata, karena menggambarkan semangat yang rendah dan menunjukkan ketidaksabaran dalam menuntut ilmu yang mulia.
Imam Syafi’i berkata : “Seseorang tidak akan mencapai hasil dalam bidang ini sampai kefakiran menimpanya, dan dia mendahulukan ilmu atas segala sesuatunya”. (Siyar A’lam an-Nubala : 10/89, Adz-Dzahabi).
Yahya bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak dapat diperoleh dengan bersantai-santai”. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi : 1/91, Ibnu Abdil Barr).
Ketergesa-gesaan dalam belajar akan membuahkan hasil sebagaimana disebutkan kaidah fiqih yang masyhur :
من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه
“Barangsiapa tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka akan dihukum dengan tidak mendapatkannya”
Maksudnya ketidaksabaran dalam menuntut ilmu akan berakibat tidak dapat menguasai ilmu secara sempurna. Apalagi jika ditambah niat yang rusak seperti memburu pujian, atau supaya manusia memanggilnya dengan panggilan terhormat. Maka jiwa yang rendah akan segera tergesa-gesa untuk “turun gunung” sebelum waktunya.
Maka tiada kata lain bagi saudara-saudaraku penuntut ilmu -termasuk penulis sendiri- selain pesan :
Bersabarlah dalam menuntut ilmu. Hadapilah semua rintangan dalam belajar. Titilah ujian dengan penuh semangat. Dan ketahuilah bahwa penghalang utama adalah berasal dari dalam diri sendiri. Maka jadikanlah perkataan Ibnu Hisyam ini sebagai slogan :
ومن يصطبر للعلم يظفر بنيله
ومن يخطب الحسناء يصبر على البذل
ومن لم يذل النفس في طلب العلا
يسيرا يعش دهرا طويلا أخا ذل
“Barangsiapa berusaha untuk sabar dalam mencari ilmu niscaya ia akan mendapatkannya,
(Sebagaimana) barangsiapa meminang wanita yang cantik maka ia akan sabar dalam (membayar) maharnya,
Barangsiapa tidak menghinakan dirinya dalam meraih kemuliaan sesaat saja,
Ia pasti akan hidup dalam masa yang panjang dalam keadaan hina dina.”
Ya, memang demikianlah konsekuensi sebuah perjuangan. Ilmu tidaklah didapat dengan bersenang-senang. Dengan jiwa yang malas dan dalam waktu yang singkat. Sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang yang mengira ilmu sangatlah mudah untuk didapatkan. Ia mengira cukuplah membeli beberapa buku, lalu membacanya 1-2 jam sehari sambil bermalas-malasan di atas sofa. Kemudian ia meyakini setelah berlalu setahun dua tahun maka ia dapat menguasai seluruh cabang ilmu agama.
Yang demikian itu adalah pandangan yang keliru, harapan yang mustahil, kerusakannya besar, dan bahayanya sangat nyata, karena menggambarkan semangat yang rendah dan menunjukkan ketidaksabaran dalam menuntut ilmu yang mulia.
Imam Syafi’i berkata : “Seseorang tidak akan mencapai hasil dalam bidang ini sampai kefakiran menimpanya, dan dia mendahulukan ilmu atas segala sesuatunya”. (Siyar A’lam an-Nubala : 10/89, Adz-Dzahabi).
Yahya bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak dapat diperoleh dengan bersantai-santai”. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi : 1/91, Ibnu Abdil Barr).
Ketergesa-gesaan dalam belajar akan membuahkan hasil sebagaimana disebutkan kaidah fiqih yang masyhur :
من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه
“Barangsiapa tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka akan dihukum dengan tidak mendapatkannya”
Maksudnya ketidaksabaran dalam menuntut ilmu akan berakibat tidak dapat menguasai ilmu secara sempurna. Apalagi jika ditambah niat yang rusak seperti memburu pujian, atau supaya manusia memanggilnya dengan panggilan terhormat. Maka jiwa yang rendah akan segera tergesa-gesa untuk “turun gunung” sebelum waktunya.
Maka tiada kata lain bagi saudara-saudaraku penuntut ilmu -termasuk penulis sendiri- selain pesan :
Bersabarlah dalam menuntut ilmu. Hadapilah semua rintangan dalam belajar. Titilah ujian dengan penuh semangat. Dan ketahuilah bahwa penghalang utama adalah berasal dari dalam diri sendiri. Maka jadikanlah perkataan Ibnu Hisyam ini sebagai slogan :
ومن يصطبر للعلم يظفر بنيله
ومن يخطب الحسناء يصبر على البذل
ومن لم يذل النفس في طلب العلا
يسيرا يعش دهرا طويلا أخا ذل
“Barangsiapa berusaha untuk sabar dalam mencari ilmu niscaya ia akan mendapatkannya,
(Sebagaimana) barangsiapa meminang wanita yang cantik maka ia akan sabar dalam (membayar) maharnya,
Barangsiapa tidak menghinakan dirinya dalam meraih kemuliaan sesaat saja,
Ia pasti akan hidup dalam masa yang panjang dalam keadaan hina dina.”
Minggu, 17 Oktober 2010
Haji Yang Mabrur
Menjelang musim haji ini sering kita dengar ucapan kepada calon jamaah haji : “Semoga menjadi haji yang mabrur”.
Apakah definisi haji mabrur itu? Imam Ibnu Abdil Barr berkata : “Haji mabrur yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan dan (berangkat haji) dari harta yang halal”. (At-Tamhid : 22/39, Ibnu Abdil Barr; Masa’il Yaktsuru Su’al ‘Ahna : 12-13, Abdullah bin Shalih al-Fauzan).
Maksud tiada riya’ dan sum’ah adalah mengerjakan haji ikhlas untuk Allah semata dan tidak berhasrat untuk dilihat dan didengar manusia dalam amal perbuatannya.
Tapi lihatlah fenomena yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Rasanya ramai calon jamaah haji yang jauh-jauh hari sebelumnya (bahkan ada yang bertahun-tahun sebelumnya) telah “mengiklankan” dirinya kemana-mana bahwa ia akan berangkat haji. Hal ini menimbulkan pertanyaan : untuk siapakah ia berhaji? Untuk Allah atau untuk diketahui manusia? Jika sekedar pemberitahuan, maka mengapa tidak mencukupkan dengan memberi kabar sekedarnya saja (lewat hp, sms, surat, e-mail, dsb). Bahkan kebiasaan masyarakat di tempat ana, calon jamaah haji sebelum berangkat membuat selamatan ala-ala walimah pernikahan dengan mengundang banyak orang, terkadang ditambah dengan spanduk besar di depan rumah bertuliskan : “Akan berangkat haji Fulan bin Fulan” yang dapat dibaca ramai manusia yang melewati rumahnya. Maka, dimanakah keikhlasan itu? Wallahul musta’an.
Betapa benarnya perkataan seorang tabi’in yang mulia, Syuraih al-Qadhi yang berkata : “Rombongan yang berangkat haji banyak, tetapi orang yang haji sedikit. Betapa banyak orang yang mengerjakan kebaikan, tetapi sangat sedikit orang yang meniatkan ikhlas mengharap ridha-Nya.” (Lathaif al-Ma’arif : 419-120, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Apakah definisi haji mabrur itu? Imam Ibnu Abdil Barr berkata : “Haji mabrur yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan dan (berangkat haji) dari harta yang halal”. (At-Tamhid : 22/39, Ibnu Abdil Barr; Masa’il Yaktsuru Su’al ‘Ahna : 12-13, Abdullah bin Shalih al-Fauzan).
Maksud tiada riya’ dan sum’ah adalah mengerjakan haji ikhlas untuk Allah semata dan tidak berhasrat untuk dilihat dan didengar manusia dalam amal perbuatannya.
Tapi lihatlah fenomena yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Rasanya ramai calon jamaah haji yang jauh-jauh hari sebelumnya (bahkan ada yang bertahun-tahun sebelumnya) telah “mengiklankan” dirinya kemana-mana bahwa ia akan berangkat haji. Hal ini menimbulkan pertanyaan : untuk siapakah ia berhaji? Untuk Allah atau untuk diketahui manusia? Jika sekedar pemberitahuan, maka mengapa tidak mencukupkan dengan memberi kabar sekedarnya saja (lewat hp, sms, surat, e-mail, dsb). Bahkan kebiasaan masyarakat di tempat ana, calon jamaah haji sebelum berangkat membuat selamatan ala-ala walimah pernikahan dengan mengundang banyak orang, terkadang ditambah dengan spanduk besar di depan rumah bertuliskan : “Akan berangkat haji Fulan bin Fulan” yang dapat dibaca ramai manusia yang melewati rumahnya. Maka, dimanakah keikhlasan itu? Wallahul musta’an.
Betapa benarnya perkataan seorang tabi’in yang mulia, Syuraih al-Qadhi yang berkata : “Rombongan yang berangkat haji banyak, tetapi orang yang haji sedikit. Betapa banyak orang yang mengerjakan kebaikan, tetapi sangat sedikit orang yang meniatkan ikhlas mengharap ridha-Nya.” (Lathaif al-Ma’arif : 419-120, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Kamis, 07 Oktober 2010
Jagalah Rahasia Saudaramu
Diantara akhlak mulia seorang muslim adalah menjaga rahasia yang diamanahkan kepadanya.
Rahasia didefiniskan ulama sebagai : “Segala perkara yang disembunyikan dalam dirimu dan engkau tidak memperlihatkannya kepada orang lain, untuk menolak mudarat dan meraih mafsadat, atau engkau khusus menceritakannya kepada orang tertentu yang dipercaya, tidak selainnya” (Hatstsul Akhyar ‘ala Hifzhil Asrar : 10, Abdullah bin Ibrahim).
Sayangnya, pada zaman ini banyak sekali manusia yang membocorkan rahasia temannya, apalagi jika antara dia dan temannya terdapat perselisihan dan permusuhan -padahal dulunya akrab- maka ia tak segan-segan membocorkan rahasia tersebut kepada khalayak ramai.
Padahal membocorkan rahasia adalah haram hukumnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian dalam keadaan mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27).
As-Safarini berkata : “Haram bagi manusia yang mukallaf untuk menyebarkan rahasia.” (Ghidza’ul Albab : 1/90).
Al-Ghazali berkata : “Menyebarkan rahasia hukumnya haram karena hal tersebut menyakiti dan merendahkan hak kawan. Membocorkan rahasia termasuk perbuatan khianat.” (Ihya’ Ulumuddin : 3/1860).
Maka sebagai seorang yang berakal, hendaklah kita berhati-hati dalam menceritakan rahasia kita kepada orang lain. Pastikan orang yang kita ceritakan seorang yang dikenal mempunyai sifat amanah, takwa, takut kepada Allah, dan dapat memberi nasihat yang baik dikala senang maupun susah.
Dan bagi pemegang rahasia, maka simpanlah baik-baik rahasia tersebut. Karena jika rahasia telah bocor maka sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib : “Rahasiamu adalah tawananmu, apabila ia bocor maka engkau yang berbalik menjadi tawanannya.” (Adabud Dunya wad Din : 483, al-Mawardi).
Rahasia didefiniskan ulama sebagai : “Segala perkara yang disembunyikan dalam dirimu dan engkau tidak memperlihatkannya kepada orang lain, untuk menolak mudarat dan meraih mafsadat, atau engkau khusus menceritakannya kepada orang tertentu yang dipercaya, tidak selainnya” (Hatstsul Akhyar ‘ala Hifzhil Asrar : 10, Abdullah bin Ibrahim).
Sayangnya, pada zaman ini banyak sekali manusia yang membocorkan rahasia temannya, apalagi jika antara dia dan temannya terdapat perselisihan dan permusuhan -padahal dulunya akrab- maka ia tak segan-segan membocorkan rahasia tersebut kepada khalayak ramai.
Padahal membocorkan rahasia adalah haram hukumnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian dalam keadaan mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27).
As-Safarini berkata : “Haram bagi manusia yang mukallaf untuk menyebarkan rahasia.” (Ghidza’ul Albab : 1/90).
Al-Ghazali berkata : “Menyebarkan rahasia hukumnya haram karena hal tersebut menyakiti dan merendahkan hak kawan. Membocorkan rahasia termasuk perbuatan khianat.” (Ihya’ Ulumuddin : 3/1860).
Maka sebagai seorang yang berakal, hendaklah kita berhati-hati dalam menceritakan rahasia kita kepada orang lain. Pastikan orang yang kita ceritakan seorang yang dikenal mempunyai sifat amanah, takwa, takut kepada Allah, dan dapat memberi nasihat yang baik dikala senang maupun susah.
Dan bagi pemegang rahasia, maka simpanlah baik-baik rahasia tersebut. Karena jika rahasia telah bocor maka sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib : “Rahasiamu adalah tawananmu, apabila ia bocor maka engkau yang berbalik menjadi tawanannya.” (Adabud Dunya wad Din : 483, al-Mawardi).
Senin, 04 Oktober 2010
Kunyah
Sebagian rekan ana biasa memanggil ana dengan nama kunyah : Abu Unaisah, karena Unaisah nama anak pertama ana. Ada juga yang memanggil ana dengan nama kunyah : Abu Abdillah, karena nama tersebut yang ana pakai sebagai ‘nama pena’ (nama dalam penulisan artikel yang beredar dikalangan rekan-rekan).
Berkaitan dengan kunyah, ada sedikit faidah mengenainya :
- Kunyah hukumnya tidak wajib. Namun kunyah merupakan adab dalam pergaulan sebagai penghormatan kepada seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
أكنيه حين أناديه لأكرمه
ولا ألقبه والسوءة اللقب
“Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan baginya,
Dan aku tidak memanggilnya dengan gelaran karena gelar tidak sesuai untuknya.”
- Panggilan kunyah untuk laki-laki selain dengan “Abu” juga dapat dengan “Ibnu”, sedangkan bagi perempuan selain dengan “Ummu” atau juga dapat dengan “Bintu”.
- Kunyah apabila digabung dengan nama asli maka dapat diawalkan seperti : “Abu Hafsh Umar bin Khattab”. Selain itu dapat juga diakhirkan seperti : “Bakar Abu Zaid”. Tapi yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena tujuan dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada zat (orang yang bersangkutan) bukan kepada sifat. (Syarh Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah Ibni Malik : 1/115, dan al-Qawa’id al-Asasiyyah li Lughatil Arabiyyah : 67, Sayyid Ahmad al-Hasyimi).
- Kunyah dapat dipakai oleh seseorang walaupun belum memiliki anak, bahkan kunyah dapat diberikan kepada anak kecil karena menurut ulama tujuannya adalah memberi rasa optimisme bahwa dia akan hidup panjang hingga mempunyai anak. (Bulughul Amani fi Asrari Fathur Rabbani : 2/2013. Lihat juga Tuhfatul Maulud : 232, Ibnul Qayyim, serta Aunul Ma’bud : 13/212, Adzim Abadi).
- Apakah boleh memakai kunyah Abul Qasim (Abul Qasim adalah kunyah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam)? Para ulama berselisih dalam hal ini menjadi 3 pendapat : boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, dan tidak boleh ketika Nabi masih hidup dan boleh ketika Nabi telah wafat. Yang tidak membolehkan seperti Ibnul Qayyim yang berkata : “Pendapat yang rajih adalah dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qasim” (Zaadul Ma'ad : 2/347). Sedangkan yang membolehkan seperti al-Lalikai, ath-Thabarani, Ibnu Asakir. Perbedaan pendapat dalam masalah ini luas dan masyhur dikalangan ulama, maka hendaklah berlapang dada dalam masalah ini. (Lihat Ahkamul Maulud fi Sunnah Muthahharah : 95-103, Salim asy-Syibli dan Muhammad Khalifah ar-Rabbah).
- Kunyah banyak dipakai oleh para ulama dan para perawi hadits, sehingga Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Banyak sekali para perawi hadits yang cukup disebut kunyahnya tanpa perlu menyebutkan nama asli dan nasab mereka, karena mereka telah masyhur dengan nama kunyah tersebut.” (Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ : 2/77).
- Diperkirakan ada 30 kitab yang membahas khusus tentang kunyah perawi hadits (!), seperti kitab al-Kuna karangan Imam Muslim, al-Kuna wa al-Asma’ karangan ad-Daulabi, al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim, an-Nasa’i, Ibnu Mandah, Ibnul Madini dan lain-lain. (Muqaddimah al-Muqtana fil Kuna : 22-31 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Murad, lihat al-Baitsul Hatsits : 2/594, Syaikh Ahmad Syakir).
Demikian sedikit pembahasan mengenai kunyah, semoga bermanfaat.
(P/s : Tulisan ini banyak mengambil faidah dari pembahasan mengenai kunyah pada majalah Al-Furqon edisi 11 th ke-9/1431 H, hal. 47-49).
Berkaitan dengan kunyah, ada sedikit faidah mengenainya :
- Kunyah hukumnya tidak wajib. Namun kunyah merupakan adab dalam pergaulan sebagai penghormatan kepada seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
أكنيه حين أناديه لأكرمه
ولا ألقبه والسوءة اللقب
“Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan baginya,
Dan aku tidak memanggilnya dengan gelaran karena gelar tidak sesuai untuknya.”
- Panggilan kunyah untuk laki-laki selain dengan “Abu” juga dapat dengan “Ibnu”, sedangkan bagi perempuan selain dengan “Ummu” atau juga dapat dengan “Bintu”.
- Kunyah apabila digabung dengan nama asli maka dapat diawalkan seperti : “Abu Hafsh Umar bin Khattab”. Selain itu dapat juga diakhirkan seperti : “Bakar Abu Zaid”. Tapi yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena tujuan dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada zat (orang yang bersangkutan) bukan kepada sifat. (Syarh Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah Ibni Malik : 1/115, dan al-Qawa’id al-Asasiyyah li Lughatil Arabiyyah : 67, Sayyid Ahmad al-Hasyimi).
- Kunyah dapat dipakai oleh seseorang walaupun belum memiliki anak, bahkan kunyah dapat diberikan kepada anak kecil karena menurut ulama tujuannya adalah memberi rasa optimisme bahwa dia akan hidup panjang hingga mempunyai anak. (Bulughul Amani fi Asrari Fathur Rabbani : 2/2013. Lihat juga Tuhfatul Maulud : 232, Ibnul Qayyim, serta Aunul Ma’bud : 13/212, Adzim Abadi).
- Apakah boleh memakai kunyah Abul Qasim (Abul Qasim adalah kunyah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam)? Para ulama berselisih dalam hal ini menjadi 3 pendapat : boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, dan tidak boleh ketika Nabi masih hidup dan boleh ketika Nabi telah wafat. Yang tidak membolehkan seperti Ibnul Qayyim yang berkata : “Pendapat yang rajih adalah dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qasim” (Zaadul Ma'ad : 2/347). Sedangkan yang membolehkan seperti al-Lalikai, ath-Thabarani, Ibnu Asakir. Perbedaan pendapat dalam masalah ini luas dan masyhur dikalangan ulama, maka hendaklah berlapang dada dalam masalah ini. (Lihat Ahkamul Maulud fi Sunnah Muthahharah : 95-103, Salim asy-Syibli dan Muhammad Khalifah ar-Rabbah).
- Kunyah banyak dipakai oleh para ulama dan para perawi hadits, sehingga Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Banyak sekali para perawi hadits yang cukup disebut kunyahnya tanpa perlu menyebutkan nama asli dan nasab mereka, karena mereka telah masyhur dengan nama kunyah tersebut.” (Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ : 2/77).
- Diperkirakan ada 30 kitab yang membahas khusus tentang kunyah perawi hadits (!), seperti kitab al-Kuna karangan Imam Muslim, al-Kuna wa al-Asma’ karangan ad-Daulabi, al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim, an-Nasa’i, Ibnu Mandah, Ibnul Madini dan lain-lain. (Muqaddimah al-Muqtana fil Kuna : 22-31 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Murad, lihat al-Baitsul Hatsits : 2/594, Syaikh Ahmad Syakir).
Demikian sedikit pembahasan mengenai kunyah, semoga bermanfaat.
(P/s : Tulisan ini banyak mengambil faidah dari pembahasan mengenai kunyah pada majalah Al-Furqon edisi 11 th ke-9/1431 H, hal. 47-49).
Langganan:
Postingan (Atom)