Rabu, 15 Desember 2010

Hikmah Di Balik Doa Yang Tak Terkabul

Berkata Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya Shaidul Khatir :

“Aku pernah ditimpa kesusahan yang mendalam. Aku memperbanyak doa sambil memohon agar dilepaskan dari ujian ini. Tetapi jawabannya sangatlah lambat. Maka, mulailah jiwaku gelisah. Tetapi saat itu aku mulai memperingatkan jiwaku.

Aku berkata kepada jiwa : “Celakalah engkau! Merenunglah! Apakah engkau hamba atau seorang yang merdeka yang dapat berbuat semaunya? Tidakkah engkau berfikir, engkaukah yang mengatur segalanya atau ada yang mengaturmu? Tidakkah engkau tahu bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan cobaan? Jika engkau minta dipenuhi segala keinginanmu, namun engkau tidak mampu bersabar ketika tidak mendapatkan apa yang engkau inginkan, lalu dimana letak ujian itu? Bukankah termasuk ujian ketika tidak dikabulkannya suatu keinginan? Wahai jiwa, pahamilah olehmu makna pembebanan syariat kepadamu, niscaya akan ringanlah yang berat dan akan mudah pula perkara yang sulit.”

Tatkala jiwaku merenungkan hal itu, ia sedikit tenang.

Aku katakan kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban kedua. Engkau hanya menuntut hak-hakmu dan tidak pernah peduli dengan kewajibanmu, padahal itu adalah tindakan yang bodoh. Engkau adalah hamba. Hamba yang cerdas akan berusaha menunaikan hak-hak tuannya. Ia tahu bahwa bukanlah kewajiban seorang tuan untuk memenuhi semua yang diinginkan hambanya.”

Mendengar penjelasan itu, jiwaku semakin tenang.

Aku berkata kembali kepada jiwaku : “Aku punya jawaban ketiga. Engkau menganggap jawaban-jawaban bagi doamu sangatlah lambat. Padahal engkau sendiri menutup jalan terkabulnya doa dengan berbagai maksiat. Jika saja engkau buka kembali jalan itu dengan meninggalkan maksiat, niscaya akan dipercepat jawaban bagi doamu. Sepertinya engkau tidak tahu bahwa ketenangan diperoleh dari takwa. Tidakkah engkau membaca dan mendengar firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangka … Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS. Ath-Thalaq : 2 - 4).”

Jiwaku membenarkan ucapanku. Maka bertambah tenanglah dia.

Aku berkata lagi : “Aku masih punya jawaban yang keempat. Engkau meminta harta padahal engkau tahu akibat-akibatnya. Jika Dia mengabulkan, boleh jadi harta itu akan membahayakanmu. Engkau seperti anak kecil yang sakit gigi tapi meminta manisan. Padahal Zat yang mengaturmu lebih tahu apa yang terbaik bagimu. Bagaimana tidak, Dia sendiri telah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu (QS. Al-Baqarah : 216).”

Ketika jiwaku memahami apa yang aku sampaikan, semakin mantaplah jiwaku dalam ketenangan.

Akupun mengakhiri nasihatku : “Ini jawaban terakhir. Ketahuilah bahwa apa yang engkau minta akan mengurangi pahala dan menurunkan derajatmu. Tatkala Dia tidak mengabulkan doamu, hal itu sebenarnya adalah sebuah pemberian yang sangat berharga dari-Nya untukmu. Jika engkau minta kepada-Nya apa yang terbaik untuk akhiratmu, maka yang demikian itu jauh lebih baik. Pahamilah kembali apa yang aku terangkan kepadamu.”

Akhirnya jiwaku berbisik, “Aku sungguh merasa sangat tenang dan damai.”

2 komentar:

  1. Assalaamu'alaykum warahmatullah akhi Igun,

    Sungguh, pertama kali saya membaca tajuk entri kali ini, saya menangis mengingatkan entri ini benar2 ditujukan kpd saya..

    Bolehkah dijelaskan lagi perenggan terakhir entri ini? Apakah perkara yg jika diminta akan mengurangkan pahala dan menurunkan darjat?
    Saya melihat ada sahabat2 yg sanggup hidup susah, dan redha dgn kesusahan itu. JIka kita berdoa agar kehidupan itu disenangkan sedikit, maka, adakah ianya suatu bentuk perkara yg akan mengurangi pahala dan menurunkan darjat?

    Bagaimana dgn keadaan seseorang yg tidak ingin lagi meminta kebaikan dunia, bahkan memonta kebaikan akhirat semata2? Adakah ianya dikira termasuk berputus asa dgn ALLAh untuk mendapatkan kebaikan dunia? Bagaimana sekiranya hamba itu sudah tidak tahu apa lagi yg perlu diminta kebaikan dunia secara khusus, tetapi cuma meminta kebaikan dunia secara umum sahaja?

    Jazakallahu khayral jaza..

    BalasHapus
  2. Wa’alaykumussalam warahmatullah..

    Sejujurnya, perenggan (paragraf) terakhir itu juga menimbulkan kerumitan pada ana untuk memahaminya. Perkataan ulama sehebat Imam Ibnul Jauzi mempunyai makna yang sangat luas dan dalam jika dipikirkan.

    Ada kemungkinan yang dimaksud dengan doa yang dapat mengurangi pahala dan menurunkan derajat adalah permintaan dari seorang hamba dalam masalah dunia yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkannya (misalnya kebutuhan sekunder/tersier). Kerana permintaan tersebut dapat mengurangi sifat qona’ah (merasa cukup dengan apa yang telah dikaruniakan Allah Ta’ala).

    Atau mungkin juga doa yang berisi permintaan sesuatu, padahal jika ia bersabar maka derajatnya lebih tinggi. Seperti dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim tentang seorang wanita yang menderita sakit epilepsi/ayan kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minta di doakan kesembuhan. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dua pilihan, yakni jika ia bersabar (walau tetap sakit) maka ia mendapatkan syurga, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kesembuhan bagi penyakitnya. Maka wanita itu memilih tetap bersabar agar ia dapat masuk syurga.

    Wallahu a’lam.

    BalasHapus