Menjelang musim haji ini sering kita dengar ucapan kepada calon jamaah haji : “Semoga menjadi haji yang mabrur”.
Apakah definisi haji mabrur itu? Imam Ibnu Abdil Barr berkata : “Haji mabrur yaitu haji yang tiada riya’ dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan dan (berangkat haji) dari harta yang halal”. (At-Tamhid : 22/39, Ibnu Abdil Barr; Masa’il Yaktsuru Su’al ‘Ahna : 12-13, Abdullah bin Shalih al-Fauzan).
Maksud tiada riya’ dan sum’ah adalah mengerjakan haji ikhlas untuk Allah semata dan tidak berhasrat untuk dilihat dan didengar manusia dalam amal perbuatannya.
Tapi lihatlah fenomena yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Rasanya ramai calon jamaah haji yang jauh-jauh hari sebelumnya (bahkan ada yang bertahun-tahun sebelumnya) telah “mengiklankan” dirinya kemana-mana bahwa ia akan berangkat haji. Hal ini menimbulkan pertanyaan : untuk siapakah ia berhaji? Untuk Allah atau untuk diketahui manusia? Jika sekedar pemberitahuan, maka mengapa tidak mencukupkan dengan memberi kabar sekedarnya saja (lewat hp, sms, surat, e-mail, dsb). Bahkan kebiasaan masyarakat di tempat ana, calon jamaah haji sebelum berangkat membuat selamatan ala-ala walimah pernikahan dengan mengundang banyak orang, terkadang ditambah dengan spanduk besar di depan rumah bertuliskan : “Akan berangkat haji Fulan bin Fulan” yang dapat dibaca ramai manusia yang melewati rumahnya. Maka, dimanakah keikhlasan itu? Wallahul musta’an.
Betapa benarnya perkataan seorang tabi’in yang mulia, Syuraih al-Qadhi yang berkata : “Rombongan yang berangkat haji banyak, tetapi orang yang haji sedikit. Betapa banyak orang yang mengerjakan kebaikan, tetapi sangat sedikit orang yang meniatkan ikhlas mengharap ridha-Nya.” (Lathaif al-Ma’arif : 419-120, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar