Sebagian rekan ana biasa memanggil ana dengan nama kunyah : Abu Unaisah, karena Unaisah nama anak pertama ana. Ada juga yang memanggil ana dengan nama kunyah : Abu Abdillah, karena nama tersebut yang ana pakai sebagai ‘nama pena’ (nama dalam penulisan artikel yang beredar dikalangan rekan-rekan).
Berkaitan dengan kunyah, ada sedikit faidah mengenainya :
- Kunyah hukumnya tidak wajib. Namun kunyah merupakan adab dalam pergaulan sebagai penghormatan kepada seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
أكنيه حين أناديه لأكرمه
ولا ألقبه والسوءة اللقب
“Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan baginya,
Dan aku tidak memanggilnya dengan gelaran karena gelar tidak sesuai untuknya.”
- Panggilan kunyah untuk laki-laki selain dengan “Abu” juga dapat dengan “Ibnu”, sedangkan bagi perempuan selain dengan “Ummu” atau juga dapat dengan “Bintu”.
- Kunyah apabila digabung dengan nama asli maka dapat diawalkan seperti : “Abu Hafsh Umar bin Khattab”. Selain itu dapat juga diakhirkan seperti : “Bakar Abu Zaid”. Tapi yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena tujuan dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada zat (orang yang bersangkutan) bukan kepada sifat. (Syarh Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah Ibni Malik : 1/115, dan al-Qawa’id al-Asasiyyah li Lughatil Arabiyyah : 67, Sayyid Ahmad al-Hasyimi).
- Kunyah dapat dipakai oleh seseorang walaupun belum memiliki anak, bahkan kunyah dapat diberikan kepada anak kecil karena menurut ulama tujuannya adalah memberi rasa optimisme bahwa dia akan hidup panjang hingga mempunyai anak. (Bulughul Amani fi Asrari Fathur Rabbani : 2/2013. Lihat juga Tuhfatul Maulud : 232, Ibnul Qayyim, serta Aunul Ma’bud : 13/212, Adzim Abadi).
- Apakah boleh memakai kunyah Abul Qasim (Abul Qasim adalah kunyah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam)? Para ulama berselisih dalam hal ini menjadi 3 pendapat : boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, dan tidak boleh ketika Nabi masih hidup dan boleh ketika Nabi telah wafat. Yang tidak membolehkan seperti Ibnul Qayyim yang berkata : “Pendapat yang rajih adalah dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qasim” (Zaadul Ma'ad : 2/347). Sedangkan yang membolehkan seperti al-Lalikai, ath-Thabarani, Ibnu Asakir. Perbedaan pendapat dalam masalah ini luas dan masyhur dikalangan ulama, maka hendaklah berlapang dada dalam masalah ini. (Lihat Ahkamul Maulud fi Sunnah Muthahharah : 95-103, Salim asy-Syibli dan Muhammad Khalifah ar-Rabbah).
- Kunyah banyak dipakai oleh para ulama dan para perawi hadits, sehingga Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Banyak sekali para perawi hadits yang cukup disebut kunyahnya tanpa perlu menyebutkan nama asli dan nasab mereka, karena mereka telah masyhur dengan nama kunyah tersebut.” (Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ : 2/77).
- Diperkirakan ada 30 kitab yang membahas khusus tentang kunyah perawi hadits (!), seperti kitab al-Kuna karangan Imam Muslim, al-Kuna wa al-Asma’ karangan ad-Daulabi, al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim, an-Nasa’i, Ibnu Mandah, Ibnul Madini dan lain-lain. (Muqaddimah al-Muqtana fil Kuna : 22-31 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Murad, lihat al-Baitsul Hatsits : 2/594, Syaikh Ahmad Syakir).
Demikian sedikit pembahasan mengenai kunyah, semoga bermanfaat.
(P/s : Tulisan ini banyak mengambil faidah dari pembahasan mengenai kunyah pada majalah Al-Furqon edisi 11 th ke-9/1431 H, hal. 47-49).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar