Ana terkadang senang memandangi semut yang bergerak mencari makanan. Jika telah menemukan makanan maka ia segera membawa makanan tersebut, walau makanan itu jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya. Terkadang sang semut dengan susah payah jatuh bangun membawa makanannya, namun dengan keuletan dan kesabaran akhirnya ia berhasil membawa makanan itu ke sarangnya.
Sungguh, kejadian seperti itu mungkin terlihat remeh dalam kehidupan sehari-hari. Tapi bagi yang mau sejenak memikirkan akan mendapatkan perumpamaan bahwasanya hanya dengan keuletan dan kesabaran, maka cita-cita tinggi -yang awalnya sulit ditempuh- akhirnya dapat dicapai.
Bahkan kita temukan dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala mensifati hamba-hamba-Nya yang mau merenungkan hikmah dibalik kejadian-kejadian di alam ini sebagai ulil albab (orang yang berakal). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ، الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Ada kisah ulama yang mendapatkan motivasi setelah melihat kejadian di alam sekitarnya :
Al-Khatib al-Baghdadi menceritakan dengan sanadnya sampai kepada al-Fadhl bin Sa’id, ia berkata :
“Dahulu ada seseorang yang menuntut ilmu. Lalu ia merasa tidak mampu mengikutinya, maka ia putuskan untuk berhenti saja. Ketika ia sedang berjalan dan melihat aliran air dari gunung yang menetes di atas batu, sehingga membuat batu itu cekung karena tetesan air, maka ia pun berkata : ‘Air ini meskipun lembut tapi mampu membuat batu yang keras menjadi cekung! Demi Allah, sungguh aku akan benar-benar menuntut ilmu’. Selanjutnya ia kembali menuntut ilmu dan akhirnya menjadi seorang ulama.”
(Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ : 2/262, al-Khatib al-Baghdadi. Kisah tersebut juga diceritakan oleh as-Suyuthi dalam al-Muzhhir fi Ulum al-Lughah : 2/303).
Demikianlah, semoga kejadian-kejadian di alam sekitar kita dapat direnungkan dan diambil pelajaran sehingga menjadi bahan motivasi dan inspirasi. Sungguh benar ucapan seorang penyair yang berkata:
ما راح يوم على حي ولا ابتكرا
إلا رأى عبرة فيها إن اعتبر
“Tidaklah pagi dan sore berlalu bagi orang yang bernyawa,
Melainkan ia akan melihat padanya pelajaran jika ia mau mengambilnya”.
Rabu, 28 Juli 2010
Minggu, 25 Juli 2010
Petaka Lisan : Ketika Ucapan Berbalik Kepada Pengucapnya
Dalam kehidupan sehari-hari amatlah mudah kita temukan manusia yang gemar melecehkan dan merendahkan orang lain. Terlebih jika seseorang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, harta, maupun agama, maka jadilah ia sasaran ejekan manusia.
Padahal melecehkan manusia adalah haram hukumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه
“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang dengan merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya”. (HR. Muslim).
Hendaknya setiap diri takut kepada Allah, yang mana Allah akan menimpakan bala’ (musibah) kepada lisan-lisan yang gemar menggunjing manusia, dan acapkali bala’ tersebut terjadi di dunia yakni dengan cara ucapan pelecahan tersebut berbalik kepada pengucapnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً باِلْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذلِكَ
“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian”. (HR. Bukhari).
Beberapa kisah berikut semoga dapat menjadi pelajaran :
- Ibnu Sirin berkata : “Aku pernah mengejek orang yang sedang mengalami kebangkrutan. Lalu justru aku yang ditimpa kebangkrutan”. Dalam riwayat lain beliau pernah mengatakan kepada seseorang : “Wahai orang yang bangkrut!”. Tak lama setelahnya beliau dihukum penjara karena bangkrut dan tidak dapat membayar hutang. (Tarikh Baghdad : 5/334, Al-Khatib al-Baghdadi; Siyar A’lam an-Nubala : 4/616, adz-Dzahabi; al-Adab asy-Syar’iyyah : 1/341, Ibnu Muflih).
- Diceritakan bahwa al-Kisa’i -seorang ahli nahwu dan qira’ah- bertemu dengan al-Yazidi -juga seorang ahli nahwu- di tempat khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ketika masuk waktu shalat ditunjuklah al-Kisa’i menjadi imam, dan beliau salah ketika membaca surah al-Kafirun. Setelah shalat al-Yazidi mengejeknya dan berkata: “Seorang qari kota Kufah salah dalam membaca surah al-Kafirun ?!”.
Beberapa waktu kemudian, al-Kisa’i bertemu kembali dengan al-Yazidi, dan ketika masuk waktu shalat ditunjuklah al-Yazidi menjadi imam. Ketika al-Yazidi menjadi imam, beliau salah dalam membaca surah al-Fatihah (!!). Setelah shalat al-Kisa’i berkata dalam bentuk untaian syair :
احفظ لسانك لا تقل فتبتلى
إن البلاء مو كل بالنطق
“Jagalah lisanmu jangan berkomentar, sebab engkau pun dapat ditimpa ujian;
Sesungguhnya bala’ itu dapat disebabkan oleh ucapan”.
(Thabaqat al-Mufassirin : 1/403, ad-Dawudi).
- Ada orang yang berkata : “Aku pernah mencela seseorang yang telah hilang sebagian giginya. Lalu gigiku pun lenyap semuanya!”. (Al-Adab asy-Syar’iyyah : 1/341, Ibnu Muflih).
Semoga kita dapat mengambil ibrah dari beberapa kisah tersebut. Terakhir, dengarlah nasihat dari Ibrahim an-Nakha’i, beliau berkata:
“Sesungguhnya aku mendapatkan jiwaku membisikkan kepadaku agar mengatakan sesuatu. Tidaklah ada yang mencegahku dari mengatakannya melainkan kekhawatiranku akan tertimpa seperti yang kuucapkan”. (Dzamm al-Baghyi : 56, Ibnu Abid Dunya).
Padahal melecehkan manusia adalah haram hukumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه
“Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang dengan merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya”. (HR. Muslim).
Hendaknya setiap diri takut kepada Allah, yang mana Allah akan menimpakan bala’ (musibah) kepada lisan-lisan yang gemar menggunjing manusia, dan acapkali bala’ tersebut terjadi di dunia yakni dengan cara ucapan pelecahan tersebut berbalik kepada pengucapnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً باِلْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذلِكَ
“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian”. (HR. Bukhari).
Beberapa kisah berikut semoga dapat menjadi pelajaran :
- Ibnu Sirin berkata : “Aku pernah mengejek orang yang sedang mengalami kebangkrutan. Lalu justru aku yang ditimpa kebangkrutan”. Dalam riwayat lain beliau pernah mengatakan kepada seseorang : “Wahai orang yang bangkrut!”. Tak lama setelahnya beliau dihukum penjara karena bangkrut dan tidak dapat membayar hutang. (Tarikh Baghdad : 5/334, Al-Khatib al-Baghdadi; Siyar A’lam an-Nubala : 4/616, adz-Dzahabi; al-Adab asy-Syar’iyyah : 1/341, Ibnu Muflih).
- Diceritakan bahwa al-Kisa’i -seorang ahli nahwu dan qira’ah- bertemu dengan al-Yazidi -juga seorang ahli nahwu- di tempat khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ketika masuk waktu shalat ditunjuklah al-Kisa’i menjadi imam, dan beliau salah ketika membaca surah al-Kafirun. Setelah shalat al-Yazidi mengejeknya dan berkata: “Seorang qari kota Kufah salah dalam membaca surah al-Kafirun ?!”.
Beberapa waktu kemudian, al-Kisa’i bertemu kembali dengan al-Yazidi, dan ketika masuk waktu shalat ditunjuklah al-Yazidi menjadi imam. Ketika al-Yazidi menjadi imam, beliau salah dalam membaca surah al-Fatihah (!!). Setelah shalat al-Kisa’i berkata dalam bentuk untaian syair :
احفظ لسانك لا تقل فتبتلى
إن البلاء مو كل بالنطق
“Jagalah lisanmu jangan berkomentar, sebab engkau pun dapat ditimpa ujian;
Sesungguhnya bala’ itu dapat disebabkan oleh ucapan”.
(Thabaqat al-Mufassirin : 1/403, ad-Dawudi).
- Ada orang yang berkata : “Aku pernah mencela seseorang yang telah hilang sebagian giginya. Lalu gigiku pun lenyap semuanya!”. (Al-Adab asy-Syar’iyyah : 1/341, Ibnu Muflih).
Semoga kita dapat mengambil ibrah dari beberapa kisah tersebut. Terakhir, dengarlah nasihat dari Ibrahim an-Nakha’i, beliau berkata:
“Sesungguhnya aku mendapatkan jiwaku membisikkan kepadaku agar mengatakan sesuatu. Tidaklah ada yang mencegahku dari mengatakannya melainkan kekhawatiranku akan tertimpa seperti yang kuucapkan”. (Dzamm al-Baghyi : 56, Ibnu Abid Dunya).
Rabu, 21 Juli 2010
Siapakah Thalibul ‘Ilmi (Penuntut Ilmu) ?
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali pernah ditanya : “Kapan seseorang dikatakan sebagai thalibul ‘ilmi (penuntut ilmu)?”
Maka beliau hafidzahullah menjawab :
“Seseorang disebut thalibul ‘ilmi apabila ia menuntut ilmu. Maka yang masih pemula dan yunior adalah thalibul ‘ilmi; yang sedang di tengah perjalanan adalah thalibul ‘ilmi; dan ulama senior yang sudah mujtahid pun pada hakikatnya adalah thalibul ‘ilmi.
Setiap orang yang berusaha dan sedang meniti jalan menuntut ilmu maka ia adalah thalibul ‘ilmi.
Thalibul ‘ilmi adalah gelar mulia. Karena ilmu adalah warisan para Nabi. Barangsiapa yang mencarinya maka ia telah mencari warisan yang paling berharga.
Dan menuntut ilmu itu tidak ada batasnya, bahkan setiap kali seseorang bertambah ‘alim maka ia akan melihat dirinya lebih banyak belum mengetahui dibanding apa yang telah ia ketahui.
Oleh karena itu, seorang thalibul ‘ilmi walaupun telah berusia tua, maka ia tidak akan pernah merasa cukup dari menuntut ilmu selamanya, dan ia masih terus membutuhkan tambahan ilmu, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً
“Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".” (QS. Thoha : 114).
(Sumber : Majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah edisi 52 vol.7 Th.1430 H, hal. 9-10 dengan diringkas).
Maka beliau hafidzahullah menjawab :
“Seseorang disebut thalibul ‘ilmi apabila ia menuntut ilmu. Maka yang masih pemula dan yunior adalah thalibul ‘ilmi; yang sedang di tengah perjalanan adalah thalibul ‘ilmi; dan ulama senior yang sudah mujtahid pun pada hakikatnya adalah thalibul ‘ilmi.
Setiap orang yang berusaha dan sedang meniti jalan menuntut ilmu maka ia adalah thalibul ‘ilmi.
Thalibul ‘ilmi adalah gelar mulia. Karena ilmu adalah warisan para Nabi. Barangsiapa yang mencarinya maka ia telah mencari warisan yang paling berharga.
Dan menuntut ilmu itu tidak ada batasnya, bahkan setiap kali seseorang bertambah ‘alim maka ia akan melihat dirinya lebih banyak belum mengetahui dibanding apa yang telah ia ketahui.
Oleh karena itu, seorang thalibul ‘ilmi walaupun telah berusia tua, maka ia tidak akan pernah merasa cukup dari menuntut ilmu selamanya, dan ia masih terus membutuhkan tambahan ilmu, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً
“Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".” (QS. Thoha : 114).
(Sumber : Majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah edisi 52 vol.7 Th.1430 H, hal. 9-10 dengan diringkas).
Senin, 19 Juli 2010
Larangan Mengingkari Janji
Setiap manusia selama hidupnya pasti pernah membuat janji dengan manusia lainnya. Masalahnya adalah adanya sebagian orang yang mudah membuat janji -karena mengganggapnya perkara remeh-, lalu setelah berjanji ia tidak menepatinya tanpa alasan (udzur) dan tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Padahal mengingkari janji merupakan kezaliman terhadap orang lain. ‘Ajaibnya’ penyakit ini tidak hanya menimpa orang-orang awam bahkan menimpa pula sebagian penuntut ilmu. La haula wala quwwata illa billah.
Berjanji adalah suatu perkara yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu”. (QS. Al Maidah : 1).
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“…dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabnya”. (QS. Al Israa’ : 34).
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran : 76).
Serta masih ada beberapa ayat lain yang menyebutkan keutamaan menepati janji.
Kebalikannya, mengingkari janji adalah salah satu ciri kaum yang diazab. Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat mereka :
وَمَا وَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”. (QS. Al A’raaf : 102).
Penutup para nabi, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga : apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah betapa tercelanya mengingkari janji.
Bercerminlah dari kisah dan perkataan para salaf :
Ibnu Abdi Rabbihi menceritakan kisahnya dengan seorang tabi’in terkemuka bernama Ibnu Sirin (wafat 110 H), ia mengisahkan :
“Suatu hari aku berjanji dengan Ibnu Sirin untuk membelikannya hewan kurban, namun aku lupa karena ada kesibukan dan baru ingat setelah itu. Maka aku mendatanginya ketika sudah lewat tengah hari. Ternyata Ibnu Sirin masih menungguku. Maka aku ucapkan salam, lalu ia mengangkat kepalanya dan berkata : “Akankah aku terima kesalahanmu?”. Aku katakan : “Aku disibukkan oleh sahabat-sahabatku, mereka menghalangiku untuk mendatangimu. Mereka mengatakan engkau (Ibnu Sirin) telah menunggumu lama, maka mungkin engkau telah pergi”. Ibnu Sirin kemudian berkata : “Seandainya engkau tidak datang sampai matahari terbenam, aku tidak akan beranjak dari tempat ini kecuali untuk shalat dan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak”. (Iltimas as-Sa’di fil Wafa bil Wa’di : 70-71, As-Sakhawi; dan Ash-Shamt : 459, Ibnu Abid Dunya).
Auf bin Nu’man radhiyallahu 'anhu pernah berkata : “Di zaman jahiliyah, seseorang lebih baik mati dalam keadaan kehausan daripada ia mengingkari janji”. (Adab al-Imla wal Istimla : 41, As-Sam’ani; dan Tajrid Shahabah : 429, Adz-Dzahabi).
Amr bin Harits berkata : “Di zaman salaf aku jumpai orang yang berjanji pasti ia memenuhinya. Tapi di zaman sekarang aku merasa lelah dengan orang yang berjanji tapi mengingkarinya”. (Uyun al-Akhbar : 3/145, Ibnu Qutaibah).
Sulaiman bin Dawud berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, apabila engkau berjanji maka janganlah engkau mengingkarinya. Karena mengingkari janji dapat mengubah rasa cinta menjadi rasa benci”. (Adab al-Imla wal Istimla : 41).
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sufyan al-Mustamli, dia berkata : Aku pernah bertanya kepada bapakmu -Ahmad bin Hanbal- : ‘Bagaimana engkau dapat mengetahui seseorang itu termasuk pendusta?’. Beliau menjawab : ‘Dari janji-janji mereka’.” (Ma’alim fi Thariq Thalab al-Ilmi : 164, Abdul Aziz as-Sadhan).
Ada sebuah syair terkenal mengatakan :
إذا قلت في شيء نعم فأتمه
فإن نعم دين على الحر واجب
وإلا فقل لا واسترح وأرح بها
لئلا يقول الناس : إنك كاذب
“Apabila engkau telah mengatakan ‘Ya’ maka tunaikanlah
Karena ucapan ‘Ya’ adalah hutang yang wajib dilunasi;
Kalau tidak mampu, katakanlah ‘Tidak’ dan istirahatlah
Supaya orang lain tidak mengatakan : ‘Engkau pendusta’”.
Padahal mengingkari janji merupakan kezaliman terhadap orang lain. ‘Ajaibnya’ penyakit ini tidak hanya menimpa orang-orang awam bahkan menimpa pula sebagian penuntut ilmu. La haula wala quwwata illa billah.
Berjanji adalah suatu perkara yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu”. (QS. Al Maidah : 1).
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“…dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabnya”. (QS. Al Israa’ : 34).
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran : 76).
Serta masih ada beberapa ayat lain yang menyebutkan keutamaan menepati janji.
Kebalikannya, mengingkari janji adalah salah satu ciri kaum yang diazab. Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat mereka :
وَمَا وَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ
“Dan kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”. (QS. Al A’raaf : 102).
Penutup para nabi, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga : apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikianlah betapa tercelanya mengingkari janji.
Bercerminlah dari kisah dan perkataan para salaf :
Ibnu Abdi Rabbihi menceritakan kisahnya dengan seorang tabi’in terkemuka bernama Ibnu Sirin (wafat 110 H), ia mengisahkan :
“Suatu hari aku berjanji dengan Ibnu Sirin untuk membelikannya hewan kurban, namun aku lupa karena ada kesibukan dan baru ingat setelah itu. Maka aku mendatanginya ketika sudah lewat tengah hari. Ternyata Ibnu Sirin masih menungguku. Maka aku ucapkan salam, lalu ia mengangkat kepalanya dan berkata : “Akankah aku terima kesalahanmu?”. Aku katakan : “Aku disibukkan oleh sahabat-sahabatku, mereka menghalangiku untuk mendatangimu. Mereka mengatakan engkau (Ibnu Sirin) telah menunggumu lama, maka mungkin engkau telah pergi”. Ibnu Sirin kemudian berkata : “Seandainya engkau tidak datang sampai matahari terbenam, aku tidak akan beranjak dari tempat ini kecuali untuk shalat dan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak”. (Iltimas as-Sa’di fil Wafa bil Wa’di : 70-71, As-Sakhawi; dan Ash-Shamt : 459, Ibnu Abid Dunya).
Auf bin Nu’man radhiyallahu 'anhu pernah berkata : “Di zaman jahiliyah, seseorang lebih baik mati dalam keadaan kehausan daripada ia mengingkari janji”. (Adab al-Imla wal Istimla : 41, As-Sam’ani; dan Tajrid Shahabah : 429, Adz-Dzahabi).
Amr bin Harits berkata : “Di zaman salaf aku jumpai orang yang berjanji pasti ia memenuhinya. Tapi di zaman sekarang aku merasa lelah dengan orang yang berjanji tapi mengingkarinya”. (Uyun al-Akhbar : 3/145, Ibnu Qutaibah).
Sulaiman bin Dawud berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, apabila engkau berjanji maka janganlah engkau mengingkarinya. Karena mengingkari janji dapat mengubah rasa cinta menjadi rasa benci”. (Adab al-Imla wal Istimla : 41).
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sufyan al-Mustamli, dia berkata : Aku pernah bertanya kepada bapakmu -Ahmad bin Hanbal- : ‘Bagaimana engkau dapat mengetahui seseorang itu termasuk pendusta?’. Beliau menjawab : ‘Dari janji-janji mereka’.” (Ma’alim fi Thariq Thalab al-Ilmi : 164, Abdul Aziz as-Sadhan).
Ada sebuah syair terkenal mengatakan :
إذا قلت في شيء نعم فأتمه
فإن نعم دين على الحر واجب
وإلا فقل لا واسترح وأرح بها
لئلا يقول الناس : إنك كاذب
“Apabila engkau telah mengatakan ‘Ya’ maka tunaikanlah
Karena ucapan ‘Ya’ adalah hutang yang wajib dilunasi;
Kalau tidak mampu, katakanlah ‘Tidak’ dan istirahatlah
Supaya orang lain tidak mengatakan : ‘Engkau pendusta’”.
Kamis, 15 Juli 2010
Keutamaan Sabar
Wahai saudaraku, sesungguhnya apabila kita membaca Al-Qur’an maka akan kita dapatkan banyak sekali ditemukan kata ‘sabar’, yang menunjukkan keutamaan dan kemuliaan orang-orang yang bersabar.
Bahkan Allah Ta’ala berjanji akan bersama orang-orang yang sabar. Bukankah manusia sungguh senang jika di dunia ditemani seorang sultan, raja, penguasa, atau orang-orang besar lainnya. Lalu bagaimana jika yang menemaninya adalah Robb semesta alam, Allah Subhanahu wa Ta'ala ? Tentu seorang mukmin semestinya amat sangat gembira.
Inilah beberapa janji Allah Ta’ala kepada orang yang sabar. Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 153).
“Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 249).
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Anfaal : 46).
“Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar kalau mereka mengetahui, (yaitu bagi) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal” (QS. An Nahl : 42).
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 155).
“Allah menyukai orang-orang yang sabar” (QS. Ali Imran : 146).
“Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS. Huud : 11).
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan” (QS. An Nahl : 96).
“Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (QS. An Nahl : 126).
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli, mereka semua termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al Anbiyaa : 85).
“Dan tidaklah diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar” (QS. Al Qashash : 80).
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” (QS. Fushilat : 35).
Dan masih banyak ayat-ayat yang lain.
Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H) dalam kitabnya Uddatush Shabirin menukil perkataan para salaf tentang keutamaan sabar :
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Kami mendapati keutamaan hidup dengan bersabar. Kalaulah sabar itu adalah seorang laki-laki maka tentulah ia sangat mulia”.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menuturkan :
“Ketahuilah, perumpamaan sabar dengan iman seperti kepala dengan badan. Jika kepalanya terpotong maka binasalah badannya”.
Berkata Al-Hasan : “Sabar adalah perbendaharaan surga yang tidak diberikan Allah kecuali bagi hamba yang mulia di sisi-Nya”.
(Uddatush Shabirin : 95, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah).
Bahkan Allah Ta’ala berjanji akan bersama orang-orang yang sabar. Bukankah manusia sungguh senang jika di dunia ditemani seorang sultan, raja, penguasa, atau orang-orang besar lainnya. Lalu bagaimana jika yang menemaninya adalah Robb semesta alam, Allah Subhanahu wa Ta'ala ? Tentu seorang mukmin semestinya amat sangat gembira.
Inilah beberapa janji Allah Ta’ala kepada orang yang sabar. Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 153).
“Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 249).
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al Anfaal : 46).
“Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar kalau mereka mengetahui, (yaitu bagi) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal” (QS. An Nahl : 42).
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah : 155).
“Allah menyukai orang-orang yang sabar” (QS. Ali Imran : 146).
“Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itu memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS. Huud : 11).
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan” (QS. An Nahl : 96).
“Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (QS. An Nahl : 126).
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli, mereka semua termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al Anbiyaa : 85).
“Dan tidaklah diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar” (QS. Al Qashash : 80).
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” (QS. Fushilat : 35).
Dan masih banyak ayat-ayat yang lain.
Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H) dalam kitabnya Uddatush Shabirin menukil perkataan para salaf tentang keutamaan sabar :
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Kami mendapati keutamaan hidup dengan bersabar. Kalaulah sabar itu adalah seorang laki-laki maka tentulah ia sangat mulia”.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menuturkan :
“Ketahuilah, perumpamaan sabar dengan iman seperti kepala dengan badan. Jika kepalanya terpotong maka binasalah badannya”.
Berkata Al-Hasan : “Sabar adalah perbendaharaan surga yang tidak diberikan Allah kecuali bagi hamba yang mulia di sisi-Nya”.
(Uddatush Shabirin : 95, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah).
Rabu, 14 Juli 2010
Kisah Ulama Dengan Air Zam-Zam
Diantara barokah dan keistimewaan air zam-zam adalah berkhasiat sesuai tujuan diminumnya. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ
“Air zam-zam bermanfaat sesuai dengan tujuan diminumnya”.
(HR. Ibnu Majah no. 3062, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1123).
Selain itu, air zam-zam juga berkhasiat sebagai makanan yang mengenyangkan, dan juga -dengan izin Allah- sebagai obat penyembuh dari penyakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ فِيهِ طَعَامٌ مِنَ الطُّعْمِ وَشِفَاءٌ مِنَ السُّقْمِ
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zam-zam. Air tersebut bisa menjadi makanan yang mengenyangkan dan berkhasiat sebagai obat dari penyakit”.
(HR. Ath-Thabrani : 12/98. Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 3317).
Dengan keberkahan dari air zam-zam yang telah ditetapkan oleh nash tersebut, menyebabkan para ulama ‘berlomba-lomba’ mengejar khasiat dari air zam-zam. Berikut ana nukilkan sebagian daripadanya :
- Anak dari Imam Ahmad yakni Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku melihat bapakku beberapa kali meminum air zam-zam dengan tujuan untuk memohon kesembuhan (dari penyakit) dan mengusapkan air itu di kedua tangan dan wajahnya”. (Al-Adab asy-Syar’iyyah : 3/97, Ibnu Muflih).
- Muhammad bin Ja’far pernah mendengar Imam Ibnu Khuzaimah ditanya : “Darimana engkau mendapat ilmu?”. Beliau menjawab : “Rasulullah telah bersabda : ‘Air zam-zam bermanfaat sesuai dengan tujuan diminumnya’, maka ketika aku meminumnya aku memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat”. (Siyar A’lam an-Nubala’ : 14/370).
- Imam al-Hakim pernah berkata : “Aku pernah meminum air zam-zam dan aku memohon kepada Allah agar memberkahiku dalam menulis kitab”. (Siyar A’lam an-Nubala’ : 17/171). Sungguh Allah Ta’ala mengabulkan permohonan beliau. Ketika beliau wafat, beliau banyak meninggalkan kitab-kitab yang dijadikan rujukan oleh ulama sesudahnya, seperti : Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Tarikh Naisabur, Kitab Muzzaki al-Akhbar, al-Madkhal ila ash-Shahih, Fadha’il asy-Syafi’i, dan masih banyak yang lain.
- Imam as-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibnu Hajar bercerita bahwa gurunya yakni al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani pernah meminum air zam-zam dengan tujuan agar dapat menyamai kedudukan Imam adz-Dzahabi. Imam as-Sakhawi mengisahkan : “Guruku menceritakan kepada kami bahwa ia pernah meminum air zam-zam ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 800 H atau 805 H –saya ragu– agar dapat mencapai derajat al-Hafizh adz-Dzahabi. Kemudian sekitar 20 tahun berikutnya ketika beliau menunaikan haji, beliau mendapatkan dirinya ingin memohon derajat yang lebih tinggi lagi. Maka beliau berharap kepada Allah agar dapat mencapainya”. Kemudian Imam as-Sakhawi berkata : “Sungguh Allah telah mengabulkan keinginan beliau”. (Al Jawahir wa ad-Durar : 78).
Kisah al-Hafizh Ibnu Hajar meminum air zam-zam untuk memohon derajat seperti Imam adz-Dzahabi juga terdapat dalam Thabaqat al-Huffadz karya Imam as-Suyuthi. As-Suyuthi lalu berkomentar : “Maka beliau telah mencapai derajat itu, bahkan melebihinya!”. (Thabaqat al-Huffadz : 552).
- Diceritakan dari Ibnu Asakir bahwa Imam al-Khatib al-Baghdadi pernah meminum air zam-zam untuk 3 keinginan. Pertama, dimudahkan menyusun Tarikh Baghdad. Kedua, diberi kesempatan mengajar di Masjid Jami’ al-Manshur. Ketiga, dikuburkan di sisi Bisyr al-Hafi. Kemudian perawi kisah tersebut berkata : “Dan semuanya telah dikabulkan”. (Al-Jawahir wa ad-Durar : 79).
- Imam Syafi’i pernah mengatakan : “Aku pernah meminum air zam-zam untuk 3 permohonan : Pertama, agar aku dijadikan pandai dalam memanah, maka permohonanku dikabulkan sehingga tidak ada sasaranku yang meleset; kedua agar aku dikaruniai ilmu, sehingga keadaanku seperti yang kalian lihat; dan ketiga agar aku dapat masuk surga. Aku berharap semua itu dapat tercapai”. (Al-Jawahir wa ad-Durar : 79).
- Imam Ibnul Qayyim berkata : “Sungguh aku dan selainku telah mencoba untuk memohon kesembuhan dengan meminum air zam-zam. Aku pernah mencoba (meminum air zam-zam) untuk menyembuhkan beberapa penyakit, lalu akupun sembuh dengan izin Allah”. (Zadul Ma’ad : 4/393).
-Abu Thayyib al-Fasi menceritakan bahwa Ahmad bin Abdullah asy-Syarifi pernah meminum air zam-zam dengan niat agar sembuh dari kebutaan, lalu Allah Ta’ala menyembuhkannya. (Al ‘Iqd ats-Tsamin fi Tarikh al-Balad al-Amin : 1/93, Abu Thayyib al-Fasi).
Demikianlah, sebenarnya masih ada beberapa kisah-kisah lainnya mengenai khasiat air zam-zam. Ana batasi dengan kisah-kisah diatas semoga telah mencukupi.
(Catatan : Tulisan ini banyak mengambil faedah dari pembahasan seputar Air Zam-Zam pada majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah edisi 45 vol.7 Th 1429 H, hal 26-37).
مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ
“Air zam-zam bermanfaat sesuai dengan tujuan diminumnya”.
(HR. Ibnu Majah no. 3062, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 1123).
Selain itu, air zam-zam juga berkhasiat sebagai makanan yang mengenyangkan, dan juga -dengan izin Allah- sebagai obat penyembuh dari penyakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ فِيهِ طَعَامٌ مِنَ الطُّعْمِ وَشِفَاءٌ مِنَ السُّقْمِ
“Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zam-zam. Air tersebut bisa menjadi makanan yang mengenyangkan dan berkhasiat sebagai obat dari penyakit”.
(HR. Ath-Thabrani : 12/98. Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 3317).
Dengan keberkahan dari air zam-zam yang telah ditetapkan oleh nash tersebut, menyebabkan para ulama ‘berlomba-lomba’ mengejar khasiat dari air zam-zam. Berikut ana nukilkan sebagian daripadanya :
- Anak dari Imam Ahmad yakni Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku melihat bapakku beberapa kali meminum air zam-zam dengan tujuan untuk memohon kesembuhan (dari penyakit) dan mengusapkan air itu di kedua tangan dan wajahnya”. (Al-Adab asy-Syar’iyyah : 3/97, Ibnu Muflih).
- Muhammad bin Ja’far pernah mendengar Imam Ibnu Khuzaimah ditanya : “Darimana engkau mendapat ilmu?”. Beliau menjawab : “Rasulullah telah bersabda : ‘Air zam-zam bermanfaat sesuai dengan tujuan diminumnya’, maka ketika aku meminumnya aku memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat”. (Siyar A’lam an-Nubala’ : 14/370).
- Imam al-Hakim pernah berkata : “Aku pernah meminum air zam-zam dan aku memohon kepada Allah agar memberkahiku dalam menulis kitab”. (Siyar A’lam an-Nubala’ : 17/171). Sungguh Allah Ta’ala mengabulkan permohonan beliau. Ketika beliau wafat, beliau banyak meninggalkan kitab-kitab yang dijadikan rujukan oleh ulama sesudahnya, seperti : Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Tarikh Naisabur, Kitab Muzzaki al-Akhbar, al-Madkhal ila ash-Shahih, Fadha’il asy-Syafi’i, dan masih banyak yang lain.
- Imam as-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Syaikh al-Islam Ibnu Hajar bercerita bahwa gurunya yakni al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani pernah meminum air zam-zam dengan tujuan agar dapat menyamai kedudukan Imam adz-Dzahabi. Imam as-Sakhawi mengisahkan : “Guruku menceritakan kepada kami bahwa ia pernah meminum air zam-zam ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 800 H atau 805 H –saya ragu– agar dapat mencapai derajat al-Hafizh adz-Dzahabi. Kemudian sekitar 20 tahun berikutnya ketika beliau menunaikan haji, beliau mendapatkan dirinya ingin memohon derajat yang lebih tinggi lagi. Maka beliau berharap kepada Allah agar dapat mencapainya”. Kemudian Imam as-Sakhawi berkata : “Sungguh Allah telah mengabulkan keinginan beliau”. (Al Jawahir wa ad-Durar : 78).
Kisah al-Hafizh Ibnu Hajar meminum air zam-zam untuk memohon derajat seperti Imam adz-Dzahabi juga terdapat dalam Thabaqat al-Huffadz karya Imam as-Suyuthi. As-Suyuthi lalu berkomentar : “Maka beliau telah mencapai derajat itu, bahkan melebihinya!”. (Thabaqat al-Huffadz : 552).
- Diceritakan dari Ibnu Asakir bahwa Imam al-Khatib al-Baghdadi pernah meminum air zam-zam untuk 3 keinginan. Pertama, dimudahkan menyusun Tarikh Baghdad. Kedua, diberi kesempatan mengajar di Masjid Jami’ al-Manshur. Ketiga, dikuburkan di sisi Bisyr al-Hafi. Kemudian perawi kisah tersebut berkata : “Dan semuanya telah dikabulkan”. (Al-Jawahir wa ad-Durar : 79).
- Imam Syafi’i pernah mengatakan : “Aku pernah meminum air zam-zam untuk 3 permohonan : Pertama, agar aku dijadikan pandai dalam memanah, maka permohonanku dikabulkan sehingga tidak ada sasaranku yang meleset; kedua agar aku dikaruniai ilmu, sehingga keadaanku seperti yang kalian lihat; dan ketiga agar aku dapat masuk surga. Aku berharap semua itu dapat tercapai”. (Al-Jawahir wa ad-Durar : 79).
- Imam Ibnul Qayyim berkata : “Sungguh aku dan selainku telah mencoba untuk memohon kesembuhan dengan meminum air zam-zam. Aku pernah mencoba (meminum air zam-zam) untuk menyembuhkan beberapa penyakit, lalu akupun sembuh dengan izin Allah”. (Zadul Ma’ad : 4/393).
-Abu Thayyib al-Fasi menceritakan bahwa Ahmad bin Abdullah asy-Syarifi pernah meminum air zam-zam dengan niat agar sembuh dari kebutaan, lalu Allah Ta’ala menyembuhkannya. (Al ‘Iqd ats-Tsamin fi Tarikh al-Balad al-Amin : 1/93, Abu Thayyib al-Fasi).
Demikianlah, sebenarnya masih ada beberapa kisah-kisah lainnya mengenai khasiat air zam-zam. Ana batasi dengan kisah-kisah diatas semoga telah mencukupi.
(Catatan : Tulisan ini banyak mengambil faedah dari pembahasan seputar Air Zam-Zam pada majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah edisi 45 vol.7 Th 1429 H, hal 26-37).
Selasa, 13 Juli 2010
Saudaraku, Ikhlaskah Engkau Menuntut Ilmu ?
Hisyam Ad-Dastuwa’i Al-Bashri mengatakan : “Demi Allah, aku tidak berani mengatakan sesungguhnya aku pergi suatu hari untuk belajar hadits hanya untuk Allah Ta’ala semata”.
Imam Adz-Dzahabi kemudian mengomentari perkataan tersebut :
“Demi Allah, demikian pula diriku. Dahulu generasi salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang pantas untuk diikuti. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu pada awalnya bukan karena Allah, namun mereka tersadar dan kembali ke jalan yang lurus berkat ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid dan lainnya : ‘Awalnya kami menuntut ilmu tanpa niat yang benar. Namun kemudian Allah membetulkan niat kami sesudah kami mendapat ilmu’. Sebagian ulama yang lain berkata : ‘Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah, namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah’.
Yang demikian adalah tidak mengapa. Karena pada akhirnya mereka menyebarkan ilmu dengan niat yang benar.
Ada pula kaum yang menuntut ilmu dengan niat yang rusak untuk mencari materi dunia dan agar mereka mendapat sanjungan manusia. Orang-orang semacam itu tidaklah mendapat cahaya dari ilmunya. Ilmu mereka juga tidak berfaedah membentuk amalannya.
Ada juga kaum yang memperoleh ilmu yang digunakannya untuk mendapatkan jabatan. Mereka biasanya berbuat zalim, tidak berpegang pada prinsip-prinsip keilmuan, dan turut melakukan perbuatan keji. Celaka, sungguh celaka, mereka bukanlah ulama.
Muncul pula generasi yang kurang ilmu dan amalnya. Mereka menisbatkan diri sebagai ahli ilmu, padahal hanya sedikit ilmu yang mereka kuasai. Lalu dengan modal ilmu yang tak seberapa itu mereka menganggap diri mereka ulama yang terhormat. Tak terlintas dalam benak mereka bahwa tujuan mencari ilmu sesungguhnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata”. (Siyar A’lam An-Nubala’ : 7/152-153).
Alangkah miripnya hari ini dengan hari kemarin.
Maka telitilah niatmu secara jujur wahai saudaraku. Kemudian pilihlah apakah engkau senang dikatakan alim di kalangan manusia, ataukah engkau lebih senang dikatakan alim di sisi Allah Ta’ala ?
Imam Adz-Dzahabi kemudian mengomentari perkataan tersebut :
“Demi Allah, demikian pula diriku. Dahulu generasi salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang pantas untuk diikuti. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu pada awalnya bukan karena Allah, namun mereka tersadar dan kembali ke jalan yang lurus berkat ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid dan lainnya : ‘Awalnya kami menuntut ilmu tanpa niat yang benar. Namun kemudian Allah membetulkan niat kami sesudah kami mendapat ilmu’. Sebagian ulama yang lain berkata : ‘Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah, namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah’.
Yang demikian adalah tidak mengapa. Karena pada akhirnya mereka menyebarkan ilmu dengan niat yang benar.
Ada pula kaum yang menuntut ilmu dengan niat yang rusak untuk mencari materi dunia dan agar mereka mendapat sanjungan manusia. Orang-orang semacam itu tidaklah mendapat cahaya dari ilmunya. Ilmu mereka juga tidak berfaedah membentuk amalannya.
Ada juga kaum yang memperoleh ilmu yang digunakannya untuk mendapatkan jabatan. Mereka biasanya berbuat zalim, tidak berpegang pada prinsip-prinsip keilmuan, dan turut melakukan perbuatan keji. Celaka, sungguh celaka, mereka bukanlah ulama.
Muncul pula generasi yang kurang ilmu dan amalnya. Mereka menisbatkan diri sebagai ahli ilmu, padahal hanya sedikit ilmu yang mereka kuasai. Lalu dengan modal ilmu yang tak seberapa itu mereka menganggap diri mereka ulama yang terhormat. Tak terlintas dalam benak mereka bahwa tujuan mencari ilmu sesungguhnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata”. (Siyar A’lam An-Nubala’ : 7/152-153).
Alangkah miripnya hari ini dengan hari kemarin.
Maka telitilah niatmu secara jujur wahai saudaraku. Kemudian pilihlah apakah engkau senang dikatakan alim di kalangan manusia, ataukah engkau lebih senang dikatakan alim di sisi Allah Ta’ala ?
Minggu, 11 Juli 2010
Faidah Membaca Biografi Ulama
Ibnu Khallikan (wafat 681 H) dalam mukaddimah kitabnya Wafayatul A’yan -yakni kitab tentang biografi para ulama yang mulia- berkata : “Aku ceritakan kisah sekelompok orang-orang mulia yang telah aku saksikan dan aku nukil kabar dari mereka, atau mereka yang sezaman denganku tetapi aku belum pernah bertemu dengan mereka, adalah agar orang yang datang setelahku dapat mengetahui keadaan mereka”. (Mukaddimah Wafayatul A’yan : 1/ 20).
Sesungguhnya membaca biografi ulama adalah pengobat jiwa. Padanya terdapat kesembuhan bagi mereka yang kehausan akan suri tauladan, dan padanya terdapat cahaya sebagai petunjuk jalan kebaikan. Tak lupa, mengetahui kehidupan para ulama berfungsi sebagai cermin yang akan memperlihatkan kelemahan diri yang nantinya sebagai bahan perbaikan.
Umar bin Khattab radhiyallahu anhu berkata : “Hendaklah kalian mendengar cerita-cerita tentang orang-orang yang memiliki keutamaan, karena hal itu termasuk dari kemuliaan dan padanya terdapat kedudukan dan kenikmatan bagi jiwa”. (‘Ainul Adab wa As-Siyasah : 158).
Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan dalam mukaddimah kitabnya Al Imam Ibnu Baz : Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar berkata :
“Para ahli ilmu menaruh perhatian besar terhadap biografi-biografi para ulama. Ada yang menulis kitab tentang biografi seorang imam saja, seperti Ibnu Ahmad Al-Makki serta Al-Kurdi ketika menulis manaqib (perilaku yang terpuji) Imam Abu Hanifah. Qadhi Isa Az-Zawawi menulis biografi Imam Malik bin Anas.
Al-Baihaqi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar Asqalani menulis secara khusus tentang biografi Imam Asy-Syafi’i. Sedangkan Ibnul Jauzi menulis manaqib Imam Ahmad.
Adapula sebagian ahli ilmu yang menempuh cara lain yakni mereka menulis biografi ulama berdasarkan thabaqah (tingkatan) ulama yang masa hidup, daerah, ilmu, atau madzhabnya yang sama. Seperti Ath-Thabaqatus Sunniyah fi Tarajimil Hanafiyah karya Taqiyuddin bin Abdul Qadir Ad-Darimi. Al-Jawahirul Madhiyyah fi Thabaatil Hanafiyah karya Al-Quraisy.
Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik li Ma’rifati A’lam Madzhabil Imam Malik karangan Al-Qadhi Iyadh.
Thabaqatusy Syafi’iyyatil Kubra karangan As-Subki, serta Thabaqatusy Syafi’iyyah karya Ibnu Hidayah Al-Husaini.
Thabaqatul Hanabilah oleh Al-Qadhi Abi Ya’la, dan Adz-Dzailu ‘ala Thabaqatil Hanabilah karangan Ibnu Rajab.
Ada juga penulisan berdasarkan disiplin ilmu tertentu seperti Thabaqatul Mufassirin, yang mana Ad-Dawudi dan As-Suyuthi telah menulisnya. Thabaqah para hafizh hadits, terdapat kitab Tadzkiratul Huffazh karangan Adz-Dzahabi. Adz-Dzahabi juga ada menulis thabaqah para qari (ahli pembaca Al-Qur’an) yakni Ma’rifatul Qura-il Kibar. Sedangkan thabaqah ahli nahwu, padanya terdapat karangan As-Suyuthi berjudul Bughyatul Wu’ah.
Adapula yang menulis secara khusus para ulama di daerah atau tempat tertentu, seperti Tarikh Baghdad karangan Al-Khatib Al-Baghdadi. Tarikh Dimasyqi oleh Ibnu ‘Asakir. Akhbar Ashfahan karangan Abu Nu’aim. Bughyatuth Thalab fi Tarikh Halab oleh Ibnul ‘Adim, dan Tarikh Irbil oleh Ibnul Mustaufi.”
Dan masih banyak lainnya.
Ali bin Abdurrahman bin Hudzail berkata : “Ketahuilah, bahwa membaca kisah-kisah dan sejarah-sejarah tentang orang yang memiliki keutamaan akan memberikan kesenangan dalam jiwa seseorang. Kisah-kisah tersebut akan melegakan hati serta mengisi kehampaan. Membentuk watak yang penuh semangat dilandasi kebaikan, serta menghilangkan rasa malas”. ('Ainul Adab wa As-Siyasah : 158).
Oleh karena itu wahai saudaraku, cobalah engkau membaca kisah-kisah para ulama, niscaya engkau akan mendapatkan penyejuk jiwa :
و من لم يجر ب ليس يعر ف قد ر ه
فجر ب تجد تصد يق ما ذكر نا ه
“Barangsiapa belum mencoba maka belum tahu hasilnya;
Maka cobalah, niscaya engkau akan mendapatkan bukti ucapan saya”. (Mandzumah ash-Shan’ani fil Hajj : 83).
Sesungguhnya membaca biografi ulama adalah pengobat jiwa. Padanya terdapat kesembuhan bagi mereka yang kehausan akan suri tauladan, dan padanya terdapat cahaya sebagai petunjuk jalan kebaikan. Tak lupa, mengetahui kehidupan para ulama berfungsi sebagai cermin yang akan memperlihatkan kelemahan diri yang nantinya sebagai bahan perbaikan.
Umar bin Khattab radhiyallahu anhu berkata : “Hendaklah kalian mendengar cerita-cerita tentang orang-orang yang memiliki keutamaan, karena hal itu termasuk dari kemuliaan dan padanya terdapat kedudukan dan kenikmatan bagi jiwa”. (‘Ainul Adab wa As-Siyasah : 158).
Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan dalam mukaddimah kitabnya Al Imam Ibnu Baz : Durus wa Mawaqif wa ‘Ibar berkata :
“Para ahli ilmu menaruh perhatian besar terhadap biografi-biografi para ulama. Ada yang menulis kitab tentang biografi seorang imam saja, seperti Ibnu Ahmad Al-Makki serta Al-Kurdi ketika menulis manaqib (perilaku yang terpuji) Imam Abu Hanifah. Qadhi Isa Az-Zawawi menulis biografi Imam Malik bin Anas.
Al-Baihaqi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar Asqalani menulis secara khusus tentang biografi Imam Asy-Syafi’i. Sedangkan Ibnul Jauzi menulis manaqib Imam Ahmad.
Adapula sebagian ahli ilmu yang menempuh cara lain yakni mereka menulis biografi ulama berdasarkan thabaqah (tingkatan) ulama yang masa hidup, daerah, ilmu, atau madzhabnya yang sama. Seperti Ath-Thabaqatus Sunniyah fi Tarajimil Hanafiyah karya Taqiyuddin bin Abdul Qadir Ad-Darimi. Al-Jawahirul Madhiyyah fi Thabaatil Hanafiyah karya Al-Quraisy.
Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik li Ma’rifati A’lam Madzhabil Imam Malik karangan Al-Qadhi Iyadh.
Thabaqatusy Syafi’iyyatil Kubra karangan As-Subki, serta Thabaqatusy Syafi’iyyah karya Ibnu Hidayah Al-Husaini.
Thabaqatul Hanabilah oleh Al-Qadhi Abi Ya’la, dan Adz-Dzailu ‘ala Thabaqatil Hanabilah karangan Ibnu Rajab.
Ada juga penulisan berdasarkan disiplin ilmu tertentu seperti Thabaqatul Mufassirin, yang mana Ad-Dawudi dan As-Suyuthi telah menulisnya. Thabaqah para hafizh hadits, terdapat kitab Tadzkiratul Huffazh karangan Adz-Dzahabi. Adz-Dzahabi juga ada menulis thabaqah para qari (ahli pembaca Al-Qur’an) yakni Ma’rifatul Qura-il Kibar. Sedangkan thabaqah ahli nahwu, padanya terdapat karangan As-Suyuthi berjudul Bughyatul Wu’ah.
Adapula yang menulis secara khusus para ulama di daerah atau tempat tertentu, seperti Tarikh Baghdad karangan Al-Khatib Al-Baghdadi. Tarikh Dimasyqi oleh Ibnu ‘Asakir. Akhbar Ashfahan karangan Abu Nu’aim. Bughyatuth Thalab fi Tarikh Halab oleh Ibnul ‘Adim, dan Tarikh Irbil oleh Ibnul Mustaufi.”
Dan masih banyak lainnya.
Ali bin Abdurrahman bin Hudzail berkata : “Ketahuilah, bahwa membaca kisah-kisah dan sejarah-sejarah tentang orang yang memiliki keutamaan akan memberikan kesenangan dalam jiwa seseorang. Kisah-kisah tersebut akan melegakan hati serta mengisi kehampaan. Membentuk watak yang penuh semangat dilandasi kebaikan, serta menghilangkan rasa malas”. ('Ainul Adab wa As-Siyasah : 158).
Oleh karena itu wahai saudaraku, cobalah engkau membaca kisah-kisah para ulama, niscaya engkau akan mendapatkan penyejuk jiwa :
و من لم يجر ب ليس يعر ف قد ر ه
فجر ب تجد تصد يق ما ذكر نا ه
“Barangsiapa belum mencoba maka belum tahu hasilnya;
Maka cobalah, niscaya engkau akan mendapatkan bukti ucapan saya”. (Mandzumah ash-Shan’ani fil Hajj : 83).
Selasa, 06 Juli 2010
Takutlah Dengan Hisab Di Hari Pembalasan !
Aku membuka dompetku dan mendapatkan hanya beberapa lembaran;
“Alhamdulillah dalam segala keadaan”, ucapku dengan penuh kejujuran;
Namun di hati ini terbersit juga rasa takut dan kekhawatiran;
Karena membayangkan nanti di hari kiamat apabila ditanyakan :
“Wahai Fulan, kemana hartamu yang telah kau belanjakan ?”
Demikianlah bagi yang selalu memikirkan masa setelah kehidupan;
Saat-saat hisab dan perhitungan kelak selalu menjadi pikiran;
Duhai, membelanjakan harta di jalan yang halal pun pasti akan mendapat pertanyaan;
Lalu jawaban apa yang akan diberikan oleh banyak insan
di zaman sekarang yang senang menghabiskan hartanya di jalan kemaksiatan ?
Dulu Al Hasan Al Bashri pernah diminta jawaban atas pertanyaan :
“Siapakah orang yang paling sengsara kelak di hari pembalasan ?”
Maka beliau menjawab : “Orang yang paling sengsara di hari pembalasan
adalah orang yang di dunia memperoleh kenikmatan,
namun ia gunakan untuk bermaksiat kepada Yang Maha Menciptakan”.*
Semoga Allah memberkahi seseorang yang pernah mengatakan :
فلو أنا إذا متنا تر كنا
لكان الموت راحة كل حي
و لكن إذا متنا بعثنا
و نسأل بعده عن كل شي
“Seandainya apabila kita mati kita dibiarkan;
Niscaya orang yang hidup merasa lega dengan kematian;
Tapi ternyata apabila kita mati kita akan dibangkitkan;
Dan setelah itu ditanya tentang segala sesuatu yang telah dilakukan”.**
Keterangan :
* Az-Zuhd, Al-Hasan Al-Bashri, cetakan Darul Hadis hal. 47.
** Ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sebagaimana dalam al-Mausu’ah Syi’riyyah hal. 461, sedangkan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah Wan Nihayah : 10/294 menisbatkan ucapan tersebut kepada Amir Ibnu Dulf.
“Alhamdulillah dalam segala keadaan”, ucapku dengan penuh kejujuran;
Namun di hati ini terbersit juga rasa takut dan kekhawatiran;
Karena membayangkan nanti di hari kiamat apabila ditanyakan :
“Wahai Fulan, kemana hartamu yang telah kau belanjakan ?”
Demikianlah bagi yang selalu memikirkan masa setelah kehidupan;
Saat-saat hisab dan perhitungan kelak selalu menjadi pikiran;
Duhai, membelanjakan harta di jalan yang halal pun pasti akan mendapat pertanyaan;
Lalu jawaban apa yang akan diberikan oleh banyak insan
di zaman sekarang yang senang menghabiskan hartanya di jalan kemaksiatan ?
Dulu Al Hasan Al Bashri pernah diminta jawaban atas pertanyaan :
“Siapakah orang yang paling sengsara kelak di hari pembalasan ?”
Maka beliau menjawab : “Orang yang paling sengsara di hari pembalasan
adalah orang yang di dunia memperoleh kenikmatan,
namun ia gunakan untuk bermaksiat kepada Yang Maha Menciptakan”.*
Semoga Allah memberkahi seseorang yang pernah mengatakan :
فلو أنا إذا متنا تر كنا
لكان الموت راحة كل حي
و لكن إذا متنا بعثنا
و نسأل بعده عن كل شي
“Seandainya apabila kita mati kita dibiarkan;
Niscaya orang yang hidup merasa lega dengan kematian;
Tapi ternyata apabila kita mati kita akan dibangkitkan;
Dan setelah itu ditanya tentang segala sesuatu yang telah dilakukan”.**
Keterangan :
* Az-Zuhd, Al-Hasan Al-Bashri, cetakan Darul Hadis hal. 47.
** Ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sebagaimana dalam al-Mausu’ah Syi’riyyah hal. 461, sedangkan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah Wan Nihayah : 10/294 menisbatkan ucapan tersebut kepada Amir Ibnu Dulf.
Kamis, 01 Juli 2010
Amal Saleh : Kunci Kebahagiaan di Dunia dan Akhirat
Al-Imam Ibnu Hazm berkata : “Aku berusaha meneliti sesuatu yang dicari oleh semua orang. Ternyata kudapatkan semua orang mencari : ketenangan hidup dan hilangnya kegelisahan”. (Mudawah an-Nufus : 76).
Demikianlah hakikat semua manusia. Mereka akan mencari ketenangan hidup di dunia. Bermacam-macam cara dilakukan untuk mendapatkannya. Ada yang mencarinya dengan membelanjakan sejumlah harta, ada juga yang mencari wanita untuk menghibur dirinya, ada pula yang mengira akan mendapatkannya pada kekuasaan dan tahta. Apakah mereka mendapatkannya ? Jawabannya : Tidak. Karena sesungguhnya ketenangan hidup hanya dapat diperoleh dengan amal saleh sahaja. Allah Ta’ala berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl : 97).
Imam Asy-Syaukani menjelaskan maksud ayat “kehidupan yang baik” adalah kebahagiaan hidup di dunia. Dan kebahagiaan di akhirat dijelaskan pada ayat selanjutnya : “Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Fathul Qadir : 3/297).
Imam Ibnul Qayyim berkata mengenai ayat tersebut : “Ini adalah berita gembira dari Yang Maha Benar. Dia memberitahu hamba-Nya bahwa sesungguhnya orang yang beramal saleh akan dihidupkan Allah dengan kehidupan yang baik menurut kadar amal dan imannya”.
Selanjutnya beliau berkata : “Maka Allah Ta’ala mengabarkan kebahagiaan orang yang berilmu dan beramal saleh. Di dunia dijamin hidupnya bahagia, dan di akhirat mendapatkan balasan yang lebih baik pula”. (Badai’ut Tafsir : 3/51).
Bahkan para raja pun mencari ketenangan hidup di dunia. Mereka sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Tapi ternyata kebahagiaan hanyalah milik hamba-hamba Allah yang beramal saleh semata.
Ibrahim bin Adham berkata : “Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kenikmatan hati kami, niscaya mereka akan merebutnya walaupun dengan menebas kami dengan pedang-pedang mereka”. (Hilyatul Auliya’ : 7/370).
Demikianlah hakikat semua manusia. Mereka akan mencari ketenangan hidup di dunia. Bermacam-macam cara dilakukan untuk mendapatkannya. Ada yang mencarinya dengan membelanjakan sejumlah harta, ada juga yang mencari wanita untuk menghibur dirinya, ada pula yang mengira akan mendapatkannya pada kekuasaan dan tahta. Apakah mereka mendapatkannya ? Jawabannya : Tidak. Karena sesungguhnya ketenangan hidup hanya dapat diperoleh dengan amal saleh sahaja. Allah Ta’ala berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl : 97).
Imam Asy-Syaukani menjelaskan maksud ayat “kehidupan yang baik” adalah kebahagiaan hidup di dunia. Dan kebahagiaan di akhirat dijelaskan pada ayat selanjutnya : “Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Fathul Qadir : 3/297).
Imam Ibnul Qayyim berkata mengenai ayat tersebut : “Ini adalah berita gembira dari Yang Maha Benar. Dia memberitahu hamba-Nya bahwa sesungguhnya orang yang beramal saleh akan dihidupkan Allah dengan kehidupan yang baik menurut kadar amal dan imannya”.
Selanjutnya beliau berkata : “Maka Allah Ta’ala mengabarkan kebahagiaan orang yang berilmu dan beramal saleh. Di dunia dijamin hidupnya bahagia, dan di akhirat mendapatkan balasan yang lebih baik pula”. (Badai’ut Tafsir : 3/51).
Bahkan para raja pun mencari ketenangan hidup di dunia. Mereka sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Tapi ternyata kebahagiaan hanyalah milik hamba-hamba Allah yang beramal saleh semata.
Ibrahim bin Adham berkata : “Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kenikmatan hati kami, niscaya mereka akan merebutnya walaupun dengan menebas kami dengan pedang-pedang mereka”. (Hilyatul Auliya’ : 7/370).
Langganan:
Postingan (Atom)