Diantara sebab datangnya pemahaman dan hafalan adalah membiasakan mengulang-ngulang suatu bacaan. Biasanya, membaca pertama kali hanya mendapatkan gambaran umum saja, apalagi jika cara membaca menggunakan metode speed reading yang sebenarnya lebih cocok untuk orang yang terburu-buru, dan bukan bertujuan mendapatkan pemahaman dan hafalan.
Ibnul Jauzi berkata : “Jalan untuk menguatkan hafalan adalah dengan memperbanyak mengulang bacaan, dan manusia itu bertingkat-tingkat dalam masalah hafalan. Diantara mereka ada yang cepat hafal walau sedikit mengulang. Ada yang tidak hafal kecuali setelah mengulanginya berkali-kali. Maka hendaklah seseorang mengulang-ulang bacaannya agar hafalannya kuat dan terus bersamanya”. (Al Hatstsu ‘ala Hifzhil ‘Ilmi : 21).
Memang, mengulang bacaan pada awalnya akan terasa berat karena biasanya sebagian orang sudah merasa puas membaca satu kali. Namun ketahuilah, hal tersebut tidak berlaku untuk subjek buku agama, yang mana faktor pemahaman dan hafalan sangat penting terutama jika menyangkut hukum halal haram.
Syaikh Ibnu Jibrin berkata : "Pada umumnya, barangsiapa yang menghafal dengan cepat tanpa mengulanginya maka ia akan cepat lupa. Dan sungguh kebanyakan penuntut ilmu zaman dahulu mencurahkan kesungguhan dalam mengulang bacaan. Sampai-sampai salah seorang dari mereka membaca satu kitab sebanyak 100 kali sehingga melekat dalam benaknya”. (Kaifa Tathlub al-‘Ilm : 31).
Berikut ini dapat kita lihat beberapa contoh kesungguhan para salaf dalam mengulang bacaan :
- Al Muzani (murid senior Imam Syafi’i) membaca kitab ar-Risalah sebanyak 50 kali. (Lihat mukaddimah dari pentahqiq ar-Risalah hlm. 4)
- Abdullah bin Muhammad, seorang ahli fikih dari Irak, menelaah kitab al-Mughni sebanyak 23 kali. (At-Tarikh al-Kabir : 3/82).
- Ismail bin Muhammad bin Ismail, dikatakan bahwa ia membaca kitab al-Muqni’ sebanyak 100 kali. (Dzail Thabaqat Hanabilah : 6/416).
- Al Kiya al-Harrasi berkata : “Dulu Madrasah Sarhanki di Naisabur ada bangunan yang memiliki banyak anak tangga. Jika aku hendak menghafal pelajaran, aku mengulang-ulang pelajaran pada setiap anak tangga, naik dan turun. Demikianlah aku melakukannya pada setiap pelajaran yang hendak kuhafalkan”. Dalam sebagian kitab disebutkan bahwa al-Kiya mengulang-ulang pelajaran sebanyak 7 kali pada setiap tangga di Madrasah Naisabur, padahal tangga tersebut memiliki 70 anak tangga. Artinya beliau mengulangi satu pelajaran sebanyak 490 kali ! (Thabaqat Syafi’iyah : 7/232).
Selain itu, mengulang bacaan juga bermanfaat untuk mengoreksi kesalahan. Sebagaimana dikatakan penyair :
كم من كتاب قد تصفحته
وقلت في نفسي (لقد) صححته
ثم إذا طالعته ثانيا
رأيت تصحيفا فأصلحته
“Betapa banyak kitab yang ku baca
Aku berkata dalam hati : ‘Semuanya sudah benar tiada salah’,
Lalu aku baca untuk kedua kalinya
Aku temui kesalahan maka aku memperbaikinya”.
(Min Buthunil Kutub : 1/26, Yusuf bin Muhammad al-Atiq).
Senin, 28 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya suka tulisan ini. Inilah perbezaan generasi terdahulu dengan kita di zaman ini. Tiada satu saat pun mereka bazirkan tanpa mengingati Allah. Semoga Allah mengurniakan kita untuk mengikuti jejak langkah mereka.
BalasHapus