Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya tidak ada tempat bergantung bagi seorang muslim selain kepada Allah semata. Maka alangkah ruginya jika seseorang menggantungkan harapan kepada selain-Nya. Bukankah pengalaman hidup selama ini telah mengajarkan kita, bahwa menggantungkan harapan kepada selain-Nya hasilnya tidaklah seperti yang dikira, bahkan acapkali hanya membuat kecewa.
Allah Ta’ala sendiri mensifati diri-Nya sebagai tempat bergantung segala sesuatu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (QS. Al-Ikhlas : 2).
Ahli tafsir berkata : “Ash-Shomad artinya Allah menjadi tempat bergantungnya para hamba dalam memenuhi kebutuhannya.” (Ad-Durr al-Mantsur : 15/782, As-Suyuthi).
Bergantung kepada Allah dalam semua perkara, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon petunjuk, menaruh harapan, menyerahkan urusan, bertaubat, sampai dalam perkara-perkara yang remeh, itulah yang dilakukan para salaf kita. Bahkan Urwah bin Zubair berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar berdoa kepada Allah meminta segala keperluanku, sampai-sampai dalam perkara garam.” (Al-Fawakih ad-Dawani Syarh Risalah Ibn Zaid al-Qirwani : 1/211, Ahmad bin Ghunaim al-Maliki).
Dan orang yang bergantung kepada Allah semata, akan dibukakan pintu kesulitannya.
Abu Ja’far al-Balkhi berkata : “Telah sampai kepadaku bahwa Abu Hanifah dulu jika ia mendapat kesulitan atau ragu-ragu dalam suatu permasalahan, maka ia berkata kepada sahabat-sahabatnya: ‘Tidaklah ini terjadi melainkan karena dosa yang telah aku perbuat’. Lalu beliau beristighfar, dan kadang-kadang beliau berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat lalu beristighfar, maka setelah itu selesailah masalahnya. Beliau berkata : ‘Aku selalu mengantungkan harapanku kepada Allah, dan meyakini bahwasanya Dia mengampuni dosa-dosaku, sehingga aku dapat menyelesaikan masalah yang kuhadapi.”
(‘Uqud al-Juman fi Manaqib al-Imam al-A’zham Abu Hanifah an-Nu’man : 228-229, Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi).
Ibnu Taimiyah jika beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an, beliau memohon dibukakan pintu kepahaman kepada Allah dengan berdoa : “Wahai Dzat yang mengajari Adam dan Ibrahim, ajarilah aku, dan Wahai Dzat yang memberi kepahaman kepada Sulaiman, jadikanlah aku paham.”
(I’lam al-Muwaqqi’in : 4/257, Ibnul Qayyim; dan al-Majmu’ah al-‘Ilmiyyah : 181, Syaikh Bakr Abu Zaid).
Imam Nawawi menceritakan bahwa Abu Ishaq asy-Syirazi (pengarang kitab Muhadzdzab) tidaklah membahas suatu masalah melainkan sebelumnya beliau memohon pertolongan (isti’anah) kepada Allah. Selain itu tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan diawali dengan shalat beberapa rakaat terlebih dahulu -untuk meminta petunjuk kepada Allah-. (Muqaddimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab : 1/15, An-Nawawi).
Semoga Allah merahmati seorang ulama yang berkata :
صبرا جميلا ما أقر ب الفر جا
من راقب الله في الأمور نجا
من صدق الله لم ينله أذى
ومن ر جاه يكو ن حيث رجا
“Bersabarlah, karena kelapangan itu akan datang secepatnya,
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala urusannya maka dia akan bahagia,
Barangsiapa yang selalu bergantung kepada Allah maka dia tidak akan ditimpa bencana,
Dan barangsiapa yang berharap kepada Allah maka dia akan mendapatkan harapannya.”
Kamis, 12 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
izin copas ya boss...biar tambah banyak pahalanya
BalasHapusSilakan
BalasHapus