Diantara sebab datangnya pemahaman dan hafalan adalah membiasakan mengulang-ngulang suatu bacaan. Biasanya, membaca pertama kali hanya mendapatkan gambaran umum saja, apalagi jika cara membaca menggunakan metode speed reading yang sebenarnya lebih cocok untuk orang yang terburu-buru, dan bukan bertujuan mendapatkan pemahaman dan hafalan.
Ibnul Jauzi berkata : “Jalan untuk menguatkan hafalan adalah dengan memperbanyak mengulang bacaan, dan manusia itu bertingkat-tingkat dalam masalah hafalan. Diantara mereka ada yang cepat hafal walau sedikit mengulang. Ada yang tidak hafal kecuali setelah mengulanginya berkali-kali. Maka hendaklah seseorang mengulang-ulang bacaannya agar hafalannya kuat dan terus bersamanya”. (Al Hatstsu ‘ala Hifzhil ‘Ilmi : 21).
Memang, mengulang bacaan pada awalnya akan terasa berat karena biasanya sebagian orang sudah merasa puas membaca satu kali. Namun ketahuilah, hal tersebut tidak berlaku untuk subjek buku agama, yang mana faktor pemahaman dan hafalan sangat penting terutama jika menyangkut hukum halal haram.
Syaikh Ibnu Jibrin berkata : "Pada umumnya, barangsiapa yang menghafal dengan cepat tanpa mengulanginya maka ia akan cepat lupa. Dan sungguh kebanyakan penuntut ilmu zaman dahulu mencurahkan kesungguhan dalam mengulang bacaan. Sampai-sampai salah seorang dari mereka membaca satu kitab sebanyak 100 kali sehingga melekat dalam benaknya”. (Kaifa Tathlub al-‘Ilm : 31).
Berikut ini dapat kita lihat beberapa contoh kesungguhan para salaf dalam mengulang bacaan :
- Al Muzani (murid senior Imam Syafi’i) membaca kitab ar-Risalah sebanyak 50 kali. (Lihat mukaddimah dari pentahqiq ar-Risalah hlm. 4)
- Abdullah bin Muhammad, seorang ahli fikih dari Irak, menelaah kitab al-Mughni sebanyak 23 kali. (At-Tarikh al-Kabir : 3/82).
- Ismail bin Muhammad bin Ismail, dikatakan bahwa ia membaca kitab al-Muqni’ sebanyak 100 kali. (Dzail Thabaqat Hanabilah : 6/416).
- Al Kiya al-Harrasi berkata : “Dulu Madrasah Sarhanki di Naisabur ada bangunan yang memiliki banyak anak tangga. Jika aku hendak menghafal pelajaran, aku mengulang-ulang pelajaran pada setiap anak tangga, naik dan turun. Demikianlah aku melakukannya pada setiap pelajaran yang hendak kuhafalkan”. Dalam sebagian kitab disebutkan bahwa al-Kiya mengulang-ulang pelajaran sebanyak 7 kali pada setiap tangga di Madrasah Naisabur, padahal tangga tersebut memiliki 70 anak tangga. Artinya beliau mengulangi satu pelajaran sebanyak 490 kali ! (Thabaqat Syafi’iyah : 7/232).
Selain itu, mengulang bacaan juga bermanfaat untuk mengoreksi kesalahan. Sebagaimana dikatakan penyair :
كم من كتاب قد تصفحته
وقلت في نفسي (لقد) صححته
ثم إذا طالعته ثانيا
رأيت تصحيفا فأصلحته
“Betapa banyak kitab yang ku baca
Aku berkata dalam hati : ‘Semuanya sudah benar tiada salah’,
Lalu aku baca untuk kedua kalinya
Aku temui kesalahan maka aku memperbaikinya”.
(Min Buthunil Kutub : 1/26, Yusuf bin Muhammad al-Atiq).
Senin, 28 Juni 2010
Selasa, 22 Juni 2010
Waktu : Sesuatu Yang Paling Sering Disia-Siakan
Jika ada insan yang setiap hari menyesali dirinya karena telah banyak menyia-nyiakan waktu tanpa diisi dengan sesuatu yang berfaedah, maka analah orangnya. Rasanya banyak waktu terbuang sia-sia untuk kegiatan yang kurang bermanfaat. Jika mengingat kelemahan ini, sejujurnya menyebabkan diri sendiri agak “malu” menisbatkan diri sebagai pengikut generasi salafus shalih.
Generasi salaf yang salih adalah potret generasi yang sebagaimana pernah dikatakan oleh Al-Hasan rahimahullah :
أدركت أقواما كل أحدهم أشح على عمره منه على درهمه
“Aku telah bertemu dengan suatu kaum yang masing-masing dari mereka lebih bakhil dengan umurnya ketimbang dengan hartanya”. (Siyar A’lam An-Nubala : 14/225).
“Lebih bakhil dengan umurnya” maksudnya adalah mereka sangat memanfaatkan waktu dengan mengisinya untuk hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Mereka tidak akan membiarkan waktunya terbuang sia-sia, dan lebih senang menghabiskan waktu untuk menghitung amalannya daripada menghitung hartanya.
Sampai-sampai waktu untuk makan yang umumnya digemari manusia, bagi mereka adalah waktu yang “dibenci”, sebagaimana dinukil dari Al Khalil bin Ahmad (wafat 170 H) -guru dari Sibawaih, pakar bahasa Arab- beliau berkata : “Waktu yang paling aku benci adalah waktuku terbuang untuk makan”. (Al Hats ‘ala Thalab al-Ilmi : 87).
Senada juga dengan perkataan seorang ahli tafsir, Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H), beliau berkata : “Demi Allah, aku sangat menyayangkan terlewatnya kesempatan menyibukkan diri dengan ilmu pada saat makan. Sesungguhnya waktu amat sangat berharga”. (Uyun Al Anba’ fi Thabaqat Ath-Thiba’ : 2/34).
Bahkan ada ulama yang memilih makanan tertentu untuk menghemat waktu makannya. Seperti Abul Wafa’ bin ‘Aqil (wafat 513 H) -pengarang kitab Al Funun yang sebanyak 800 jilid- beliau bercerita : “Dengan segala kesungguhan, aku juga memendekkan waktu makanku, sampai-sampai aku lebih memilih memakan biskuit yang dilarutkan dengan air daripada memakan roti. Alasannya karena kedua makanan tersebut berbeda ketika dikunyah. Karena (dengan memakan biskuit yang telah dilarutkan air) dapat menghemat waktu, yang dapat dipergunakan untuk membaca dan menyalin berbagai hal bermanfaat yang belum sempat kuketahui”. (Dzail Thabaqatil Hanabilah : 1/177).
Nukilan di atas baru beberapa contoh ‘pelit’nya para salaf dalam waktu makan. Belum waktu-waktu lainnya, yang jika dinukilkan maka akan menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk menceritakannya.
Merekalah generasi teladan yang menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang bermanfaat. Tidak seperti manusia di zaman sekarang yang banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang sia-sia dan tidak berguna. Dan yang lebih menyedihkan, penyakit ini juga menimpa sebagian orang yang mengaku penuntut ilmu! Alangkah jauhnya perbedaan antara kita dengan mereka sebagaimana perkataan penyair yang berkata :
لا تعرضن لذ كرنا بذ كرهم
ليس الصحيح إذا مشى كالمقعد
“Janganlah engkau bandingkan kami dengan mereka,
Orang sehat tidak sama jalannya dengan orang sakit”
Semoga Allah Ta’ala selalu merahmati para salafus shalih kita..
Generasi salaf yang salih adalah potret generasi yang sebagaimana pernah dikatakan oleh Al-Hasan rahimahullah :
أدركت أقواما كل أحدهم أشح على عمره منه على درهمه
“Aku telah bertemu dengan suatu kaum yang masing-masing dari mereka lebih bakhil dengan umurnya ketimbang dengan hartanya”. (Siyar A’lam An-Nubala : 14/225).
“Lebih bakhil dengan umurnya” maksudnya adalah mereka sangat memanfaatkan waktu dengan mengisinya untuk hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Mereka tidak akan membiarkan waktunya terbuang sia-sia, dan lebih senang menghabiskan waktu untuk menghitung amalannya daripada menghitung hartanya.
Sampai-sampai waktu untuk makan yang umumnya digemari manusia, bagi mereka adalah waktu yang “dibenci”, sebagaimana dinukil dari Al Khalil bin Ahmad (wafat 170 H) -guru dari Sibawaih, pakar bahasa Arab- beliau berkata : “Waktu yang paling aku benci adalah waktuku terbuang untuk makan”. (Al Hats ‘ala Thalab al-Ilmi : 87).
Senada juga dengan perkataan seorang ahli tafsir, Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H), beliau berkata : “Demi Allah, aku sangat menyayangkan terlewatnya kesempatan menyibukkan diri dengan ilmu pada saat makan. Sesungguhnya waktu amat sangat berharga”. (Uyun Al Anba’ fi Thabaqat Ath-Thiba’ : 2/34).
Bahkan ada ulama yang memilih makanan tertentu untuk menghemat waktu makannya. Seperti Abul Wafa’ bin ‘Aqil (wafat 513 H) -pengarang kitab Al Funun yang sebanyak 800 jilid- beliau bercerita : “Dengan segala kesungguhan, aku juga memendekkan waktu makanku, sampai-sampai aku lebih memilih memakan biskuit yang dilarutkan dengan air daripada memakan roti. Alasannya karena kedua makanan tersebut berbeda ketika dikunyah. Karena (dengan memakan biskuit yang telah dilarutkan air) dapat menghemat waktu, yang dapat dipergunakan untuk membaca dan menyalin berbagai hal bermanfaat yang belum sempat kuketahui”. (Dzail Thabaqatil Hanabilah : 1/177).
Nukilan di atas baru beberapa contoh ‘pelit’nya para salaf dalam waktu makan. Belum waktu-waktu lainnya, yang jika dinukilkan maka akan menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk menceritakannya.
Merekalah generasi teladan yang menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang bermanfaat. Tidak seperti manusia di zaman sekarang yang banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang sia-sia dan tidak berguna. Dan yang lebih menyedihkan, penyakit ini juga menimpa sebagian orang yang mengaku penuntut ilmu! Alangkah jauhnya perbedaan antara kita dengan mereka sebagaimana perkataan penyair yang berkata :
لا تعرضن لذ كرنا بذ كرهم
ليس الصحيح إذا مشى كالمقعد
“Janganlah engkau bandingkan kami dengan mereka,
Orang sehat tidak sama jalannya dengan orang sakit”
Semoga Allah Ta’ala selalu merahmati para salafus shalih kita..
Kamis, 17 Juni 2010
Tiga Tahapan Ilmu
Ada kata hikmah yang menyatakan : “Ilmu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua ia akan tawadhu’. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya”.
Maksud kata hikmah tersebut adalah :
Pada tahapan pertama, seorang penuntut ilmu yang baru belajar biasanya akan sombong. Ia tidak menyadari keadaan dirinya dan mengira telah mencapai kedudukan yang mulia. Bahkan tak jarang ia melecehkan ulama yang lebih alim darinya. Padahal dirinyalah yang masih jahil dan masih banyak kekurangannya. Para ahli ilmu dapat mengetahui jejak orang-orang semacam ini seperti dikatakan Al Khathib Al Baghdadi :
العالم يعرف الجاهل، لأنه قد كان جاهلا، والجاهل لا يعرف العالم، لأنه لم يكن عالما
“Orang alim dapat mengenali orang jahil karena dia dulunya juga jahil. Sedangkan orang jahil tidak mengetahui orang alim karena dia belum pernah jadi orang alim”. (Al Faqih Wal Mutafaqqih : 2/365).
Pada tahapan kedua, ia akan tawadhu’ karena mulai merasakan bahwa ilmunya tidak seberapa dan ternyata masih banyak yang belum diketahuinya. Ia pun mulai sadar akan kekurangan dirinya, dan ini menuntunnya untuk lebih banyak belajar dan menimba ilmu yang berguna.
Pada tahapan ketiga, ia merasa tidak ada apa-apanya karena ternyata ilmu bagaikan samudera tak bertepi. Bahkan jika ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menuntut ilmu, maka yang ia dapatkan masih sedikit karena lautan ilmu tak terhingga luasnya. Sampai-sampai seorang penyair berkata :
ما حوى العلم جميعا أحد
لا ، ولو مارسه ألف سنة
“Tak ada seorangpun yang dapat menguasai semua ilmu yang ada,
Tak akan bisa, meskipun ia mempelajarinya selama seribu tahun lamanya”.
(Miftahus Sa’adah, Ahmad bin Musthafa : 1/6).
Memang demikianlah sebenarnya hakikat ilmu manusia, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala :
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al-Kahfi : 109).
Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir-nya menukil perkataan ar-Rabi’ ibnu Anas yang berkata : “Ayat tersebut menggambarkan perumpamaan ilmu seluruh manusia jika dibandingkan dengan ilmu Allah bagaikan setetes air dibanding seluruh samudera”.
Maksud kata hikmah tersebut adalah :
Pada tahapan pertama, seorang penuntut ilmu yang baru belajar biasanya akan sombong. Ia tidak menyadari keadaan dirinya dan mengira telah mencapai kedudukan yang mulia. Bahkan tak jarang ia melecehkan ulama yang lebih alim darinya. Padahal dirinyalah yang masih jahil dan masih banyak kekurangannya. Para ahli ilmu dapat mengetahui jejak orang-orang semacam ini seperti dikatakan Al Khathib Al Baghdadi :
العالم يعرف الجاهل، لأنه قد كان جاهلا، والجاهل لا يعرف العالم، لأنه لم يكن عالما
“Orang alim dapat mengenali orang jahil karena dia dulunya juga jahil. Sedangkan orang jahil tidak mengetahui orang alim karena dia belum pernah jadi orang alim”. (Al Faqih Wal Mutafaqqih : 2/365).
Pada tahapan kedua, ia akan tawadhu’ karena mulai merasakan bahwa ilmunya tidak seberapa dan ternyata masih banyak yang belum diketahuinya. Ia pun mulai sadar akan kekurangan dirinya, dan ini menuntunnya untuk lebih banyak belajar dan menimba ilmu yang berguna.
Pada tahapan ketiga, ia merasa tidak ada apa-apanya karena ternyata ilmu bagaikan samudera tak bertepi. Bahkan jika ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menuntut ilmu, maka yang ia dapatkan masih sedikit karena lautan ilmu tak terhingga luasnya. Sampai-sampai seorang penyair berkata :
ما حوى العلم جميعا أحد
لا ، ولو مارسه ألف سنة
“Tak ada seorangpun yang dapat menguasai semua ilmu yang ada,
Tak akan bisa, meskipun ia mempelajarinya selama seribu tahun lamanya”.
(Miftahus Sa’adah, Ahmad bin Musthafa : 1/6).
Memang demikianlah sebenarnya hakikat ilmu manusia, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala :
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al-Kahfi : 109).
Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir-nya menukil perkataan ar-Rabi’ ibnu Anas yang berkata : “Ayat tersebut menggambarkan perumpamaan ilmu seluruh manusia jika dibandingkan dengan ilmu Allah bagaikan setetes air dibanding seluruh samudera”.
Rabu, 16 Juni 2010
Jangan Perdulikan Celaan Manusia
Al Imam Ibnu Hazm (wafat 456 H) berkata :
“Cara yang paling mujarab untuk mendapatkan ketenangan jiwa adalah tidak memperdulikan ucapan manusia dan fokus memperhatikan ucapan Sang Pencipta. Barangsiapa yang menyangka bahwa dirinya selama di dunia akan selamat dari celaan manusia maka dia telah gila.
Seseorang yang mencermati dengan seksama -sekalipun pahit rasanya- akan mengetahui bahwa celaan manusia kepadanya justru lebih baik daripada pujian mereka. Karena pujian manusia dapat membuatnya lupa diri dan menimbulkan ‘ujub yang akan merusak keutamaannya.
Adapun celaan manusia, kalau memang benar maka hal itu dapat mencegahnya dari perbuatan tercela. Namun apabila celaannya tidak benar dan dia sabar, berarti dia mendapatkan keutamaan sabar dan akan mengambil pahala kebajikan orang yang mencelanya, sehingga dia akan menuai pahala kelak di hari kiamat dengan perbuatan yang tidak memberatkan pula”.
(Mudawah an-Nufus wa Tahdzib al-Akhlaq : 80).
“Cara yang paling mujarab untuk mendapatkan ketenangan jiwa adalah tidak memperdulikan ucapan manusia dan fokus memperhatikan ucapan Sang Pencipta. Barangsiapa yang menyangka bahwa dirinya selama di dunia akan selamat dari celaan manusia maka dia telah gila.
Seseorang yang mencermati dengan seksama -sekalipun pahit rasanya- akan mengetahui bahwa celaan manusia kepadanya justru lebih baik daripada pujian mereka. Karena pujian manusia dapat membuatnya lupa diri dan menimbulkan ‘ujub yang akan merusak keutamaannya.
Adapun celaan manusia, kalau memang benar maka hal itu dapat mencegahnya dari perbuatan tercela. Namun apabila celaannya tidak benar dan dia sabar, berarti dia mendapatkan keutamaan sabar dan akan mengambil pahala kebajikan orang yang mencelanya, sehingga dia akan menuai pahala kelak di hari kiamat dengan perbuatan yang tidak memberatkan pula”.
(Mudawah an-Nufus wa Tahdzib al-Akhlaq : 80).
Senin, 14 Juni 2010
Buah Ilmu Yang Bermanfaat Adalah Selalu Menjaga Lisan
Diantara buah dari ilmu yang bermanfaat adalah seseorang mampu menjaga lisannya. Menjaga lisan dari berkata-kata yang tiada berfaedah merupakan salah satu jalan keselamatan. Baik keselamatan di dunia maupun di akhirat.
Ibnu Buraidah berkata : Aku melihat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu memegang lidahnya sambil berkata : “Celaka kau lidah, ucapkanlah kebaikan, niscaya kau beruntung. Dan jangan kau ucapkan ucapan yang jelek, niscaya kau selamat. Jika tidak demikian, maka engkau akan menyesal”. Bahkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah bersumpah bahwa tidak ada di dunia ini sesuatu yang paling perlu dipenjara dalam waktu yang lama melebihi lisan. (Jami’ul Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab al-Hanbali : 241, 244).
Seorang penyair pernah berkata :
يموت الفتى من عثرة بلسانه
وليس يموت المرء من عثرة لرجل
فعثرته بلسانه تذهب رأسه
وعثرته برجله تبراء على مهل
“Karena tergelincir lidah seseorang bisa binasa
Seorang tak akan mati karena tergelincir kakinya
Akibat tersalah bicara dapat menyebabkan kepala tiada
Sedangkan tergelincir kaki akan sembuh tanpa luka”
Sampai-sampai dalam pembicaraan yang mubah sekalipun, ana memandang adalah lebih baik diam. Telah banyak kali ana alami, berawal dari pembicaraan yang mubah lambat-laun arah pembicaraan berubah kepada ghibah terutama jika kita berbicara dengan orang awam.
Dan itulah yang diisyaratkan Imam Nawawi rahimahullah, beliau berkata :
“Ketahuilah, setiap orang yang telah dewasa dan mukalaf seharusnya menjaga lisannya dari segala bentuk perkataan, yakni tidaklah ia berkata kecuali perkataan yang betul-betul mengandung manfaat. Jika manfaat yang terkandung sama antara ia diam maupun berbicara, maka tindakan yang sesuai sunnah adalah sebaiknya ia memilih diam. Karena terkadang ucapan yang mubah, lambat-laun akan mengantarkan untuk mengucapkan kata-kata yang haram atau makruh. Kejadian seperti itu banyak terjadi. Sedangkan selamat dari mengucapkan sesuatu yang haram merupakan harta yang tak ternilai.” (Al-Adzkar : 284).
Dan akhlak ‘sedikit bicara’ itulah yang dipraktekkan para salafus saleh. Bukanlah para salaf mengungguli kita dengan banyaknya perkataan, tapi justru sebaliknya seperti yang dikatakan Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya “Fadhlu Ilmi Salaf ‘ala Ilmi Khalaf” ketika menerangkan ciri ilmu yang bermanfaat, beliau berkata :
“Ciri ilmu yang bermanfaat diantaranya sedikit bicara, karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnya sedikitnya perkataan orang-orang terdahulu (salaf) bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara banyak, tetapi lebih disebabkan karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut kepada Allah Ta’ala”.
Ibnu Buraidah berkata : Aku melihat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu memegang lidahnya sambil berkata : “Celaka kau lidah, ucapkanlah kebaikan, niscaya kau beruntung. Dan jangan kau ucapkan ucapan yang jelek, niscaya kau selamat. Jika tidak demikian, maka engkau akan menyesal”. Bahkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah bersumpah bahwa tidak ada di dunia ini sesuatu yang paling perlu dipenjara dalam waktu yang lama melebihi lisan. (Jami’ul Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab al-Hanbali : 241, 244).
Seorang penyair pernah berkata :
يموت الفتى من عثرة بلسانه
وليس يموت المرء من عثرة لرجل
فعثرته بلسانه تذهب رأسه
وعثرته برجله تبراء على مهل
“Karena tergelincir lidah seseorang bisa binasa
Seorang tak akan mati karena tergelincir kakinya
Akibat tersalah bicara dapat menyebabkan kepala tiada
Sedangkan tergelincir kaki akan sembuh tanpa luka”
Sampai-sampai dalam pembicaraan yang mubah sekalipun, ana memandang adalah lebih baik diam. Telah banyak kali ana alami, berawal dari pembicaraan yang mubah lambat-laun arah pembicaraan berubah kepada ghibah terutama jika kita berbicara dengan orang awam.
Dan itulah yang diisyaratkan Imam Nawawi rahimahullah, beliau berkata :
“Ketahuilah, setiap orang yang telah dewasa dan mukalaf seharusnya menjaga lisannya dari segala bentuk perkataan, yakni tidaklah ia berkata kecuali perkataan yang betul-betul mengandung manfaat. Jika manfaat yang terkandung sama antara ia diam maupun berbicara, maka tindakan yang sesuai sunnah adalah sebaiknya ia memilih diam. Karena terkadang ucapan yang mubah, lambat-laun akan mengantarkan untuk mengucapkan kata-kata yang haram atau makruh. Kejadian seperti itu banyak terjadi. Sedangkan selamat dari mengucapkan sesuatu yang haram merupakan harta yang tak ternilai.” (Al-Adzkar : 284).
Dan akhlak ‘sedikit bicara’ itulah yang dipraktekkan para salafus saleh. Bukanlah para salaf mengungguli kita dengan banyaknya perkataan, tapi justru sebaliknya seperti yang dikatakan Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya “Fadhlu Ilmi Salaf ‘ala Ilmi Khalaf” ketika menerangkan ciri ilmu yang bermanfaat, beliau berkata :
“Ciri ilmu yang bermanfaat diantaranya sedikit bicara, karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnya sedikitnya perkataan orang-orang terdahulu (salaf) bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara banyak, tetapi lebih disebabkan karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut kepada Allah Ta’ala”.
Selasa, 08 Juni 2010
Apakah Suatu Akhlak Dapat Berubah Atau Tidak ?
Ketika membaca buku “Akhlak-Akhlak Buruk : Fenomena, Sebab-Sebab Terjadinya dan Cara Pengobatannya” karangan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, ana temukan satu pembahasan yang menarik pada halaman 99-103 yakni : Apakah Suatu Akhlak Dapat Berubah Atau Tidak ?
Berikut ini pembahasannya :
============================================
Apakah mungkin merubah akhlak ataukah tidak? Jawaban dari pertanyaan itu telah menjadi suatu yang diperselisihkan.
Pendapat pertama, akhlak adalah suatu yang statis (tetap), tidak berubah pada diri seorang manusia. Karena akhlak adalah suatu tabiat yang telah menjadi fitrah baginya, maka tidak mungkin untuk mengalami perubahan dan tidak dapat dibayangkan pemisahan manusia dengan akhlak.
Pendapat kedua, bolehnya akhlak yang telah ada mengalami perubahan, dan hal tersebut bukanlah suatu yang sulit atau mustahil. Berbeda dengan pendapat sebelumnya.
Pendapat yang kedua adalah pendapat yang tepat dan dapat dipastikan kebenarannya. Seandainya akhlak tidak dapat berubah, maka wasiat, nasehat dan pengajaran adab tidak ada gunanya.
Bahkan bagaimana mungkin hal itu diingkari sementara merubah akhlak perilaku hewan saja mungkin?! Burung elang yang dapat di alihkan dari sikap buasnya menjadi jinak, seekor anjing dari sikap buruknya ketika makan dialihkan hingga beradab dan tercegah dari sifat liarnya, seekor kuda dari sifat liar tak terkendali kepada sifat patuh dan dapat diatur. Dan kesemua itu adalah pada perubahan akhlak.
Apabila ini yang merupakan keadaan yang berlaku bagi hewan piaraan, maka manusia lebih pantas untuk merubah akhlaknya. Dan menggantikan tabiatnya hingga menjadi seimbang. Dan itu dapat tercapai dengan pelatihan jiwa, mengaturnya dan menuntunnya kepada akhlak yang terpuji.
Perkara ini juga didukung dengan dalil-dalil syara’ dan juga kenyataan yang ada.
Adapun dalil-dalil syara’ maka sangatlah banyak, yang menganjurkan untuk berhias dengan akhlak-akhlak yang mulia, dan menjauhkan diri dari akhlak-akhlak yang hina. Sekiranya perubahan akhlak tidak mungkin diubah, tidaklah mungkin hal tersebut diperintahkan.
Allah Ta’ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri” (QS. Al-A’la : 14).
Dan Allah Ta’ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy-Syams : 9).
Pada kedua ayat ini menunjukkan bahwa akhlak dan tabiat dapat berubah, dan itu dikarenakan akhlak yang baik merupakan suatu keberuntungan, dan keberuntungan dapat tercapai dengan pensucian diri.
Dan kenyataan yang terjadi dapat kita saksikan dan dengar, bahwa ada beberapa manusia yang sifatnya buruk, tergesa-gesa dan berakhlak jelek, apabila seseorang diantara mereka melatih dirinya, mengaturnya dan bersungguh-sungguh serta menempuh sebab-sebab yang akan membantunya untuk mencapai akhlak yang terpuji, maka akhlaknya dapat berubah dan menjadi baik.
Bukti paling baik akan hal itu adalah perkara para Shahabat radhiyallahu ‘anhum sebelum diutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak ubahnya dengan kaum Arab lainnya yang mempunyai sifat keras, kaku dan keras.
Ketika mereka masuk ke dalam Islam dan membaur dengan gemerlap keimanan di dalam hati mereka, tabiat mereka menjadi lembut dan akhlak mereka menjadi baik.
Bahkan mereka dijadikan contoh dalam sifat kepedulian sosial, keluhuran budi, kedermawanan, kelembutan dan akhlak-akhlak mulia lainnya.
============================================
Sekian disalin dan diringkas (dengan sedikit pengeditan), semoga bermanfaat bagi kita semua.
Keterangan buku :
Judul Asli : Suul Khuluq : Madzhoohiruhu, Asbabuhu, ‘Ilaajuhu.
Pengarang : Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd.
Judul Terjemahan : Akhlak-Akhlak Buruk : Fenomena, Sebab-Sebab Terjadinya dan Cara Pengobatannya.
Penerbit : Pustaka Darul Ilmi, Cetakan Pertama, Ramadhan 1427/September 2007.
Berikut ini pembahasannya :
============================================
Apakah mungkin merubah akhlak ataukah tidak? Jawaban dari pertanyaan itu telah menjadi suatu yang diperselisihkan.
Pendapat pertama, akhlak adalah suatu yang statis (tetap), tidak berubah pada diri seorang manusia. Karena akhlak adalah suatu tabiat yang telah menjadi fitrah baginya, maka tidak mungkin untuk mengalami perubahan dan tidak dapat dibayangkan pemisahan manusia dengan akhlak.
Pendapat kedua, bolehnya akhlak yang telah ada mengalami perubahan, dan hal tersebut bukanlah suatu yang sulit atau mustahil. Berbeda dengan pendapat sebelumnya.
Pendapat yang kedua adalah pendapat yang tepat dan dapat dipastikan kebenarannya. Seandainya akhlak tidak dapat berubah, maka wasiat, nasehat dan pengajaran adab tidak ada gunanya.
Bahkan bagaimana mungkin hal itu diingkari sementara merubah akhlak perilaku hewan saja mungkin?! Burung elang yang dapat di alihkan dari sikap buasnya menjadi jinak, seekor anjing dari sikap buruknya ketika makan dialihkan hingga beradab dan tercegah dari sifat liarnya, seekor kuda dari sifat liar tak terkendali kepada sifat patuh dan dapat diatur. Dan kesemua itu adalah pada perubahan akhlak.
Apabila ini yang merupakan keadaan yang berlaku bagi hewan piaraan, maka manusia lebih pantas untuk merubah akhlaknya. Dan menggantikan tabiatnya hingga menjadi seimbang. Dan itu dapat tercapai dengan pelatihan jiwa, mengaturnya dan menuntunnya kepada akhlak yang terpuji.
Perkara ini juga didukung dengan dalil-dalil syara’ dan juga kenyataan yang ada.
Adapun dalil-dalil syara’ maka sangatlah banyak, yang menganjurkan untuk berhias dengan akhlak-akhlak yang mulia, dan menjauhkan diri dari akhlak-akhlak yang hina. Sekiranya perubahan akhlak tidak mungkin diubah, tidaklah mungkin hal tersebut diperintahkan.
Allah Ta’ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri” (QS. Al-A’la : 14).
Dan Allah Ta’ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy-Syams : 9).
Pada kedua ayat ini menunjukkan bahwa akhlak dan tabiat dapat berubah, dan itu dikarenakan akhlak yang baik merupakan suatu keberuntungan, dan keberuntungan dapat tercapai dengan pensucian diri.
Dan kenyataan yang terjadi dapat kita saksikan dan dengar, bahwa ada beberapa manusia yang sifatnya buruk, tergesa-gesa dan berakhlak jelek, apabila seseorang diantara mereka melatih dirinya, mengaturnya dan bersungguh-sungguh serta menempuh sebab-sebab yang akan membantunya untuk mencapai akhlak yang terpuji, maka akhlaknya dapat berubah dan menjadi baik.
Bukti paling baik akan hal itu adalah perkara para Shahabat radhiyallahu ‘anhum sebelum diutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak ubahnya dengan kaum Arab lainnya yang mempunyai sifat keras, kaku dan keras.
Ketika mereka masuk ke dalam Islam dan membaur dengan gemerlap keimanan di dalam hati mereka, tabiat mereka menjadi lembut dan akhlak mereka menjadi baik.
Bahkan mereka dijadikan contoh dalam sifat kepedulian sosial, keluhuran budi, kedermawanan, kelembutan dan akhlak-akhlak mulia lainnya.
============================================
Sekian disalin dan diringkas (dengan sedikit pengeditan), semoga bermanfaat bagi kita semua.
Keterangan buku :
Judul Asli : Suul Khuluq : Madzhoohiruhu, Asbabuhu, ‘Ilaajuhu.
Pengarang : Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd.
Judul Terjemahan : Akhlak-Akhlak Buruk : Fenomena, Sebab-Sebab Terjadinya dan Cara Pengobatannya.
Penerbit : Pustaka Darul Ilmi, Cetakan Pertama, Ramadhan 1427/September 2007.
Sabtu, 05 Juni 2010
Kemuliaan Sebanding Dengan Pengorbanan
Jika kita membaca kisah-kisah ulama terdahulu dalam mencari ilmu, sungguh akan kita dapatkan cerita yang dapat membuat tercengang, takjub dan heran, sekaligus terkagum-kagum melihat betapa besar pengorbanan yang mereka lakukan.
Memang sudah sepantasnya jika mereka mendapat kemuliaan, karena kemuliaan hanya dapat diperoleh dengan pengorbanan. Baik pengorbanan harta, waktu, tenaga, maupun pikiran.
Inilah beberapa contohnya :
Dari Abdullah bin al-Qasim, ia berkata : “Karena menuntut ilmu, membuat Imam Malik membongkar rumahnya dan menjual kayunya. Setelah itu kemuliaan mendekatinya”. (Tartib al-Madarik : 1/130).
Sementara imam dalam ilmu jarh wa ta’dil, Yahya bin Ma’in (wafat 223 H), dikisahkan ketika ayahnya wafat ia mendapatkan warisan lebih dari 1.000.000 dirham. Semua harta warisan itu habis dipakainya untuk menuntut ilmu, dan tidak ada yang tersisa selain sandal yang dipakainya. (Al-Manhaj al-Ahmadi : 1/95).
Dan yang tak kurang 'ajaib', dikisahkan dalam kitab "Dzail Thabaqat Hanabilah" (1/319) pada biografi ulama bernama Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab disebutkan ia menjual rumahnya seharga 500 dinar, yang digunakannya untuk membeli sejumlah kitab!
Semua kisah diatas hanyalah beberapa contoh pengorbanan yang dilakukan ulama terdahulu dalam mencari ilmu. Jika ingin dibandingkan dengan penuntut ilmu zaman sekarang maka akan kita lihat perbedaan jarak bagaikan bumi dan langit.
Di zaman ini akan kita dapatkan mayoritas pemuda yang bermalas-malasan, yang bermimpi suatu saat mendapat kemuliaan tapi ia tidak meniti jalannya. Semangatnya lemah, harapannya rendah, serta cita-cita yang tinggi telah lama mati.
Ia berharap datang keajaiban, namun ia lupa bahwa ilmu itu tidak didapatkan dengan warisan, bukan pula dengan nasab dan kedudukan.
Bukankah dahulu pernah diingatkan :
من لم يذق ذل التعلم ساعة
تجرع ذل الجهل طول حياته
“Barangsiapa tidak pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu,
Niscaya dia akan mereguk hinanya kebodohan sepanjang hidup”
Saat ini, para pencari dunia bertebaran debunya di sekeliling kita. Sementara penuntut ilmu sejati hanya kita dapatkan kisahnya dalam lembaran-lembaran kitab. Adapun yang masih tersisa dari yang tersisa di zaman kita, semoga Allah Ta’ala selalu memelihara mereka..
Memang sudah sepantasnya jika mereka mendapat kemuliaan, karena kemuliaan hanya dapat diperoleh dengan pengorbanan. Baik pengorbanan harta, waktu, tenaga, maupun pikiran.
Inilah beberapa contohnya :
Dari Abdullah bin al-Qasim, ia berkata : “Karena menuntut ilmu, membuat Imam Malik membongkar rumahnya dan menjual kayunya. Setelah itu kemuliaan mendekatinya”. (Tartib al-Madarik : 1/130).
Sementara imam dalam ilmu jarh wa ta’dil, Yahya bin Ma’in (wafat 223 H), dikisahkan ketika ayahnya wafat ia mendapatkan warisan lebih dari 1.000.000 dirham. Semua harta warisan itu habis dipakainya untuk menuntut ilmu, dan tidak ada yang tersisa selain sandal yang dipakainya. (Al-Manhaj al-Ahmadi : 1/95).
Dan yang tak kurang 'ajaib', dikisahkan dalam kitab "Dzail Thabaqat Hanabilah" (1/319) pada biografi ulama bernama Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab disebutkan ia menjual rumahnya seharga 500 dinar, yang digunakannya untuk membeli sejumlah kitab!
Semua kisah diatas hanyalah beberapa contoh pengorbanan yang dilakukan ulama terdahulu dalam mencari ilmu. Jika ingin dibandingkan dengan penuntut ilmu zaman sekarang maka akan kita lihat perbedaan jarak bagaikan bumi dan langit.
Di zaman ini akan kita dapatkan mayoritas pemuda yang bermalas-malasan, yang bermimpi suatu saat mendapat kemuliaan tapi ia tidak meniti jalannya. Semangatnya lemah, harapannya rendah, serta cita-cita yang tinggi telah lama mati.
Ia berharap datang keajaiban, namun ia lupa bahwa ilmu itu tidak didapatkan dengan warisan, bukan pula dengan nasab dan kedudukan.
Bukankah dahulu pernah diingatkan :
من لم يذق ذل التعلم ساعة
تجرع ذل الجهل طول حياته
“Barangsiapa tidak pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu,
Niscaya dia akan mereguk hinanya kebodohan sepanjang hidup”
Saat ini, para pencari dunia bertebaran debunya di sekeliling kita. Sementara penuntut ilmu sejati hanya kita dapatkan kisahnya dalam lembaran-lembaran kitab. Adapun yang masih tersisa dari yang tersisa di zaman kita, semoga Allah Ta’ala selalu memelihara mereka..
Selasa, 01 Juni 2010
Tawadhu'
Tawadhu’ (rendah hati) mungkin kata yang sering kita dengar, namun ternyata sulit untuk diamalkan. Apatah lagi sudah merupakan fitrah manusia senang akan pujian. Maka, melakukan perbuatan yang berlawanan dengan fitrah manusia bukanlah perkara yang mudah dilakukan.
Sesungguhnya tawadhu’ mempunyai faidah yang mulia, yakni tidaklah seorang bertawadhu’, maka Allah Ta'ala akan mengangkat derajatnya. Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya” (HR. Muslim no. 2588).
Harap diperhatikan kalimat hadits “bersikap tawadhu’ karena Allah” artinya tawadhu’ yang dilakukannya adalah ikhlas karena Allah semata, bukan pura-pura tawadhu’ agar dikagumi manusia.
Ibnul Mubarak pernah mengingatkan :
"Jadilah engkau orang yang tawadhu' dan tidak menyukai popularitas. Namun janganlah engkau pura-pura tawadhu' sehingga engkau menjadi riya'. Sesungguhnya mengklaim diri sebagai orang yang tawadhu' justru mengeluarkanmu dari ketawadhu'an, karena dengan caramu tersebut engkau telah menarik pujian dan sanjungan manusia". (Shifatush Shafwah : IV /137)
Alangkah indahnya syair As-Safarini dalam Gidzaaul Al Baab (II/233), ia berkata :
وأحسن أخلاق الفتى وأتمها
تواضعه للناس وهو رفيع
“Sebaik-baik dan paling sempurnanya akhlak seorang pemuda
adalah kerendahan hatinya kepada manusia padahal kedudukannya mulia”.
Sesungguhnya tawadhu’ mempunyai faidah yang mulia, yakni tidaklah seorang bertawadhu’, maka Allah Ta'ala akan mengangkat derajatnya. Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat derajatnya” (HR. Muslim no. 2588).
Harap diperhatikan kalimat hadits “bersikap tawadhu’ karena Allah” artinya tawadhu’ yang dilakukannya adalah ikhlas karena Allah semata, bukan pura-pura tawadhu’ agar dikagumi manusia.
Ibnul Mubarak pernah mengingatkan :
"Jadilah engkau orang yang tawadhu' dan tidak menyukai popularitas. Namun janganlah engkau pura-pura tawadhu' sehingga engkau menjadi riya'. Sesungguhnya mengklaim diri sebagai orang yang tawadhu' justru mengeluarkanmu dari ketawadhu'an, karena dengan caramu tersebut engkau telah menarik pujian dan sanjungan manusia". (Shifatush Shafwah : IV /137)
Alangkah indahnya syair As-Safarini dalam Gidzaaul Al Baab (II/233), ia berkata :
وأحسن أخلاق الفتى وأتمها
تواضعه للناس وهو رفيع
“Sebaik-baik dan paling sempurnanya akhlak seorang pemuda
adalah kerendahan hatinya kepada manusia padahal kedudukannya mulia”.
Langganan:
Postingan (Atom)