Dulu ada penyair yang mengatakan :
ليس الكريم الذي إن زل صاحبه
بث الذي كان من أسراره علما
إن الكريم الذي تبقى مودته
ويحفظ السر إن صافى وإن صرما
“Bukanlah orang yang mulia jika bersalah sahabatnya,
Dia lalu menyebarkan rahasia sahabatnya yang diketahuinya,
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya,
Dan tetap menjaga rahasianya walaupun persahabatannya porak poranda.”
Manusia jika marah dengan sahabatnya biasanya akan membuka aib dan rahasia sahabatnya. Padahal jika ia menyimpannya di dasar jiwa dan membiarkannya tetap disana, ia akan mampu melupakan sakit hatinya setelah sekian lama.
Karena tidaklah semua yang diketahui mesti diceritakan.
Dan tidaklah semua yang mesti diceritakan disampaikan kepada setiap orang.
Selasa, 25 Januari 2011
Senin, 24 Januari 2011
Berapakah Usiamu Wahai Kawan?
Berapakah usiamu wahai kawan?
Bukankah usiamu sudah masuk tiga puluhan
Tapi kulihat ilmumu hanya sedikit mengalami penambahan
Juga tak satu pun karya yang telah kau tuliskan
Berapakah usiamu wahai kawan?
Tidakkah kau malu dengan pendahulumu di zaman silam
Yang usianya pendek tapi penuh keberkahan
Mereka menjadi ulama dan menulis banyak karangan
Walaupun mati muda tapi jasanya tidak akan terlupakan
Berapakah usiamu wahai kawan?
Al-Laknawi usianya hanya 39 tahun tapi ia menulis kitab sebanyak ratusan*
Al-Hazimi umurnya berakhir 36 tahun dan ia mengarang kitab yang mengagumkan**
Al-Hakami meninggal dunia di usia 35 tahun tapi karangannya sungguh menakjubkan***
Sayyid Shalah bin Ahmad wafat di usia 29 tahun dan dia dipuji Asy-Syaukani dari Yaman****
Dan Ahmad bin Nasrullah Al-Bulqasi menjadi imam walaupun usianya hanya 28 tahunan*****
Berapakah usiamu wahai kawan?
Jangan kau habiskan usiamu dalam urusan keduniawian
Selalu hindarilah perkara-perkara yang menyibukkan
Tak lupa kuingatkan agar jangan larut dalam hal kesia-siaan
Karena waktu sangat berharga dan dunia berada dalam kefanaan
Maka segeralah berlari dan tinggalkan penyakit kemalasan
(P/s : Puisi ini ditulis untuk diri ana sendiri).
Keterangan :
* Imam al-Laknawi wafat pada tahun 1304 H dalam usia 39 tahun. Dikatakan ia mengarang lebih dari seratus kitab, ada yang mengatakan sebanyak 104, ada yang mengatakan 115. Kitab karangannya diantaranya : Al-Raf’u wa al-Takmil fi Jarh wa al-Ta’dil, al-Ajwibat al-Fadhilah ‘an al-As’ilah al-‘Asyarah al-Kamilah, Zhafr al-Amani fi Syarh al-Mukhtasar al-Mansub li al-Jurjani, Al-Atsar al-Marfu’ah fi al-Akhbar al-Maudhu’ah, dll.
** Imam al-Hazimi wafat pada tahun 584 H dalam usia 36 tahun sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala'. Ada juga riwayat mengatakan al-Hazimi wafat dalam usia 35 tahun. Karangan Imam al-Hazimi yang terkenal adalah Al-I’tibar fin Nasikh wal Mansukh minal Atsar.
*** Syaikh Hafizh al-Hakami, salah seorang ulama abad ini wafat pada tahun 1377 H dalam usia 35 tahun. Beliau penulis kitab A'lamus Sunnah al-Mansyuroh, Ma’arijul Qobul, Al-Jauharatul Faridah fi al-Aqidah, Al-Lu’lu al-Maknun fi Ahwalis Sanad wal Mutun, An-Nurul Faidh ila llmil Faraidh, Sullamul Wushul fi Ilmil Ushul, dan Al-Ushul fi Manhajil Ushul.
**** Sayyid Shalah bin Ahmad al-Yamani wafat pada tahun 1034 H. Beliau dipuji oleh Asy-Syaukani dalam kitabnya Al-Badr Ath-Thali'. Asy-Syaukani mengatakan bahwa walaupun usianya hanya 29 tahun tetapi dia memiliki karya-karya yang berfaedah dan menguasai pelbagai disiplin ilmu.
***** Ahmad bin Nasrullah Al-Bulqasi disebutkan oleh As-Sakhawi dalam kitabnya Ad-Dhau’ al-Lami’. Beliau wafat pada tahun 852 H dalam usia 28 tahun.
Bukankah usiamu sudah masuk tiga puluhan
Tapi kulihat ilmumu hanya sedikit mengalami penambahan
Juga tak satu pun karya yang telah kau tuliskan
Berapakah usiamu wahai kawan?
Tidakkah kau malu dengan pendahulumu di zaman silam
Yang usianya pendek tapi penuh keberkahan
Mereka menjadi ulama dan menulis banyak karangan
Walaupun mati muda tapi jasanya tidak akan terlupakan
Berapakah usiamu wahai kawan?
Al-Laknawi usianya hanya 39 tahun tapi ia menulis kitab sebanyak ratusan*
Al-Hazimi umurnya berakhir 36 tahun dan ia mengarang kitab yang mengagumkan**
Al-Hakami meninggal dunia di usia 35 tahun tapi karangannya sungguh menakjubkan***
Sayyid Shalah bin Ahmad wafat di usia 29 tahun dan dia dipuji Asy-Syaukani dari Yaman****
Dan Ahmad bin Nasrullah Al-Bulqasi menjadi imam walaupun usianya hanya 28 tahunan*****
Berapakah usiamu wahai kawan?
Jangan kau habiskan usiamu dalam urusan keduniawian
Selalu hindarilah perkara-perkara yang menyibukkan
Tak lupa kuingatkan agar jangan larut dalam hal kesia-siaan
Karena waktu sangat berharga dan dunia berada dalam kefanaan
Maka segeralah berlari dan tinggalkan penyakit kemalasan
(P/s : Puisi ini ditulis untuk diri ana sendiri).
Keterangan :
* Imam al-Laknawi wafat pada tahun 1304 H dalam usia 39 tahun. Dikatakan ia mengarang lebih dari seratus kitab, ada yang mengatakan sebanyak 104, ada yang mengatakan 115. Kitab karangannya diantaranya : Al-Raf’u wa al-Takmil fi Jarh wa al-Ta’dil, al-Ajwibat al-Fadhilah ‘an al-As’ilah al-‘Asyarah al-Kamilah, Zhafr al-Amani fi Syarh al-Mukhtasar al-Mansub li al-Jurjani, Al-Atsar al-Marfu’ah fi al-Akhbar al-Maudhu’ah, dll.
** Imam al-Hazimi wafat pada tahun 584 H dalam usia 36 tahun sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala'. Ada juga riwayat mengatakan al-Hazimi wafat dalam usia 35 tahun. Karangan Imam al-Hazimi yang terkenal adalah Al-I’tibar fin Nasikh wal Mansukh minal Atsar.
*** Syaikh Hafizh al-Hakami, salah seorang ulama abad ini wafat pada tahun 1377 H dalam usia 35 tahun. Beliau penulis kitab A'lamus Sunnah al-Mansyuroh, Ma’arijul Qobul, Al-Jauharatul Faridah fi al-Aqidah, Al-Lu’lu al-Maknun fi Ahwalis Sanad wal Mutun, An-Nurul Faidh ila llmil Faraidh, Sullamul Wushul fi Ilmil Ushul, dan Al-Ushul fi Manhajil Ushul.
**** Sayyid Shalah bin Ahmad al-Yamani wafat pada tahun 1034 H. Beliau dipuji oleh Asy-Syaukani dalam kitabnya Al-Badr Ath-Thali'. Asy-Syaukani mengatakan bahwa walaupun usianya hanya 29 tahun tetapi dia memiliki karya-karya yang berfaedah dan menguasai pelbagai disiplin ilmu.
***** Ahmad bin Nasrullah Al-Bulqasi disebutkan oleh As-Sakhawi dalam kitabnya Ad-Dhau’ al-Lami’. Beliau wafat pada tahun 852 H dalam usia 28 tahun.
Kamis, 20 Januari 2011
Mengapa Blog Ini Judulnya Faidah Ilmu?
Mengapa blog ini ana beri judul Faidah Ilmu? Itu karena kegemaran ana mengumpulkan faidah-faidah yang ana dapatkan selama menuntut ilmu, baik dari guru, teman maupun buku. Yang ana maksudkan dengan faidah (fawaid) adalah mutiara ilmu dan hal-hal penting yang diperoleh dari pelbagai cabang ilmu seperti tafsir, hadits, fiqih, akhlak, bahasa, syair, sejarah, kisah, fatwa dan lain sebagainya.
Kegiatan mengumpulkan faidah bukanlah hal yang baru. Para ulama sejak dulu membukukan faidah-faidah ilmiyah yang mereka dapatkan. Kitab-kitab khusus yang memuat faidah-faidah ilmiyah seperti kitab :
- Al-Funun karya Ibnu 'Aqil yang dikatakan berjumlah 800 jilid.
- Qaid al-Awabid karya Ad-Daghuli sebanyak 400 jilid.
- Majma’ al-Fawaid dan Manba’ al-Faraid serta at-Tadzkirah karya al-Maqrizi sebanyak 100 jilid (ada juga yang mengatakan 80 jilid).
- At-Tadzkirah karya Al-Kindi sebanyak 50 jilid.
- Tadzkirah as-Suyuthi dalam 50 jilid.
- Tadzkirah ash-Shafadi jumlahnya 30 jilid.
- ‘Uyun al-Awabid karya Ibnu an-Najjar dalam 6 jilid.
- Shaid al-Khatir karya Ibnul Jauzi.
- Al-Fawaid al-‘Awaniyyah karya Al-Wazir Ibnu Hubairah.
- Bada’i al-Fawaid dan Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim.
Sedangkan karya ulama kontemporer seperti :
- Al-Muntaqah min Fawaidil Fawaid oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
- Al-Muntaqah min Fathil Bari oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad.
- Al-Fawaidul Muntaqah min Syarh Shahih Muslim oleh Sulthan bin ‘Abdillah al-‘Umari.
Para ulama menasihatkan jika mendapatkan faidah segeralah untuk dicatat. Karena faidah ibarat mutiara yang mudah hilang dan terlupa. Sebagaimana yang dikatakan Imam an-Nawawi dalam Majmu’ (1/39) : “Janganlah seseorang meremehkan suatu ilmu (faidah) yang dia lihat atau dia dengar. Segeralah mencatatnya atau menelaahnya.”
Ibnul Abbar dalam Mu’jam Ashhab ash-Shadafi ketika menceritakan biografi Abul Qasim Ibnu Warad at-Tamimi (wafat 540 H), berkata : “Setiap buku yang ditunjukkan kepadanya maka pasti akan dibacanya dari awal sampai akhir. Jika dia mendapatkan suatu faidah, dia segera mencatatnya hingga menjadi sebuah pembahasan baru.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani dalam kitab Ad-Durar al-Kaminah (3/397) ketika menceritakan biografi Az-Zarkasyi -penulis kitab Al-Bahr al-Muhith yang terkenal- menceritakan bahwa Az-Zarkasyi sering bolak-balik ke tempat penjual buku untuk menelaah buku-buku. Jika dia mendapatkan suatu faidah yang mengagumkan maka dia akan mencatatnya dan setelah pulang dia akan membahasnya ke dalam tulisannya.
Diantara para ulama bahkan ada yang menyesal karena tidak mencatat faidah yang mereka dapatkan. Murid Ibnu Hajar Asqalani yakni As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir wa ad-Durar (2/611) menceritakan bahwa gurunya pernah menyesal tidak mencatat faidah yang beliau temukan dalam sebuah ayat Al-Qur’an.
Demikianlah keadaan para ulama kita yang mulia -semoga Allah merahmati mereka semua-. Semoga dengan mengetahui kisahnya dapat memotivasi jiwa-jiwa penuntut ilmu yang semakin melemah, menghidupkan semangat-semangat yang hampir mati, dan membakar gairah-gairah menelaah yang hampir padam, disebabkan banyaknya fitnah syahwat dan syubhat di zaman ini. Hanya kepada Allah kita mengadu dan memohon pertolongan.
Kegiatan mengumpulkan faidah bukanlah hal yang baru. Para ulama sejak dulu membukukan faidah-faidah ilmiyah yang mereka dapatkan. Kitab-kitab khusus yang memuat faidah-faidah ilmiyah seperti kitab :
- Al-Funun karya Ibnu 'Aqil yang dikatakan berjumlah 800 jilid.
- Qaid al-Awabid karya Ad-Daghuli sebanyak 400 jilid.
- Majma’ al-Fawaid dan Manba’ al-Faraid serta at-Tadzkirah karya al-Maqrizi sebanyak 100 jilid (ada juga yang mengatakan 80 jilid).
- At-Tadzkirah karya Al-Kindi sebanyak 50 jilid.
- Tadzkirah as-Suyuthi dalam 50 jilid.
- Tadzkirah ash-Shafadi jumlahnya 30 jilid.
- ‘Uyun al-Awabid karya Ibnu an-Najjar dalam 6 jilid.
- Shaid al-Khatir karya Ibnul Jauzi.
- Al-Fawaid al-‘Awaniyyah karya Al-Wazir Ibnu Hubairah.
- Bada’i al-Fawaid dan Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim.
Sedangkan karya ulama kontemporer seperti :
- Al-Muntaqah min Fawaidil Fawaid oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
- Al-Muntaqah min Fathil Bari oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad.
- Al-Fawaidul Muntaqah min Syarh Shahih Muslim oleh Sulthan bin ‘Abdillah al-‘Umari.
Para ulama menasihatkan jika mendapatkan faidah segeralah untuk dicatat. Karena faidah ibarat mutiara yang mudah hilang dan terlupa. Sebagaimana yang dikatakan Imam an-Nawawi dalam Majmu’ (1/39) : “Janganlah seseorang meremehkan suatu ilmu (faidah) yang dia lihat atau dia dengar. Segeralah mencatatnya atau menelaahnya.”
Ibnul Abbar dalam Mu’jam Ashhab ash-Shadafi ketika menceritakan biografi Abul Qasim Ibnu Warad at-Tamimi (wafat 540 H), berkata : “Setiap buku yang ditunjukkan kepadanya maka pasti akan dibacanya dari awal sampai akhir. Jika dia mendapatkan suatu faidah, dia segera mencatatnya hingga menjadi sebuah pembahasan baru.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani dalam kitab Ad-Durar al-Kaminah (3/397) ketika menceritakan biografi Az-Zarkasyi -penulis kitab Al-Bahr al-Muhith yang terkenal- menceritakan bahwa Az-Zarkasyi sering bolak-balik ke tempat penjual buku untuk menelaah buku-buku. Jika dia mendapatkan suatu faidah yang mengagumkan maka dia akan mencatatnya dan setelah pulang dia akan membahasnya ke dalam tulisannya.
Diantara para ulama bahkan ada yang menyesal karena tidak mencatat faidah yang mereka dapatkan. Murid Ibnu Hajar Asqalani yakni As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir wa ad-Durar (2/611) menceritakan bahwa gurunya pernah menyesal tidak mencatat faidah yang beliau temukan dalam sebuah ayat Al-Qur’an.
Demikianlah keadaan para ulama kita yang mulia -semoga Allah merahmati mereka semua-. Semoga dengan mengetahui kisahnya dapat memotivasi jiwa-jiwa penuntut ilmu yang semakin melemah, menghidupkan semangat-semangat yang hampir mati, dan membakar gairah-gairah menelaah yang hampir padam, disebabkan banyaknya fitnah syahwat dan syubhat di zaman ini. Hanya kepada Allah kita mengadu dan memohon pertolongan.
Senin, 17 Januari 2011
Tidak Ada Kekuasaan Abadi Di Dunia Ini
Beberapa hari terakhir ini, peristiwa di Tunisia menarik perhatian seluruh warga dunia. Seluruh media memberitakan tentang tumbangnya penguasa negeri itu yang telah berkuasa selama 23 tahun (mengingatkan ana dengan kejadian serupa di Indonesia tiga belas tahun yang lalu). Dari peristiwa tersebut, semoga para pemimpin-pemimpin negara lainnya dapat mengambil pelajaran bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi di dunia. Jika Allah berkehendak, maka jatuhlah pemimpin suatu negara dari jalan yang tidak mereka sangka-sangka, dan pergiliran kekuasaan antar manusia merupakan suatu kemestian adanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”. (QS. Ali Imran : 140).
Sungguh indah seorang penyair yang berkata :
لكل شىء إذا ماتم نقصان
فلا يغر بطيب العــيــش إنسانُ
هي الأمور كما شاهدتها دول
من سرهُ زَمنٌ ساءته أزمانُ
وهذه الدار لا تُبقي على أحد
ولا يدوم على حال لها شانُ
“Segala sesuatu akan turun jika telah sampai puncaknya,
Oleh karena itu janganlah manusia tertipu dengan keindahan dunia;
Hal ini sebagaimana yang telah disaksikan oleh setiap bangsa,
Barangsiapa yang hari ini gembira hari-hari berikutnya dia akan menderita;
Dunia ini tidak pernah kekal abadi bagi semua orang,
Dan manusia tidak akan tetap dalam satu keadaan.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”. (QS. Ali Imran : 140).
Sungguh indah seorang penyair yang berkata :
لكل شىء إذا ماتم نقصان
فلا يغر بطيب العــيــش إنسانُ
هي الأمور كما شاهدتها دول
من سرهُ زَمنٌ ساءته أزمانُ
وهذه الدار لا تُبقي على أحد
ولا يدوم على حال لها شانُ
“Segala sesuatu akan turun jika telah sampai puncaknya,
Oleh karena itu janganlah manusia tertipu dengan keindahan dunia;
Hal ini sebagaimana yang telah disaksikan oleh setiap bangsa,
Barangsiapa yang hari ini gembira hari-hari berikutnya dia akan menderita;
Dunia ini tidak pernah kekal abadi bagi semua orang,
Dan manusia tidak akan tetap dalam satu keadaan.”
Kamis, 13 Januari 2011
Orang Bertakwa Juga Terkadang Berbuat Dosa
Imam Ibnu Rajab ketika membahas ayat Al-Qur’an :
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (QS. Ali Imran : 135)
Kemudian Imam Ibnu Rajab berkata : “Ini menunjukkan orang-orang bertakwa terkadang juga mengerjakan dosa, yaitu perbuatan keji dan dosa-dosa kecil. Hanya saja mereka tidak terus menerus mengerjakannya. Mereka segera ingat kepada Allah setelah mengerjakan dosa, memohon ampunan kepada-Nya, dan bertaubat dari perbuatan dosa tersebut.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam : 1/412, Ibnu Rajab al-Hanbali).
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (QS. Ali Imran : 135)
Kemudian Imam Ibnu Rajab berkata : “Ini menunjukkan orang-orang bertakwa terkadang juga mengerjakan dosa, yaitu perbuatan keji dan dosa-dosa kecil. Hanya saja mereka tidak terus menerus mengerjakannya. Mereka segera ingat kepada Allah setelah mengerjakan dosa, memohon ampunan kepada-Nya, dan bertaubat dari perbuatan dosa tersebut.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam : 1/412, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Rabu, 12 Januari 2011
Keledai Yang Membawa Banyak Kitab
Seorang ulama pernah berkata bahwa seseorang yang hanya memiliki sebuah mushaf Al-Qur’an yang telah ia hayati dan amalkan isinya, lebih baik ketimbang orang yang memiliki ribuan jilid buku tapi tidak mengamalkannya. Orang yang tidak mengamalkan ilmunya bak orang Yahudi yang diceritakan dalam Al-Qur’an : “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS. Al-Jumu’ah : 5).
Lama ana memikirkan perkataan ulama tersebut, dan memang benar adanya. Milikilah buku beribu-ribu banyaknya, hafalkanlah pelbagai dalil-dalil agama, sebarkanlah ceramah dan tulisan dimana-mana. Semua itu sia-sia belaka jika amalan tidak tampak di mata.
Lama ana memikirkan perkataan ulama tersebut, dan memang benar adanya. Milikilah buku beribu-ribu banyaknya, hafalkanlah pelbagai dalil-dalil agama, sebarkanlah ceramah dan tulisan dimana-mana. Semua itu sia-sia belaka jika amalan tidak tampak di mata.
Selasa, 11 Januari 2011
Harun ar-Rasyid : Khalifah Yang Berhati Lembut
Ketika khalifah Harun ar-Rasyid selesai membangun salah satu istana yang megah, ia mengundang seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah datang ke istananya untuk membacakan syair-syairnya yang indah. Maka Abul ‘Atahiyah membacakan sebuah syair :
عش ما بدا لك سـالما
في ظل شاهقة القصور
تسعى عليك بما اشتهيت
لدى الرواح إلى البكور
فإذا النفوس تقعقعت
عن ضيق حشرجة الصدور
فهناك تعلــم مـوقنــا
ما كنت إلا في غرور
“Hiduplah sesuka hatimu
di bawah naungan megahnya istanamu;
Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;
Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”
Setelah mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu.
Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata :
لا تأمن الموتَ في طرف ولا نفس
ولو تمتعت بالحجاب والحرس
واعلم بأن سهام الموت صائبةٌ
لكل مدَّرعٍ منها ومترس
“Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari kematian
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”
Setelah mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.
Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah (14/28) menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya sangat mulia. Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji. Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah. Beliau mencintai ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”
Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi terasa ganjil bagi sebagian orang ketika itu. Namun ketika khalifah setelahnya yakni al-Makmun menyebarkan ajaran bahwa al-Qur’an adalah makhluk, mereka baru menyadari kebenaran kata-kata Fudhail bin 'Iyadh.
Semoga Allah merahmati khalifah Harun ar-Rasyid dan menempatkannya dalam surga-Nya yang luas.
(Diringkas dari majalah Al-Furqon edisi 5 th 8/1429 H, hal. 54-57, dengan sedikit perubahan dan penambahan).
عش ما بدا لك سـالما
في ظل شاهقة القصور
تسعى عليك بما اشتهيت
لدى الرواح إلى البكور
فإذا النفوس تقعقعت
عن ضيق حشرجة الصدور
فهناك تعلــم مـوقنــا
ما كنت إلا في غرور
“Hiduplah sesuka hatimu
di bawah naungan megahnya istanamu;
Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;
Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”
Setelah mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu.
Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata :
لا تأمن الموتَ في طرف ولا نفس
ولو تمتعت بالحجاب والحرس
واعلم بأن سهام الموت صائبةٌ
لكل مدَّرعٍ منها ومترس
“Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari kematian
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”
Setelah mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.
Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah (14/28) menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya sangat mulia. Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji. Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah. Beliau mencintai ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”
Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi terasa ganjil bagi sebagian orang ketika itu. Namun ketika khalifah setelahnya yakni al-Makmun menyebarkan ajaran bahwa al-Qur’an adalah makhluk, mereka baru menyadari kebenaran kata-kata Fudhail bin 'Iyadh.
Semoga Allah merahmati khalifah Harun ar-Rasyid dan menempatkannya dalam surga-Nya yang luas.
(Diringkas dari majalah Al-Furqon edisi 5 th 8/1429 H, hal. 54-57, dengan sedikit perubahan dan penambahan).
Senin, 10 Januari 2011
Qiyas Yang Paling Buruk
Tahukah anda qiyas apakah yang paling buruk? Jawabannya adalah qiyas yang dilakukan Iblis seperti yang diceritakan dalam Al-Qur’an:
“Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis, "Aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raaf : 12).
Syaikh Muhammad bin Amin asy-Syinqithi berkata : “Iblis mengqiyaskan dirinya dengan asal usulnya yaitu api, lalu ia mengqiyaskan Adam dengan asal usulnya yaitu tanah, kemudian dari qiyas tersebut ia menganggap dirinya lebih mulia dibanding Adam. Iblis beralasan dengan qiyas padahal terdapat dalil yang tegas yakni perintah Allah yang memerintahkannya bersujud kepada Adam. Qiyas yang demikian menurut ulama ushul fiqih dinamakan qiyas yang rusak dan tidak pada tempatnya.” (Adhwa’ul Bayan : 1/33).
Itulah qiyas paling buruk yang pernah dilakukan makhluk-Nya. Yang menyedihkan, sebagian manusia meneruskan qiyas yang batil itu. Lihatlah sebagian manusia yang membangga-banggakan suku tertentu, bangsa tertentu, keturunan tertentu, warna kulit tertentu, nasab tertentu dll, bukankah artinya mereka juga meneruskan qiyas iblis tersebut?
Padahal telah ada dalil tegas yang menyatakan kemuliaan hanyalah berasal dari takwa, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa dari kalian”. (QS. Al-Hujurat: 13).
Sehingga walaupun seseorang merasa nasabnya mulia, maka tidak berfaedah nasabnya jika ia malas beramal. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak dapat mempercepatnya”. (HR. Muslim).
Berkata Imam Nawawi menjelaskan hadits tersebut : “Orang yang amalannya sedikit tidak dapat mencapai kedudukan orang yang banyak beramal. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya seseorang hanya mengandalkan nasab dan nama besar orang tuanya, lalu ia malas untuk beramal.” (Syarh Shahih Muslim : 17/22).
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاْ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
Syaikh Muhammad bin Amin asy-Syinqithi berkata : “Iblis mengqiyaskan dirinya dengan asal usulnya yaitu api, lalu ia mengqiyaskan Adam dengan asal usulnya yaitu tanah, kemudian dari qiyas tersebut ia menganggap dirinya lebih mulia dibanding Adam. Iblis beralasan dengan qiyas padahal terdapat dalil yang tegas yakni perintah Allah yang memerintahkannya bersujud kepada Adam. Qiyas yang demikian menurut ulama ushul fiqih dinamakan qiyas yang rusak dan tidak pada tempatnya.” (Adhwa’ul Bayan : 1/33).
Itulah qiyas paling buruk yang pernah dilakukan makhluk-Nya. Yang menyedihkan, sebagian manusia meneruskan qiyas yang batil itu. Lihatlah sebagian manusia yang membangga-banggakan suku tertentu, bangsa tertentu, keturunan tertentu, warna kulit tertentu, nasab tertentu dll, bukankah artinya mereka juga meneruskan qiyas iblis tersebut?
Padahal telah ada dalil tegas yang menyatakan kemuliaan hanyalah berasal dari takwa, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa dari kalian”. (QS. Al-Hujurat: 13).
Sehingga walaupun seseorang merasa nasabnya mulia, maka tidak berfaedah nasabnya jika ia malas beramal. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak dapat mempercepatnya”. (HR. Muslim).
Berkata Imam Nawawi menjelaskan hadits tersebut : “Orang yang amalannya sedikit tidak dapat mencapai kedudukan orang yang banyak beramal. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya seseorang hanya mengandalkan nasab dan nama besar orang tuanya, lalu ia malas untuk beramal.” (Syarh Shahih Muslim : 17/22).
Selasa, 04 Januari 2011
Adab Menasihati Manusia
Ana pernah membaca kisah seorang ustadz yang gemar menasihati manusia secara rahasia. Pernah suatu hari ketika shalat Jum’at beliau mendapatkan kesalahan dalam ceramah sang khatib. Maka setelah shalat, beliau menunggu sampai tinggal mereka berdua, baru beliau dengan lemah lembut menerangkan kesalahan sang khatib tadi. Hasilnya luar biasa, sang khatib sangat berterima kasih lalu menyalami ustadz dengan hangatnya menandakan beliau sangat menyukai dinasihati secara rahasia.
Demikianlah adab dalam menasihati manusia yakni menasihati secara rahasia dan tidak menasihati di hadapan orang ramai. Sebab tabiat umumnya manusia adalah tidak menyukai jika dinasihati secara terang-terangan di depan manusia lainnya. Beberapa ulama bahkan membahas secara khusus adab ini seperti Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala, Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, Imam Ibnu Rajab dalam kitab al-Farqu Baina Nashihati wat Ta’yir, Syaikh Abdul Aziz as-Sayyid Nada dalam Mausu’atul Adab al-Islamiyah, dan yang lainnya.
Adab ini penting untuk diketahui, karena ramai manusia yang gemar memberi nasihat secara terang-terangan. Padahal metode memberi nasihat seperti itu sulit untuk diterima, malah dapat mengundang kebencian antar sesama. Apatah lagi jika niatnya tidak murni karena berasal dari rasa dengki semata, sehingga yang dikatakan nasihat tak lain hanyalah upaya mencari-cari aib saja.
Alangkah indahnya perkataan Imam Syafi’i dalam salah satu bait syairnya :
تعمدني بنصحك في انفرادي
وجنبني النصيحة في الجماعة
فإن النصح بين الناس نوع
من التوبيخ لا أرضى استماعه
وإن خالفتني وعصيت قولي
فلا تجزع إذا لم تعط طاعه
“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri
dan jauhilah menasihatiku di tengah keramaian,
Sebab memberi nasihat di hadapan mereka berarti
penghinaan bagi diriku ini, yang aku tidak suka mendengarkannya,
Andai engkau tidak terima dan menolak saranku ini
maka janganlah engkau marah jika nasihatmu tidak aku turuti.”
Perhatikanlah syair Imam Syafi’i diatas. Imam Syafi’i bagaikan seorang psikolog yang paham akan karakter jiwa manusia dan mengajarkan kepada kita bagaimana metode yang benar dalam menasihati manusia.
Imam Syafi’i juga pernah berkata sebagaimana dinukil dalam muqaddimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1/31) : “Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia maka sungguh ia telah memberi nasihat dengan sebenarnya dan menghargainya. Sedangkan barangsiapa yang memberi nasihat secara terang-terangan dihadapan manusia, maka sungguh ia telah membongkar aib saudaranya dan merendahkannya.”
Demikianlah adab dalam menasihati manusia yakni menasihati secara rahasia dan tidak menasihati di hadapan orang ramai. Sebab tabiat umumnya manusia adalah tidak menyukai jika dinasihati secara terang-terangan di depan manusia lainnya. Beberapa ulama bahkan membahas secara khusus adab ini seperti Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala, Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, Imam Ibnu Rajab dalam kitab al-Farqu Baina Nashihati wat Ta’yir, Syaikh Abdul Aziz as-Sayyid Nada dalam Mausu’atul Adab al-Islamiyah, dan yang lainnya.
Adab ini penting untuk diketahui, karena ramai manusia yang gemar memberi nasihat secara terang-terangan. Padahal metode memberi nasihat seperti itu sulit untuk diterima, malah dapat mengundang kebencian antar sesama. Apatah lagi jika niatnya tidak murni karena berasal dari rasa dengki semata, sehingga yang dikatakan nasihat tak lain hanyalah upaya mencari-cari aib saja.
Alangkah indahnya perkataan Imam Syafi’i dalam salah satu bait syairnya :
تعمدني بنصحك في انفرادي
وجنبني النصيحة في الجماعة
فإن النصح بين الناس نوع
من التوبيخ لا أرضى استماعه
وإن خالفتني وعصيت قولي
فلا تجزع إذا لم تعط طاعه
“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri
dan jauhilah menasihatiku di tengah keramaian,
Sebab memberi nasihat di hadapan mereka berarti
penghinaan bagi diriku ini, yang aku tidak suka mendengarkannya,
Andai engkau tidak terima dan menolak saranku ini
maka janganlah engkau marah jika nasihatmu tidak aku turuti.”
Perhatikanlah syair Imam Syafi’i diatas. Imam Syafi’i bagaikan seorang psikolog yang paham akan karakter jiwa manusia dan mengajarkan kepada kita bagaimana metode yang benar dalam menasihati manusia.
Imam Syafi’i juga pernah berkata sebagaimana dinukil dalam muqaddimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1/31) : “Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia maka sungguh ia telah memberi nasihat dengan sebenarnya dan menghargainya. Sedangkan barangsiapa yang memberi nasihat secara terang-terangan dihadapan manusia, maka sungguh ia telah membongkar aib saudaranya dan merendahkannya.”
Langganan:
Postingan (Atom)