Rabu, 25 Agustus 2010

What's In A Name ?

Mungkin ungkapan itu sering kita dengar, yang masyhur dikatakan oleh seorang yang bernama Shakespeare, yang lafaz lengkapnya berbunyi : What's in a name ? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
Tulisan ini tidak membahas perkataan Shakespeare tersebut, tapi ana teringat ungkapan itu ketika seorang teman meminta saran nama untuk calon anaknya yang akan lahir.

Dalam Islam nama adalah sangat penting. Bahkan para ulama mengatakan bahwa memberi nama adalah wajib hukumnya (Maratib al-Ijma’ : 154, Ibnu Hazm).
Bahkan terkadang -walau tidak mutlak- nama menunjukkan kepribadian seseorang. Sebagaimana dikatakan seorang penyair :

وقلما أبصرت عيناك ذا لقب
إلا ومعناه إن فكرت في لقبه

Jarang sekali engkau mendapati seseorang yang memiliki nama,
Kecuali kalau engkau renungkan perangainya sesuai dengan namanya.”

Bahkan termasuk contoh “keajaiban” adalah seperti diterangkan Ibnu Hajar Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari (VII/198), bahwasanya dari 4 paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, 2 orang yang tidak masuk Islam mempunyai nama yang batil yakni Abu Thalib yang nama aslinya ‘Abdu Manaf dan Abu Lahab yang nama aslinya ‘Abdul ‘Uzza. Sedangkan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam adalah Hamzah dan Abbas.

Namun demikian, ada juga kepribadian seseorang yang tidak sesuai dengan namanya. Contohnya kebiasaan orang melayu -terutama di tempat ana- adalah memberi nama dengan berakhiran “Din” yang mengandung arti tazkiyah/menganggap diri suci, seperti nama : Syamsuddin, Qomaruddin, Jalaluddin, Muhyiddin, Fakhruddin, ‘Izzuddin dsb. Padahal tak sedikit pemilik nama tersebut orang yang tidak komitmen dengan agama. Sehingga dengan sebab itu banyak ulama yang memakruhkan penggunaan nama dengan diakhiri dengan “Din”.

Mungkin ada yang bertanya bagaimana pula dengan banyak ulama yang bergelar dengan akhiran “Din”? Maka dijawab Syaikh Bakr Abu Zaid bahwa gelar tersebut pada awalnya adalah gelar tambahan -bukan nama asli mereka-. (Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah : 563-564). Jadi bukan keinginan ulama itu untuk sengaja memakai gelar tersebut. Atau bisa jadi gelar tersebut sebagai penghormatan/penghargaan atas jasa-jasa mereka terhadap Islam.

Bahkan kita temukan beberapa dari ulama tersebut seperti Imam Nawawi yang digelari Muhyiddin tidak menyukai gelar tersebut (Tanbih al-Ghafilin : 510, Ibnu Nahhas Asy-Syafi’i). Juga Ibnu Taimiyah yang tidak menyukai diberi gelar Taqiyuddin (Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah : 22, Bakr Abu Zaid).

Bandingkan dengan orang-orang zaman sekarang yang sengaja menamakan dirinya dengan berakhiran “Din”, padahal tak jarang keadaan orang tersebut tidak sesuai dengan namanya, seperti dikatakan Imam ash-Shan’ani (wafat 1182 H) dalam bait syairnya :

تسمى بنور الدين وهو ظلامه
وذاك شمس الدين وهو له خسف

Dia memakai nama Nuruddin (cahaya agama), padahal gelap agamanya,
Dan yang ini bernama Syamsuddin (matahari agama), padahal ia buta agamanya.”

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum..

    Akhi Igun, kalau sebagai doa tak boleh ke? Ada yang kata nama yg baik ni kira macam doa ibu bapa pada anak2 nya.. apa pendapat Akhi?

    BalasHapus
  2. Wa’alaikumussalam warahmatullah..

    Bolehkan pemberian nama akhiran “Din” tujuannya sebagai doa? Wallahu a’lam akhi.

    Yang paling selamat adalah menghindarinya. Tapi jika telah terlanjur, nak ubah susah pulak ya. Mungkin diantara solusinya adalah membiasakan memanggil dengan kunyah.

    BalasHapus