Kemarin ana pergi ke toko buku mencari mushaf Al-Qur’an. Rencananya mushaf itu akan ana hadiahkan buat seseorang menyambut Ramadhan, Insya Allah. Syarat mushaf yang ana cari adalah ada transliterasi Arab-Latinnya, karena orang yang hendak ana hadiahkan itu kurang lancar membaca Al-Qur’an. Syarat lainnya adalah huruf Arabnya agak besar karena calon penerima hadiah tersebut umurnya sudah 60 tahun ^_^.
Tapi setelah hampir 1 jam ana berdiri memilih-milih belasan model mushaf, tidak ada satupun yang memenuhi kriteria mushaf yang ana sebutkan. Ada mushaf yang memiliki transliterasi Arab-Latin, tapi huruf Arabnya terlalu kecil. Ada pula mushaf yang huruf Arabnya besar, tapi tidak ada transliterasi Arab-Latinnya. Ada yang memenuhi kedua kriteria itu tapi dicetak terpisah dalam 10 jilid, padahal yang ana perlukan adalah yang dicetak dalam 1 jilid saja.
Walaupun ana belum mendapatkan mushaf yang dicari, tetapi ada kegembiraan melihat banyaknya mushaf-mushaf yang telah dicetak dalam berbagai bentuk dan ukuran. Teringat pada zaman sahabat dulu, khalifah ‘Utsman bin Affan bersusah payah membukukan 5 mushaf Al-Qur’an -menurut pendapat yang masyhur menurut Imam As-Suyuthi- kemudian dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah dan satu mushaf ditinggal di Madinah.
Jika ada yang bertanya kemana mushaf-mushaf itu sekarang? Maka hanya Allah yang mengetahuinya. Namun, ana pernah membaca dalam kitab Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur'an karya Syaikh Manna' al-Qaththan, bahwa Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) dalam kitabnya Fadha’il Al-Qur’an pernah melihat salah satu mushaf peninggalan khalifah ‘Utsman bin Affan tersebut di Masjid Damaskus, Syam.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa mushaf di Syam itu dibawa ke Inggris setelah sebelumnya berada di tangan Kaisar Rusia dan disimpan pada perpustakaan Leningrad. Riwayat lain menyatakan bahwa mushaf tersebut musnah ketika terjadi kebakaran di Masjid Damaskus pada tahun 1310 H. Wallahu a’lam.
Kembali kepada topik : Tampaknya hari ini ana harus melanjutkan lagi perburuan mencari mushaf. Semoga Allah -yang maha mengatur semua urusan- memberikan ana kemudahan. Amin.
Kamis, 28 Juli 2011
Selasa, 26 Juli 2011
Faedah Harta
Berkata Ibnu Qudamah : “Harta secara dzatnya tidaklah tercela, bahkan ia sepatutnya dipuji. Sebab harta merupakan sarana untuk menggapai kemaslahatan agama dan dunia. Allah sendiri menyebutnya sebagai sebuah kebaikan, dan harta itulah yang menjadi penopang hidup manusia. Allah Ta’ala berfirman pada permulaan surah An-Nisa’ :
وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)…” (QS. An-Nisa’ : 5).
Abu Ishaq As-Suba’i berkata : Mereka (para salaf) menganggap bahwa kelapangan hidup (kekayaan) merupakan sarana untuk membantu merealisasikan ajaran agama.”
Sufyan berkata : “Harta di zaman kita sekarang ini adalah senjata orang-orang mukmin.”
Kesimpulannya : Harta itu ibarat seekor ular, di sana ada racunnya, tapi di sana juga ada obat penawarnya. Dengan demikian obat penawar itulah faedahnya, sementara hal-hal yang merusak itulah racunnya. Maka barangsiapa yang mengerti mana faedahnya, ia akan melindungi diri dari keganasan racunnya, serta dapat mengambil kebaikannya.”
(Mukhtasar Minhajul Qashidin, hal. 214, lewat perantaraan buku “Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah”, Syaikh ‘Abdul Malik al-Qosim, hal. 13-14).
وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)…” (QS. An-Nisa’ : 5).
Abu Ishaq As-Suba’i berkata : Mereka (para salaf) menganggap bahwa kelapangan hidup (kekayaan) merupakan sarana untuk membantu merealisasikan ajaran agama.”
Sufyan berkata : “Harta di zaman kita sekarang ini adalah senjata orang-orang mukmin.”
Kesimpulannya : Harta itu ibarat seekor ular, di sana ada racunnya, tapi di sana juga ada obat penawarnya. Dengan demikian obat penawar itulah faedahnya, sementara hal-hal yang merusak itulah racunnya. Maka barangsiapa yang mengerti mana faedahnya, ia akan melindungi diri dari keganasan racunnya, serta dapat mengambil kebaikannya.”
(Mukhtasar Minhajul Qashidin, hal. 214, lewat perantaraan buku “Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah”, Syaikh ‘Abdul Malik al-Qosim, hal. 13-14).
Kamis, 21 Juli 2011
Berhentilah Mencari Ridha Manusia
Diantara ‘keajaiban’ hati yang ana temukan adalah mudahnya ia berganti. Boleh jadi dalam 5 menit hati seseorang dapat berubah dari cinta menjadi benci, atau sebaliknya dari benci menjadi simpati. Maka barangsiapa yang tujuan dakwahnya selalu ingin mendapatkan hati (baca : ridha) manusia, maka ia telah memulai pekerjaan yang melelahkan bagi jiwanya.
Renungkanlah firman Allah Ta’ala :
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (QS. Al-Anfal : 63).
Allah telah menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan ridha seluruh manusia. Maka janganlah membebani diri untuk selalu mengejarnya, bahkan menjadikannya dalam dakwah sebagai tujuan utama. Sungguh, mencari ridha manusia adalah pekerjaan yang sia-sia.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata : “Keridhaan manusia adalah suatu yang sulit dicapai, maka hendaklah engkau memperbaiki dirimu dan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh, karena tiada jalan membuat seluruh manusia ridha terhadapmu.” (Hilyatul Auliya' : 9/122).
Renungkanlah firman Allah Ta’ala :
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (QS. Al-Anfal : 63).
Allah telah menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan ridha seluruh manusia. Maka janganlah membebani diri untuk selalu mengejarnya, bahkan menjadikannya dalam dakwah sebagai tujuan utama. Sungguh, mencari ridha manusia adalah pekerjaan yang sia-sia.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata : “Keridhaan manusia adalah suatu yang sulit dicapai, maka hendaklah engkau memperbaiki dirimu dan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh, karena tiada jalan membuat seluruh manusia ridha terhadapmu.” (Hilyatul Auliya' : 9/122).
Rabu, 20 Juli 2011
Musafir
تمر بنا الأيام تترى وإنما
نساق إلى الآجال والعين تنظر
فلا عائد ذاك الشباب الذي مضى
ولا زائل هذا المشيب المكدر
“Hari-hari berlalu kepada kita semua silih berganti;
Kita hanyalah digiring kepada ajal sedangkan mata melihatnya sendiri;
Masa muda yang telah berlalu tidak akan pernah kembali;
Dan uban yang telah keruh tidak akan pernah pergi.”
(Syadzaratudz Dzahab : 6/231).
نساق إلى الآجال والعين تنظر
فلا عائد ذاك الشباب الذي مضى
ولا زائل هذا المشيب المكدر
“Hari-hari berlalu kepada kita semua silih berganti;
Kita hanyalah digiring kepada ajal sedangkan mata melihatnya sendiri;
Masa muda yang telah berlalu tidak akan pernah kembali;
Dan uban yang telah keruh tidak akan pernah pergi.”
(Syadzaratudz Dzahab : 6/231).
Kamis, 14 Juli 2011
Anak Tetangga
Namanya Dayat. Ia adalah anak tetangga sebelah rumah ana. Usianya baru sekitar 8 tahun dan sekarang belajar di sekolah penghafal (tahfiz) Al-Qur’an.
Ana pernah bertanya kepadanya apa cita-citanya? Ia menjawab : “Saya ingin menjadi Ustadz!”. Ana gembira mendengarnya, karena cita-cita semacam itu jarang kita dengar dari anak-anak pada zaman sekarang.
Inti cerita yang ingin ana sampaikan adalah bekalilah anak sedini mungkin dengan pendidikan agama yang kuat. Asas agama yang kuat pada masa kanak-kanak akan membentuk pondasi keimanan dan pengetahuan yang kokoh, sebagai bekal bagi mereka untuk melangkah pada fase selanjutnya. Bahkan tak jarang, 'bonusnya' adalah mendapatkan kemuliaan di waktu masih muda belia.
Lihatlah Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H). Beliau telah hafal Al-Qur’an ketika baru berumur 4 tahun. Ketika umur 7 tahun beliau telah menulis (meriwayatkan) hadits. Dalam kitab Al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah diceritakan Sufyan bin ‘Uyainah ketika umur 10 tahun sudah duduk bersama para ulama di majelis-majelis ilmu. Sehingga kalau ia masuk sebuah majelis ilmu, maka para hadirin akan berkata: “Luaskan tempat untuk Syaikh kecil!”
Semua itu berkat ilmu yang dipelajari sejak dini. Maka kemuliaan juga cepat mendatangi.
Ana pernah bertanya kepadanya apa cita-citanya? Ia menjawab : “Saya ingin menjadi Ustadz!”. Ana gembira mendengarnya, karena cita-cita semacam itu jarang kita dengar dari anak-anak pada zaman sekarang.
Inti cerita yang ingin ana sampaikan adalah bekalilah anak sedini mungkin dengan pendidikan agama yang kuat. Asas agama yang kuat pada masa kanak-kanak akan membentuk pondasi keimanan dan pengetahuan yang kokoh, sebagai bekal bagi mereka untuk melangkah pada fase selanjutnya. Bahkan tak jarang, 'bonusnya' adalah mendapatkan kemuliaan di waktu masih muda belia.
Lihatlah Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H). Beliau telah hafal Al-Qur’an ketika baru berumur 4 tahun. Ketika umur 7 tahun beliau telah menulis (meriwayatkan) hadits. Dalam kitab Al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah diceritakan Sufyan bin ‘Uyainah ketika umur 10 tahun sudah duduk bersama para ulama di majelis-majelis ilmu. Sehingga kalau ia masuk sebuah majelis ilmu, maka para hadirin akan berkata: “Luaskan tempat untuk Syaikh kecil!”
Semua itu berkat ilmu yang dipelajari sejak dini. Maka kemuliaan juga cepat mendatangi.
Selasa, 05 Juli 2011
Sibuk
Beberapa waktu belakangan ini kegiatan membaca dan menulis ana agak 'terganggu'. Terganggu karena ana disibukkan dengan urusan dunia dan keluarga. Rasanya agak 'berduka' melihat tumpukan buku yang tidak sempat dibaca, dan sedih memikirkan sederetan ide yang terlintas tapi tidak dapat diwujudkan lewat tulisan.
Mungkin kendalanya ana belum menemukan pengaturan masa yang ideal antara ilmu dan urusan dunia. Atau mungkin juga karena ana kurang berani mengorbankan sedikit urusan dunia.
Dulu Abu Ahmad Nashr bin Ahmad as-Samarqandi berkata : “Ilmu tidak dapat didapatkan kecuali oleh orang yang mengosongkan kedainya, meruntuhkan kebunnya, meninggalkan teman-temannya, dan ketika keluarganya meninggal ia tidak bisa menyaksikan jenazahnya”. Ibnu Jama’ah mengomentari ucapan itu dengan berkata : “Semua ini sekalipun merupakan ungkapan mubalaghah (berlebihan) maksudnya adalah bahwa penuntut ilmu harus menggabungkan hati dan menyatukan pikiran.” (Tadzkirah as-Sami’ wal Mutakallim : 71).
Dulu Abu Ahmad Nashr bin Ahmad as-Samarqandi berkata : “Ilmu tidak dapat didapatkan kecuali oleh orang yang mengosongkan kedainya, meruntuhkan kebunnya, meninggalkan teman-temannya, dan ketika keluarganya meninggal ia tidak bisa menyaksikan jenazahnya”. Ibnu Jama’ah mengomentari ucapan itu dengan berkata : “Semua ini sekalipun merupakan ungkapan mubalaghah (berlebihan) maksudnya adalah bahwa penuntut ilmu harus menggabungkan hati dan menyatukan pikiran.” (Tadzkirah as-Sami’ wal Mutakallim : 71).
Wallahul Musta’an.
Langganan:
Postingan (Atom)