Seorang hamba Allah -semoga Allah selalu menjaga dan memberkahi beliau-, memberi motivasi kepada ana agar tetap istiqomah menulis di blog ini. Sejujurnya, menulis adalah suatu “misteri”. Misteri yang ana maksudkan adalah tidak dapat dipastikan kapan suatu ide/ilham untuk menulis datang. Sehingga terkadang dalam beberapa menit satu tulisan siap, tapi kadang berhari-hari satu huruf pun belum mengisi halaman yang masih kosong.
Selain itu, kendala utama adalah ana belum bisa memanfaatkan waktu dengan maksimal. Rasanya banyak waktu terbuang untuk kegiatan yang kurang bermanfaat, yang jika digunakan untuk mencari ilham untuk menulis mungkin kegiatan menulis sudah berjalan lancar :-).
Sehingga perkataan sebagian orang : “Tidak ada waktu untuk menulis” sebenarnya hanya alasan orang yang 'pemalas' seperti ana. Yang tepat adalah “Tidak bisa memanfaatkan waktu”, sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i :
رأيت الناس يشكون الزمانا
وما لزماننا عيب سوانا
نعيب زماننا ولعيب فينا
ولو نطق الزمان به رمانا
“Aku melihat banyak manusia mengeluh tentang waktunya
Padahal tidak ada kesalahan pada waktu selain alasan kita saja
Kita mencela waktu padahal yang salah adalah diri kita
Andai waktu dapat bicara tentu kita akan dimarahinya.”
Ana juga semestinya banyak-banyak bersyukur. Bersyukur masih memiliki mata yang mampu untuk membaca, tangan yang siap untuk menulis, dan sarana untuk menulis yang sudah tersedia.
Teladanilah para salaf yang bahkan ada yang menulis dengan kaki karena tidak memiliki jari tangan. Contohnya Imam al-Baihaqi (wafat 458 H). Diceritakan bahwa Imam al-Baihaqi pernah menderita penyakit pada jari tangannya, sehingga jari-jari tangannya harus dipotong sampai pergelangan tangan. Namun hal tersebut tidak membuatnya patah semangat, bahkan beliau tetap menulis dengan kakinya (!!), yang mana dalam sehari beliau mampu menulis sebanyak 10 lembar dengan tulisan yang indah dan jelas. Berkata as-Sam’ani –sang perawi cerita- : “Sungguh ini adalah kejadian menakjubkan yang pernah aku lihat!”. (At-Tahbir fil Mu’jam al-Kabir : 1/223).
Semoga Allah selalu memberi pertolongan dan kesungguhan pada kita semua..
Senin, 30 Agustus 2010
Rabu, 25 Agustus 2010
What's In A Name ?
Mungkin ungkapan itu sering kita dengar, yang masyhur dikatakan oleh seorang yang bernama Shakespeare, yang lafaz lengkapnya berbunyi : What's in a name ? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
Tulisan ini tidak membahas perkataan Shakespeare tersebut, tapi ana teringat ungkapan itu ketika seorang teman meminta saran nama untuk calon anaknya yang akan lahir.
Dalam Islam nama adalah sangat penting. Bahkan para ulama mengatakan bahwa memberi nama adalah wajib hukumnya (Maratib al-Ijma’ : 154, Ibnu Hazm).
Bahkan terkadang -walau tidak mutlak- nama menunjukkan kepribadian seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
وقلما أبصرت عيناك ذا لقب
إلا ومعناه إن فكرت في لقبه
“Jarang sekali engkau mendapati seseorang yang memiliki nama,
Kecuali kalau engkau renungkan perangainya sesuai dengan namanya.”
Bahkan termasuk contoh “keajaiban” adalah seperti diterangkan Ibnu Hajar Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari (VII/198), bahwasanya dari 4 paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, 2 orang yang tidak masuk Islam mempunyai nama yang batil yakni Abu Thalib yang nama aslinya ‘Abdu Manaf dan Abu Lahab yang nama aslinya ‘Abdul ‘Uzza. Sedangkan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam adalah Hamzah dan Abbas.
Namun demikian, ada juga kepribadian seseorang yang tidak sesuai dengan namanya. Contohnya kebiasaan orang melayu -terutama di tempat ana- adalah memberi nama dengan berakhiran “Din” yang mengandung arti tazkiyah/menganggap diri suci, seperti nama : Syamsuddin, Qomaruddin, Jalaluddin, Muhyiddin, Fakhruddin, ‘Izzuddin dsb. Padahal tak sedikit pemilik nama tersebut orang yang tidak komitmen dengan agama. Sehingga dengan sebab itu banyak ulama yang memakruhkan penggunaan nama dengan diakhiri dengan “Din”.
Mungkin ada yang bertanya bagaimana pula dengan banyak ulama yang bergelar dengan akhiran “Din”? Maka dijawab Syaikh Bakr Abu Zaid bahwa gelar tersebut pada awalnya adalah gelar tambahan -bukan nama asli mereka-. (Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah : 563-564). Jadi bukan keinginan ulama itu untuk sengaja memakai gelar tersebut. Atau bisa jadi gelar tersebut sebagai penghormatan/penghargaan atas jasa-jasa mereka terhadap Islam.
Bahkan kita temukan beberapa dari ulama tersebut seperti Imam Nawawi yang digelari Muhyiddin tidak menyukai gelar tersebut (Tanbih al-Ghafilin : 510, Ibnu Nahhas Asy-Syafi’i). Juga Ibnu Taimiyah yang tidak menyukai diberi gelar Taqiyuddin (Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah : 22, Bakr Abu Zaid).
Bandingkan dengan orang-orang zaman sekarang yang sengaja menamakan dirinya dengan berakhiran “Din”, padahal tak jarang keadaan orang tersebut tidak sesuai dengan namanya, seperti dikatakan Imam ash-Shan’ani (wafat 1182 H) dalam bait syairnya :
تسمى بنور الدين وهو ظلامه
وذاك شمس الدين وهو له خسف
“Dia memakai nama Nuruddin (cahaya agama), padahal gelap agamanya,
Dan yang ini bernama Syamsuddin (matahari agama), padahal ia buta agamanya.”
Tulisan ini tidak membahas perkataan Shakespeare tersebut, tapi ana teringat ungkapan itu ketika seorang teman meminta saran nama untuk calon anaknya yang akan lahir.
Dalam Islam nama adalah sangat penting. Bahkan para ulama mengatakan bahwa memberi nama adalah wajib hukumnya (Maratib al-Ijma’ : 154, Ibnu Hazm).
Bahkan terkadang -walau tidak mutlak- nama menunjukkan kepribadian seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
وقلما أبصرت عيناك ذا لقب
إلا ومعناه إن فكرت في لقبه
“Jarang sekali engkau mendapati seseorang yang memiliki nama,
Kecuali kalau engkau renungkan perangainya sesuai dengan namanya.”
Bahkan termasuk contoh “keajaiban” adalah seperti diterangkan Ibnu Hajar Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari (VII/198), bahwasanya dari 4 paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, 2 orang yang tidak masuk Islam mempunyai nama yang batil yakni Abu Thalib yang nama aslinya ‘Abdu Manaf dan Abu Lahab yang nama aslinya ‘Abdul ‘Uzza. Sedangkan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam adalah Hamzah dan Abbas.
Namun demikian, ada juga kepribadian seseorang yang tidak sesuai dengan namanya. Contohnya kebiasaan orang melayu -terutama di tempat ana- adalah memberi nama dengan berakhiran “Din” yang mengandung arti tazkiyah/menganggap diri suci, seperti nama : Syamsuddin, Qomaruddin, Jalaluddin, Muhyiddin, Fakhruddin, ‘Izzuddin dsb. Padahal tak sedikit pemilik nama tersebut orang yang tidak komitmen dengan agama. Sehingga dengan sebab itu banyak ulama yang memakruhkan penggunaan nama dengan diakhiri dengan “Din”.
Mungkin ada yang bertanya bagaimana pula dengan banyak ulama yang bergelar dengan akhiran “Din”? Maka dijawab Syaikh Bakr Abu Zaid bahwa gelar tersebut pada awalnya adalah gelar tambahan -bukan nama asli mereka-. (Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah : 563-564). Jadi bukan keinginan ulama itu untuk sengaja memakai gelar tersebut. Atau bisa jadi gelar tersebut sebagai penghormatan/penghargaan atas jasa-jasa mereka terhadap Islam.
Bahkan kita temukan beberapa dari ulama tersebut seperti Imam Nawawi yang digelari Muhyiddin tidak menyukai gelar tersebut (Tanbih al-Ghafilin : 510, Ibnu Nahhas Asy-Syafi’i). Juga Ibnu Taimiyah yang tidak menyukai diberi gelar Taqiyuddin (Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah : 22, Bakr Abu Zaid).
Bandingkan dengan orang-orang zaman sekarang yang sengaja menamakan dirinya dengan berakhiran “Din”, padahal tak jarang keadaan orang tersebut tidak sesuai dengan namanya, seperti dikatakan Imam ash-Shan’ani (wafat 1182 H) dalam bait syairnya :
تسمى بنور الدين وهو ظلامه
وذاك شمس الدين وهو له خسف
“Dia memakai nama Nuruddin (cahaya agama), padahal gelap agamanya,
Dan yang ini bernama Syamsuddin (matahari agama), padahal ia buta agamanya.”
Senin, 23 Agustus 2010
Jika Yang Terjadi Tak Sesuai Rencana
Sebenarnya jauh hari sebelum Ramadhan, ana ada merencanakan sesuatu sebagai “hadiah” menyambut bulan Ramadhan. Tapi takdir Allah menentukan lain. Sampai hampir pertengahan Ramadhan ini, yang direncanakan itu tak kunjung terwujud karena berbagai kendala.
Ya, demikianlah sebenarnya hakikat manusia yang lemah, sebagaimana pernah dikatakan :
ولأنت تفري ما خلقت
وبعض القوم يخلق ثم لا يفري
“Sungguh Engkau dapat mewujudkan apa yang Engkau rencanakan,
Namun selain-Mu hanya bisa merencanakan dan tidak dapat mewujudkan.”
Alhamdulillah, walau yang direncanakan itu tidak terwujud, ana menghibur hati dengan berpikir mungkin dibalik kejadian tersebut ada hikmah Allah yang tidak diketahui. Bukankah kita sering mengalami kejadian yang tidak sesuai dengan yang direncanakan -lalu hati sedikit tidak menyukai ketentuan Allah tersebut-, kemudian selang beberapa waktu kita berbalik bersyukur kepada Allah karena baru mengetahui hikmah disebalik kejadian itu.
Percayalah bahwa takdir dan ketentuan Allah mengandung banyak sekali hikmah, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnul Qayyim :
“Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.” (Syifa’ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil : 452, Ibnu Qayyim al-Jauziyah).
Bahkan bisa jadi ketentuan Allah yang tidak kita sukai tersebut adalah sebagai kemaslahatan bagi dunia dan akhirat kita. Ana teringat kejadian beberapa waktu yang lalu, salah seorang keluarga ana ditakdirkan tidak berhasil untuk menduduki sebuah jabatan. Tapi syukurlah beliau tidak menduduki jabatan tersebut, karena ternyata jabatan tersebut banyak fitnahnya (godaan korupsi dsb).
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman :
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216).
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menjelaskan ayat tersebut : “Allah lebih mengetahui tentang akibat dari semua perkara dibanding kalian, dan lebih mengetahui tentang hal-hal yang di dalamnya terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian.”
Ya, demikianlah sebenarnya hakikat manusia yang lemah, sebagaimana pernah dikatakan :
ولأنت تفري ما خلقت
وبعض القوم يخلق ثم لا يفري
“Sungguh Engkau dapat mewujudkan apa yang Engkau rencanakan,
Namun selain-Mu hanya bisa merencanakan dan tidak dapat mewujudkan.”
Alhamdulillah, walau yang direncanakan itu tidak terwujud, ana menghibur hati dengan berpikir mungkin dibalik kejadian tersebut ada hikmah Allah yang tidak diketahui. Bukankah kita sering mengalami kejadian yang tidak sesuai dengan yang direncanakan -lalu hati sedikit tidak menyukai ketentuan Allah tersebut-, kemudian selang beberapa waktu kita berbalik bersyukur kepada Allah karena baru mengetahui hikmah disebalik kejadian itu.
Percayalah bahwa takdir dan ketentuan Allah mengandung banyak sekali hikmah, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnul Qayyim :
“Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.” (Syifa’ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil : 452, Ibnu Qayyim al-Jauziyah).
Bahkan bisa jadi ketentuan Allah yang tidak kita sukai tersebut adalah sebagai kemaslahatan bagi dunia dan akhirat kita. Ana teringat kejadian beberapa waktu yang lalu, salah seorang keluarga ana ditakdirkan tidak berhasil untuk menduduki sebuah jabatan. Tapi syukurlah beliau tidak menduduki jabatan tersebut, karena ternyata jabatan tersebut banyak fitnahnya (godaan korupsi dsb).
Maha benar Allah Ta’ala yang berfirman :
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216).
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menjelaskan ayat tersebut : “Allah lebih mengetahui tentang akibat dari semua perkara dibanding kalian, dan lebih mengetahui tentang hal-hal yang di dalamnya terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian.”
Rabu, 18 Agustus 2010
Diganti Allah Dengan Yang Lebih Baik
Ana mengenal seorang hamba Allah yang mempunyai kisah berharga. Beliau bercerita, beberapa belas tahun yang lalu dia adalah penggemar musik dan lagu dunia. Tidak ada satupun lagu dan trend musik terbaru melainkan ia mengikuti perkembangannya. Setiap hari alunan lagu keluar dari mulutnya dan suara musik masuk ke telinganya.
Sampai suatu hari Allah memberi hidayah kepadanya. Sampailah ia ke satu toko buku di kotanya. Ia tertegun melihat sebuah buku agama yang terletak pada rak paling atas di atas buku lainnya. Rasa ingin tahu membuatnya memutuskan membeli buku itu walaupun mahal harganya.
Sesampai di rumah, halaman demi halaman buku itu dibukanya. Dibacanya perlahan-lahan dan setelah menamatkan pembacaannya ia berkata : “Alangkah lalainya diriku ini dengan ilmu agama. Aku selama ini disibukkan dengan urusan dunia. Betapa ruginya hidupku jika dihabiskan untuk kegiatan yang sia-sia”. Sejak saat itu ia menekuni ilmu agama dan bertekad mengejar ketertinggalannya dengan belajar sepanjang masa.
Sekarang ana temukan beliau telah mendapatkan pengganti musik dan lagu yang dulu digemarinya. Allah menggantinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang setiap hari selalu menemaninya. Baik dilantunkannya lewat lisan dan maupun singgah lewat pendengarannya. Sungguh, itu adalah suatu penggantian oleh Allah yang tidak ternilai harganya.
Beliau juga sangat mudah menitiskan air mata, terutama jika mendengar bacaan Al-Qur’an mengingatkan syurga dan neraka. Dia mengatakan dahulu ia menangis karena lagu cinta. Tapi ternyata kesedihannya hanyalah fatamorgana. Sekarang tangisannya jujur keluar dari dalam jiwa. Alangkah ruginya mata yang tidak menangis karena mendengar kalam-Nya.
Wahai saudaraku yang mulia, sungguh kulihat engkau adalah sedikit manusia yang masih tersisa. Sisa-sisa manusia dari generasi pendahulu yang engkau ikuti jejaknya. Semoga Allah selalu memberi keteguhan iman kepada kita di dunia, memberi ampunan atas dosa-dosa kita, serta mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Sampai suatu hari Allah memberi hidayah kepadanya. Sampailah ia ke satu toko buku di kotanya. Ia tertegun melihat sebuah buku agama yang terletak pada rak paling atas di atas buku lainnya. Rasa ingin tahu membuatnya memutuskan membeli buku itu walaupun mahal harganya.
Sesampai di rumah, halaman demi halaman buku itu dibukanya. Dibacanya perlahan-lahan dan setelah menamatkan pembacaannya ia berkata : “Alangkah lalainya diriku ini dengan ilmu agama. Aku selama ini disibukkan dengan urusan dunia. Betapa ruginya hidupku jika dihabiskan untuk kegiatan yang sia-sia”. Sejak saat itu ia menekuni ilmu agama dan bertekad mengejar ketertinggalannya dengan belajar sepanjang masa.
Sekarang ana temukan beliau telah mendapatkan pengganti musik dan lagu yang dulu digemarinya. Allah menggantinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang setiap hari selalu menemaninya. Baik dilantunkannya lewat lisan dan maupun singgah lewat pendengarannya. Sungguh, itu adalah suatu penggantian oleh Allah yang tidak ternilai harganya.
Beliau juga sangat mudah menitiskan air mata, terutama jika mendengar bacaan Al-Qur’an mengingatkan syurga dan neraka. Dia mengatakan dahulu ia menangis karena lagu cinta. Tapi ternyata kesedihannya hanyalah fatamorgana. Sekarang tangisannya jujur keluar dari dalam jiwa. Alangkah ruginya mata yang tidak menangis karena mendengar kalam-Nya.
Wahai saudaraku yang mulia, sungguh kulihat engkau adalah sedikit manusia yang masih tersisa. Sisa-sisa manusia dari generasi pendahulu yang engkau ikuti jejaknya. Semoga Allah selalu memberi keteguhan iman kepada kita di dunia, memberi ampunan atas dosa-dosa kita, serta mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Kamis, 12 Agustus 2010
Bergantung Kepada Allah Semata
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya tidak ada tempat bergantung bagi seorang muslim selain kepada Allah semata. Maka alangkah ruginya jika seseorang menggantungkan harapan kepada selain-Nya. Bukankah pengalaman hidup selama ini telah mengajarkan kita, bahwa menggantungkan harapan kepada selain-Nya hasilnya tidaklah seperti yang dikira, bahkan acapkali hanya membuat kecewa.
Allah Ta’ala sendiri mensifati diri-Nya sebagai tempat bergantung segala sesuatu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (QS. Al-Ikhlas : 2).
Ahli tafsir berkata : “Ash-Shomad artinya Allah menjadi tempat bergantungnya para hamba dalam memenuhi kebutuhannya.” (Ad-Durr al-Mantsur : 15/782, As-Suyuthi).
Bergantung kepada Allah dalam semua perkara, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon petunjuk, menaruh harapan, menyerahkan urusan, bertaubat, sampai dalam perkara-perkara yang remeh, itulah yang dilakukan para salaf kita. Bahkan Urwah bin Zubair berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar berdoa kepada Allah meminta segala keperluanku, sampai-sampai dalam perkara garam.” (Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah Ibn Zaid al-Qirwani : 1/211, Ahmad bin Ghunaim al-Maliki).
Dan orang yang bergantung kepada Allah semata, akan dibukakan pintu kesulitannya.
Abu Ja’far al-Balkhi berkata : “Telah sampai kepadaku bahwa Abu Hanifah dulu jika ia mendapat kesulitan atau ragu-ragu dalam suatu permasalahan, maka ia berkata kepada sahabat-sahabatnya: ‘Tidaklah ini terjadi melainkan karena dosa yang telah aku perbuat’. Lalu beliau beristighfar, dan kadang-kadang beliau berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat lalu beristighfar, maka setelah itu selesailah masalahnya. Beliau berkata : ‘Aku selalu mengantungkan harapanku kepada Allah, dan meyakini bahwasanya Dia mengampuni dosa-dosaku, sehingga aku dapat menyelesaikan masalah yang kuhadapi.”
(‘Uqud al-Juman fi Manaqib al-Imam al-A’zham Abu Hanifah an-Nu’man : 228-229, Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi).
Ibnu Taimiyah jika beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an, beliau memohon dibukakan pintu kepahaman kepada Allah dengan berdoa : “Wahai Dzat yang mengajari Adam dan Ibrahim, ajarilah aku, dan Wahai Dzat yang memberi kepahaman kepada Sulaiman, jadikanlah aku paham.”
(I’lam al-Muwaqqi’in : 4/257, Ibnul Qayyim; dan al-Majmu’ah al-‘Ilmiyyah : 181, Syaikh Bakr Abu Zaid).
Imam Nawawi menceritakan bahwa Abu Ishaq asy-Syirazi (pengarang kitab Muhadzdzab) tidaklah membahas suatu masalah melainkan sebelumnya beliau memohon pertolongan (isti’anah) kepada Allah. Selain itu tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan diawali dengan shalat beberapa rakaat terlebih dahulu -untuk meminta petunjuk kepada Allah-. (Muqaddimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab : 1/15, An-Nawawi).
Semoga Allah merahmati seorang ulama yang berkata :
صبرا جميلا ما أقر ب الفر جا
من راقب الله في الأمور نجا
من صدق الله لم ينله أذى
ومن ر جاه يكو ن حيث رجا
“Bersabarlah, karena kelapangan itu akan datang secepatnya,
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala urusannya maka dia akan bahagia,
Barangsiapa yang selalu bergantung kepada Allah maka dia tidak akan ditimpa bencana,
Dan barangsiapa yang berharap kepada Allah maka dia akan mendapatkan harapannya.”
Allah Ta’ala sendiri mensifati diri-Nya sebagai tempat bergantung segala sesuatu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (QS. Al-Ikhlas : 2).
Ahli tafsir berkata : “Ash-Shomad artinya Allah menjadi tempat bergantungnya para hamba dalam memenuhi kebutuhannya.” (Ad-Durr al-Mantsur : 15/782, As-Suyuthi).
Bergantung kepada Allah dalam semua perkara, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon petunjuk, menaruh harapan, menyerahkan urusan, bertaubat, sampai dalam perkara-perkara yang remeh, itulah yang dilakukan para salaf kita. Bahkan Urwah bin Zubair berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar berdoa kepada Allah meminta segala keperluanku, sampai-sampai dalam perkara garam.” (Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah Ibn Zaid al-Qirwani : 1/211, Ahmad bin Ghunaim al-Maliki).
Dan orang yang bergantung kepada Allah semata, akan dibukakan pintu kesulitannya.
Abu Ja’far al-Balkhi berkata : “Telah sampai kepadaku bahwa Abu Hanifah dulu jika ia mendapat kesulitan atau ragu-ragu dalam suatu permasalahan, maka ia berkata kepada sahabat-sahabatnya: ‘Tidaklah ini terjadi melainkan karena dosa yang telah aku perbuat’. Lalu beliau beristighfar, dan kadang-kadang beliau berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat lalu beristighfar, maka setelah itu selesailah masalahnya. Beliau berkata : ‘Aku selalu mengantungkan harapanku kepada Allah, dan meyakini bahwasanya Dia mengampuni dosa-dosaku, sehingga aku dapat menyelesaikan masalah yang kuhadapi.”
(‘Uqud al-Juman fi Manaqib al-Imam al-A’zham Abu Hanifah an-Nu’man : 228-229, Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi).
Ibnu Taimiyah jika beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an, beliau memohon dibukakan pintu kepahaman kepada Allah dengan berdoa : “Wahai Dzat yang mengajari Adam dan Ibrahim, ajarilah aku, dan Wahai Dzat yang memberi kepahaman kepada Sulaiman, jadikanlah aku paham.”
(I’lam al-Muwaqqi’in : 4/257, Ibnul Qayyim; dan al-Majmu’ah al-‘Ilmiyyah : 181, Syaikh Bakr Abu Zaid).
Imam Nawawi menceritakan bahwa Abu Ishaq asy-Syirazi (pengarang kitab Muhadzdzab) tidaklah membahas suatu masalah melainkan sebelumnya beliau memohon pertolongan (isti’anah) kepada Allah. Selain itu tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan diawali dengan shalat beberapa rakaat terlebih dahulu -untuk meminta petunjuk kepada Allah-. (Muqaddimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab : 1/15, An-Nawawi).
Semoga Allah merahmati seorang ulama yang berkata :
صبرا جميلا ما أقر ب الفر جا
من راقب الله في الأمور نجا
من صدق الله لم ينله أذى
ومن ر جاه يكو ن حيث رجا
“Bersabarlah, karena kelapangan itu akan datang secepatnya,
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala urusannya maka dia akan bahagia,
Barangsiapa yang selalu bergantung kepada Allah maka dia tidak akan ditimpa bencana,
Dan barangsiapa yang berharap kepada Allah maka dia akan mendapatkan harapannya.”
Senin, 09 Agustus 2010
Selamat Datang Bulan Ramadhan !!
Tak terasa hari demi hari berlalu dan bulan demi bulan telah berganti, akhirnya bulan Ramadhan sudah di depan mata. Betapa gembiranya jiwa-jiwa manusia menyambut kedatangan bulan yang mulia. Bulan yang penuh ampunan, bulan dihidupkan solat malam, dan bulan pembacaan Al-Qur’an.
Oleh karena itu janganlah sia-siakan bulan Ramadhan. Isilah selalu dengan penuh amalan. Kerana kita tak tahu apakah Ramadhan tahun depan kita masih dipertemukan.
Seorang penyair mengatakan :
ياذا الذي ما كفاه الذنب في رجب
حتى عصى ربه في شهر شعبان
لقد أظلك شهر الصوم بعدهما
فلا تصيره أيضا شهر عصيان
واتل القرآن و سبح فيه مجتهدا
فإنه شهر تسبيح وقرآن
كم كنت تعرف ممن صام في سلف
من بين أهل وجيران وإخوان
أفناهم الوت واستبقاك بعدهمو
حيا فما أقرب القاصي من الداني
“Wahai jiwa yang tidak puas berbuat dosa di bulan Rajab
Hingga ia bermaksiat lagi di bulan Sya’ban
Telah datang kepadamu bulan puasa setelah keduanya
Janganlah kau jadikan bulan bergelimang dosa
Bacalah Al-Qur’an dan pujilah Dia dengan segala ketulusan
Inilah bulan pujian dan bacaan Al-Qur’an
Berapa banyak mereka yang dahulunya berpuasa
Keluarga, tetangga, hingga saudara
Maut telah menjemput mereka meninggalkanmu sebatang kara
Sungguh alangkah dekatnya kematian itu dibanding mereka yang disamping kita.”
Jadikanlah bulan Ramadhan sebagai sarana untuk mencari bekal pahala sebanyak-banyaknya. Bersabarlah dengan kelaparan dan kehausan selama berpuasa di dunia, karena itu lebih ringan daripada bersabar dengan kelaparan dan kehausan di hari kiamat yang tiada akhirnya. Dan penyesalan di hari kiamat tiadalah berguna.
Sebagaimana dikatakan ulama :
أتى رمضان مرزعة العباد
لتطهير القلوب من افساد
فأد حقوقه قولا و فعلا
وزادك فاتخذه للمعاد
فمن زرع الحبوب وما سقاها
تأوه نادما يوم الحصاد
“Ramadhan telah tiba sebagai ladang bagi hamba
Untuk membersihkan hati dari berbagai kerusakannya
Maka tunaikanlah hak (Ramadhan) dengan perkataan dan perbuatan mulia
Dan jadikanlah bulan itu sebagai bekal untuk hari kemudian nantinya
Barangsiapa yang menabur biji tetapi ia tidak menyiramnya
Niscaya ia akan merintih menyesal ketika musim panennya.”
(Latha’if al-Ma’arif : 280, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Ya Allah, berilah kekuatan kepada kami agar dapat menjalani bulan Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan kesabaran. Terimalah semua amalan-amalan kami, serta masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau ridhai...
Oleh karena itu janganlah sia-siakan bulan Ramadhan. Isilah selalu dengan penuh amalan. Kerana kita tak tahu apakah Ramadhan tahun depan kita masih dipertemukan.
Seorang penyair mengatakan :
ياذا الذي ما كفاه الذنب في رجب
حتى عصى ربه في شهر شعبان
لقد أظلك شهر الصوم بعدهما
فلا تصيره أيضا شهر عصيان
واتل القرآن و سبح فيه مجتهدا
فإنه شهر تسبيح وقرآن
كم كنت تعرف ممن صام في سلف
من بين أهل وجيران وإخوان
أفناهم الوت واستبقاك بعدهمو
حيا فما أقرب القاصي من الداني
“Wahai jiwa yang tidak puas berbuat dosa di bulan Rajab
Hingga ia bermaksiat lagi di bulan Sya’ban
Telah datang kepadamu bulan puasa setelah keduanya
Janganlah kau jadikan bulan bergelimang dosa
Bacalah Al-Qur’an dan pujilah Dia dengan segala ketulusan
Inilah bulan pujian dan bacaan Al-Qur’an
Berapa banyak mereka yang dahulunya berpuasa
Keluarga, tetangga, hingga saudara
Maut telah menjemput mereka meninggalkanmu sebatang kara
Sungguh alangkah dekatnya kematian itu dibanding mereka yang disamping kita.”
Jadikanlah bulan Ramadhan sebagai sarana untuk mencari bekal pahala sebanyak-banyaknya. Bersabarlah dengan kelaparan dan kehausan selama berpuasa di dunia, karena itu lebih ringan daripada bersabar dengan kelaparan dan kehausan di hari kiamat yang tiada akhirnya. Dan penyesalan di hari kiamat tiadalah berguna.
Sebagaimana dikatakan ulama :
أتى رمضان مرزعة العباد
لتطهير القلوب من افساد
فأد حقوقه قولا و فعلا
وزادك فاتخذه للمعاد
فمن زرع الحبوب وما سقاها
تأوه نادما يوم الحصاد
“Ramadhan telah tiba sebagai ladang bagi hamba
Untuk membersihkan hati dari berbagai kerusakannya
Maka tunaikanlah hak (Ramadhan) dengan perkataan dan perbuatan mulia
Dan jadikanlah bulan itu sebagai bekal untuk hari kemudian nantinya
Barangsiapa yang menabur biji tetapi ia tidak menyiramnya
Niscaya ia akan merintih menyesal ketika musim panennya.”
(Latha’if al-Ma’arif : 280, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Ya Allah, berilah kekuatan kepada kami agar dapat menjalani bulan Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan kesabaran. Terimalah semua amalan-amalan kami, serta masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau ridhai...
Kamis, 05 Agustus 2010
Nasihatilah Manusia Walaupun Engkau Seorang Pendosa
Mungkin ada sebagian orang yang tidak tergerak hatinya untuk menasihati manusia, karena ia merasa banyak melakukan dosa dan tidak layak untuk mengucapkan ucapan kebaikan kepada sesama manusia.
Pandangan seperti itu adalah keliru dan bahayanya sangat besar, serta akan membuat syaitan gembira. Betapa tidak, karena jika mesti menunggu sampai seseorang bersih dari dosa baru ia layak menasihati manusia, maka tidak ada seorangpun dimuka bumi yang layak memberi nasihat setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercinta.
Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
إذا لم يعظ في الناس من هو مذنب
فمن يعظ العاصين بعد محمد
“Apabila seorang pendosa itu tidak menasihati manusia,
Maka siapakah yang akan menasihati orang-orang yang berdosa setelah Nabi Muhammad kita”.
Sa’id bin Jubair berkata : “Apabila seseorang tidak memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari yang munkar, hingga ia menunggu dirinya bebas dari kesalahan, maka tidak akan ada seorangpun yang memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari yang munkar”.
Imam Malik setelah mendengar perkataan Sa’id bin Jubair berkata : “Benar apa yang dikatakan Sa’id. Siapakah yang tidak memiliki sedikitpun dosa dalam dirinya?”.
Al Hasan berkata kepada Mutharrif bin ‘Abdillah : “Berilah nasihat kepada sahabat-sahabatmu”. Mutharrif menjawab : “Sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku kerjakan”.
Al Hasan balik berkata : “Semoga Allah merahmati dirimu. Tidak ada seorangpun diantara kita yang melakukan semua yang diperintahkan Allah. Syaitan akan gembira apabila kita berpikir seperti itu sehingga tidak ada seorangpun yang memerintah kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari kemungkaran”.
Berkata Ibnu Hazm : “Apabila orang yang mencegah dari perbuatan keji mesti orang yang tidak memiliki kesalahan, dan orang yang memerintah kepada kebaikan mesti orang yang selalu mengerjakan kebajikan, maka tidak ada seorangpun yang mencegah dari yang munkar dan tidak ada seorang pun yang mengajak kepada kebaikan setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Semua nukilan diatas dapat ditemukan dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an : 1/367, Al-Qurthubi).
Imam Nawawi berkata :
“Para ulama menyatakan bahwa tidak disyaratkan pada orang yang memerintah kepada kebaikan atau orang yang mencegah dari kemungkaran untuk mencapai kesempurnaan dalam segala hal. Tapi, ia mesti tetap mengajak kepada kebaikan walaupun ia memiliki kekurangan dalam hal yang ia ajak kepadanya, dan ia tetap mencegah kemungkaran walau ia terkadang mengerjakan apa yang ia cegah. Karena sesungguhnya wajib pada dirinya dua perkara yaitu : mengajak dirinya sendiri ke arah kebaikan dan mencegah dari kemungkaran; dan mengajak orang lain ke arah kepada kebaikan dan mencegah mereka dari yang mungkar. Tidak boleh ia melalaikan salah satu dari dua perkara tersebut”.
(Syarh Shahih Muslim : 2/23, An-Nawawi).
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu saling menasihati dalam kebaikan.
Pandangan seperti itu adalah keliru dan bahayanya sangat besar, serta akan membuat syaitan gembira. Betapa tidak, karena jika mesti menunggu sampai seseorang bersih dari dosa baru ia layak menasihati manusia, maka tidak ada seorangpun dimuka bumi yang layak memberi nasihat setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercinta.
Sebagaimana dikatakan seorang penyair :
إذا لم يعظ في الناس من هو مذنب
فمن يعظ العاصين بعد محمد
“Apabila seorang pendosa itu tidak menasihati manusia,
Maka siapakah yang akan menasihati orang-orang yang berdosa setelah Nabi Muhammad kita”.
Sa’id bin Jubair berkata : “Apabila seseorang tidak memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari yang munkar, hingga ia menunggu dirinya bebas dari kesalahan, maka tidak akan ada seorangpun yang memerintahkan kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari yang munkar”.
Imam Malik setelah mendengar perkataan Sa’id bin Jubair berkata : “Benar apa yang dikatakan Sa’id. Siapakah yang tidak memiliki sedikitpun dosa dalam dirinya?”.
Al Hasan berkata kepada Mutharrif bin ‘Abdillah : “Berilah nasihat kepada sahabat-sahabatmu”. Mutharrif menjawab : “Sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku kerjakan”.
Al Hasan balik berkata : “Semoga Allah merahmati dirimu. Tidak ada seorangpun diantara kita yang melakukan semua yang diperintahkan Allah. Syaitan akan gembira apabila kita berpikir seperti itu sehingga tidak ada seorangpun yang memerintah kepada kebaikan dan tidak pula mencegah dari kemungkaran”.
Berkata Ibnu Hazm : “Apabila orang yang mencegah dari perbuatan keji mesti orang yang tidak memiliki kesalahan, dan orang yang memerintah kepada kebaikan mesti orang yang selalu mengerjakan kebajikan, maka tidak ada seorangpun yang mencegah dari yang munkar dan tidak ada seorang pun yang mengajak kepada kebaikan setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Semua nukilan diatas dapat ditemukan dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an : 1/367, Al-Qurthubi).
Imam Nawawi berkata :
“Para ulama menyatakan bahwa tidak disyaratkan pada orang yang memerintah kepada kebaikan atau orang yang mencegah dari kemungkaran untuk mencapai kesempurnaan dalam segala hal. Tapi, ia mesti tetap mengajak kepada kebaikan walaupun ia memiliki kekurangan dalam hal yang ia ajak kepadanya, dan ia tetap mencegah kemungkaran walau ia terkadang mengerjakan apa yang ia cegah. Karena sesungguhnya wajib pada dirinya dua perkara yaitu : mengajak dirinya sendiri ke arah kebaikan dan mencegah dari kemungkaran; dan mengajak orang lain ke arah kepada kebaikan dan mencegah mereka dari yang mungkar. Tidak boleh ia melalaikan salah satu dari dua perkara tersebut”.
(Syarh Shahih Muslim : 2/23, An-Nawawi).
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu saling menasihati dalam kebaikan.
Senin, 02 Agustus 2010
Dosa Yang Disesali Lebih Baik Daripada Amal Yang Dibanggakan
Ibnul Qayyim (wafat 751 H) berkata :
“Berkata sebagian salaf : ‘Adakalanya seorang hamba berbuat dosa, namun masuk surga. Dan adakalanya seseorang mengerjakan ketaatan, namun masuk neraka’.
Bagaimana hal tersebut dapat terjadi ?
Hal ini karena orang yang berbuat dosa, maka seolah-olah dosa itu selalu di hadapan matanya. Ketika ia berdiri, duduk, maupun berjalan, ia selalu ingat akan dosa tersebut sehingga membuat hatinya luluh, bertaubat, memohon ampunan kepada Allah, dan menyesali perbuatannya. Hal inilah yang menjadi sebab keselamatannya.
Adapun orang yang berbuat kebaikan, seakan-akan kebaikan itu selalu tampak di hadapan matanya. Ketika ia berdiri, duduk, maupun berjalan, ia selalu ingat akan kebaikannya tersebut sehingga membuatnya takabur, ujub, dan merasa telah mendapatkan karunia. Hal itulah yang menjadi sebab kebinasaannya.
Dengan demikian, dosa dapat mendatangkan berbagai ketaatan dan kebaikan. Menimbulkan ibadah hati seperti perasaan takut terhadap azab Allah yang pedih, malu dan merasa hina di hadapan-Nya sambil menundukkan kepala, membuatnya menangis karena menyesali dosa yang pernah dilakukannya, serta mengharap ampunan dari Rabb-nya.
Pengaruh tersebut lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada ketaatan yang menjadikannya angkuh, sombong, menghinakan orang lain, dan melihat manusia dengan pandangan merendahkan.”
(Madarijus Salikin : 1/307, Ibnul Qayyim al-Jauziyah).
“Berkata sebagian salaf : ‘Adakalanya seorang hamba berbuat dosa, namun masuk surga. Dan adakalanya seseorang mengerjakan ketaatan, namun masuk neraka’.
Bagaimana hal tersebut dapat terjadi ?
Hal ini karena orang yang berbuat dosa, maka seolah-olah dosa itu selalu di hadapan matanya. Ketika ia berdiri, duduk, maupun berjalan, ia selalu ingat akan dosa tersebut sehingga membuat hatinya luluh, bertaubat, memohon ampunan kepada Allah, dan menyesali perbuatannya. Hal inilah yang menjadi sebab keselamatannya.
Adapun orang yang berbuat kebaikan, seakan-akan kebaikan itu selalu tampak di hadapan matanya. Ketika ia berdiri, duduk, maupun berjalan, ia selalu ingat akan kebaikannya tersebut sehingga membuatnya takabur, ujub, dan merasa telah mendapatkan karunia. Hal itulah yang menjadi sebab kebinasaannya.
Dengan demikian, dosa dapat mendatangkan berbagai ketaatan dan kebaikan. Menimbulkan ibadah hati seperti perasaan takut terhadap azab Allah yang pedih, malu dan merasa hina di hadapan-Nya sambil menundukkan kepala, membuatnya menangis karena menyesali dosa yang pernah dilakukannya, serta mengharap ampunan dari Rabb-nya.
Pengaruh tersebut lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada ketaatan yang menjadikannya angkuh, sombong, menghinakan orang lain, dan melihat manusia dengan pandangan merendahkan.”
(Madarijus Salikin : 1/307, Ibnul Qayyim al-Jauziyah).
Langganan:
Postingan (Atom)