Sepanjang pembacaan ana yang terbatas mengenai biografi ulama, didapatkan kebanyakan dari mereka hidup dalam kemiskinan. Memang ada juga ulama yang kaya raya, tapi mayoritas ulama berada dalam kemiskinan. Begitu identiknya ulama dan kemiskinan sampai-sampai ada ungkapan penyair yang mengatakan bahwa kemiskinan tempat tinggalnya di surban para fuqaha.
Ada juga yang mengatakan : “Kemiskinan ulama adalah kemiskinan yang dipilih, sedangkan kemiskinan fuqara adalah kemiskinan karena terpaksa”. Maksudnya para ulama memang memilih miskin karena fokus mengejar akhirat dan meninggalkan dunia. Mereka juga menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta kepada manusia, terutama dari penguasa. Dan sungguh, meminta kepada Allah merupakan kemuliaan, sedangkan meminta kepada manusia hanyalah kehinaan yang didapatkan. Sebagaimana pernah dinasihatkan :
لا تسألن بني آدم حاجة
وسل الذي أبوابه لا تحجب
الله يغضب إن تركت سؤاله
وبني آدم حين يسأل يغضب
“Jangan sekali-kali engkau meminta kepada bani Adam satu permintaan,
Mintalah kepada Zat yang pintu-pintu-Nya tidak berada dalam ketutupan,
Allah akan marah jika engkau tidak mengajukan kepada-Nya permintaan,
Sedangkan bani Adam akan marah jika engkau mengajukan suatu permohonan.”
Sebab lain dari kemiskinan ulama adalah karena mereka sangat mencintai ilmu dibanding lainnya. Sehingga mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan ilmu yang di inginkannya, walaupun harus mengorbankan harta benda yang ada. Lihatlah kisah-kisah mereka :
- Al-Hafiz Abul A’la al-Hamdani menjual rumahnya untuk membeli beberapa kitab seharga 60 dinar. (Siyar A’lam An-Nubala : 21/40, adz-Dzahabi).
- Imam Malik menjual kayu atap rumahnya untuk biaya menuntut ilmu. (Tartibul Madarik : 1/130, al-Qadhi Iyadh).
- Syu’bah bin Hajaj menjual harta warisan yang didapatkannya untuk bekalnya belajar. (Tazkirah al-Huffaz : 1/195, adz-Dzhabi).
- Yahya bin Ma’in mendapat warisan lebih dari sejuta dirham, semuanya habis ia gunakan untuk biaya menuntut ilmu. (Al-Manhaj al-Ahmadi : 1/95, al-Ulaimi).
- Shalih bin Ahmad menjual tanahnya seharga 700 dinar. Uangnya beliau bagi-bagikan untuk para penuntut ilmu yang belajar kepadanya. (Tazkirah al-Huffaz : 4/1249, adz-Dzahabi).
- Ziyad bin Abdullah al-Buka’i menjual rumahnya untuk bekalnya mengadakan rihlah menuntut ilmu. (Tahzibut Tahzib : 3/375, Ibnu Hajar Asqalani).
- Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab pernah membeli kitab seharga 500 dinar. Karena tidak memiliki uang untuk membayarnya, beliau menjual rumahnya. (Dzail Thabaqat Hanabilah : 1/319, Ibnu Rajab).
- Abdul Haq bin Muhammad bin Harun as-Suhami menjual perhiasan, perabot serta rumahnya untuk membeli kitab “Syarah al-Mudawanah”. (Ad-Dibaj al-Mudzahab : 3/1013, Ibnu Farhun al-Maliki).
Serta masih banyak kisah lainnya.
Kemiskinan yang menimpa ulama tidaklah membuat mereka patah dan lemah semangat dalam berkarya. Karya-karya mereka tetap mengalir bagaikan air. Mungkin karena niat yang ikhlas mencari ridha Allah semata, lalu Allah memberi barokah pada ilmu dan umur mereka. Semestinya kemiskinan memang bukan suatu penghalang, karena yang menjadi pendorong utama adalah niat dan kemauan. Selain itu, miskin sesungguhnya bukanlah miskin harta, tetapi miskin sesungguhnya adalah miskin ilmu dan miskin akhlak mulia.
Selasa, 26 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar