Selasa, 11 Januari 2011

Harun ar-Rasyid : Khalifah Yang Berhati Lembut

Ketika khalifah Harun ar-Rasyid selesai membangun salah satu istana yang megah, ia mengundang seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah datang ke istananya untuk membacakan syair-syairnya yang indah. Maka Abul ‘Atahiyah membacakan sebuah syair :

عش ما بدا لك سـالما
في ظل شاهقة القصور

تسعى عليك بما اشتهيت
لدى الرواح إلى البكور

فإذا النفوس تقعقعت
عن ضيق حشرجة الصدور

فهناك تعلــم مـوقنــا
ما كنت إلا في غرور

Hiduplah sesuka hatimu
di bawah naungan megahnya istanamu;

Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;

Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;

Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”

Setelah mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu.

Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata :

لا تأمن الموتَ في طرف ولا نفس
ولو تمتعت بالحجاب والحرس

واعلم بأن سهام الموت صائبةٌ
لكل مدَّرعٍ منها ومترس

Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari kematian
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;

Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”

Setelah mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.

Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.

Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah (14/28) menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya sangat mulia. Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji. Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah. Beliau mencintai ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”

Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi terasa ganjil bagi sebagian orang ketika itu. Namun ketika khalifah setelahnya yakni al-Makmun menyebarkan ajaran bahwa al-Qur’an adalah makhluk, mereka baru menyadari kebenaran kata-kata Fudhail bin 'Iyadh.

Semoga Allah merahmati khalifah Harun ar-Rasyid dan menempatkannya dalam surga-Nya yang luas.

(Diringkas dari majalah Al-Furqon edisi 5 th 8/1429 H, hal. 54-57, dengan sedikit perubahan dan penambahan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar