Hisyam Ad-Dastuwa’i Al-Bashri mengatakan : “Demi Allah, aku tidak berani mengatakan sesungguhnya aku pergi suatu hari untuk belajar hadits hanya untuk Allah Ta’ala semata”.
Imam Adz-Dzahabi kemudian mengomentari perkataan tersebut :
“Demi Allah, demikian pula diriku. Dahulu generasi salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka menjadi mulia dan menjadi imam yang pantas untuk diikuti. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu pada awalnya bukan karena Allah, namun mereka tersadar dan kembali ke jalan yang lurus berkat ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid dan lainnya : ‘Awalnya kami menuntut ilmu tanpa niat yang benar. Namun kemudian Allah membetulkan niat kami sesudah kami mendapat ilmu’. Sebagian ulama yang lain berkata : ‘Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah, namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah’.
Yang demikian adalah tidak mengapa. Karena pada akhirnya mereka menyebarkan ilmu dengan niat yang benar.
Ada pula kaum yang menuntut ilmu dengan niat yang rusak untuk mencari materi dunia dan agar mereka mendapat sanjungan manusia. Orang-orang semacam itu tidaklah mendapat cahaya dari ilmunya. Ilmu mereka juga tidak berfaedah membentuk amalannya.
Ada juga kaum yang memperoleh ilmu yang digunakannya untuk mendapatkan jabatan. Mereka biasanya berbuat zalim, tidak berpegang pada prinsip-prinsip keilmuan, dan turut melakukan perbuatan keji. Celaka, sungguh celaka, mereka bukanlah ulama.
Muncul pula generasi yang kurang ilmu dan amalnya. Mereka menisbatkan diri sebagai ahli ilmu, padahal hanya sedikit ilmu yang mereka kuasai. Lalu dengan modal ilmu yang tak seberapa itu mereka menganggap diri mereka ulama yang terhormat. Tak terlintas dalam benak mereka bahwa tujuan mencari ilmu sesungguhnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah semata”. (Siyar A’lam An-Nubala’ : 7/152-153).
Alangkah miripnya hari ini dengan hari kemarin.
Maka telitilah niatmu secara jujur wahai saudaraku. Kemudian pilihlah apakah engkau senang dikatakan alim di kalangan manusia, ataukah engkau lebih senang dikatakan alim di sisi Allah Ta’ala ?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Assalaamu 'Alaykum wa Rahmatullah!
BalasHapusTerima kasih atas nasihatnya akhi.
Adakah ada teladan para salaf dahulukala yg ter'paksa' mempelajari sesuatu tanpa rela?
Adakah para muslimah generasi salaf juga bertungkus lumus mengembara menuntut ilmu?
Apakah situasi yg layak digambarkan untuk seseorang yg menuntut ilmu semata2 kerna ingin menggembirakan hati ibu bapa?
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
BalasHapusSebelumnya mesti diketahui, bahwa tulisan dalam artikel ini jika merujuk kata “ilmu” maksudnya adalah ilmu agama, bukan ilmu dunia. Pembahasan ini ditulis karena ilmu agama yang dicari untuk mengejar dunia, disisi syara’ adalah tercela.
Jika telah memahami perbedaan ini, maka tentulah hukumnya juga berbeda.
Belajar ilmu dunia demi mengejar dunia (mendapatkan uang, jabatan dsb) maka tidak ada larangannya, terkecuali jika sampai menimbulkan perasaan sombong dari pemiliknya, maka ini tercela dari sisi sifat sombongnya, bukan dari sisi ilmunya.
Bahkan ilmu dunia (kedokteran, teknik, industri, dll) yang hukum asalnya mubah, dapat menjadi wajib kifayah jika ilmu tersebut sangat dibutuhkan oleh umat Islam. Sampai-sampai jika tidak ada yang mempelajari ilmu dunia yang penting tersebut, seseorang dapat ‘dipaksa’ mempelajarinya.
Adapun para salaf, mereka mempelajari ilmu agama (harap perhatikan : ilmu agama) tentu bukan karena dipaksa. Bahkan mereka yang ‘memaksakan’ diri dalam menuntut ilmu secara disiplin sehingga akhirnya mereka mencapai derajat yang tinggi.
Ini untuk menjawab pertanyaan pertama.
Untuk pertanyaan ke dua :
Ana pribadi belum mendapatkan kisah perjalanan seorang muslimah generasi salaf mencari ilmu agama sampai ke berbagai negara. Adapun beberapa ulama wanita yang ada, setahu ana mereka belajar dengan keluarganya (suami, ayah, datuk, paman, etc, yang berstatus ulama), sehingga mereka tidak perlu jauh-jauh mengembara.
Lalu bagaimana di zaman sekarang jika keluarga sendiri jahil dalam urusan agama? Bolehkan ia belajar ke mancanegara ?
Sekiranya ana tidak melihat sosok beberapa ustazah yang berhasil menamatkan PhD di Universitas Al-Azhar, lalu kembali ke negera asalnya dan banyak berdakwah membantah kaum wanita sekuler di negeri ini, tentulah pendapat yang mengatakan tidak boleh lebih ana senangi. Namun, melihat manfaat dari adanya beberapa “Syaikh wanita” tersebut, maka hendaklah setiap diri betul-betul mempersiapkan secara maksimal (seperti adanya teman-teman shalih yang menemani, jaminan keamanan di negeri tempat belajar, dsb) jika hendak berangkat belajar ke manca negara.
Dan untuk pertanyaan ke tiga :
Menuntut ilmu semata-mata untuk menggembirakan hati ibu bapa -walaupun ia sebenarnya merasa ‘terpaksa’-, maka termasuk perbuatan Birrul Walidain yang mulia. Robb kita, Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya” (AQ. Luqman [31] : 14).
Maka hendaklah seseorang yang mengharapkan masuk surga mematuhi perintah Robb-nya.
Perlu diingat, bisa jadi kita di dunia ini tidak bisa menjadi seorang alim yang selalu menulis buku dan berceramah ke mana-mana. Tidak pula kita menjadi seorang hartawan yang selalu berinfaq dan bersedekah berjuta-juta. Tidak juga kita menjadi mujahiddin yang selalu membela kalimat tauhid melawan musuh-musuh Allah.
Namun bisa jadi kita masuk surga karena berbakti kepada ibu bapa. Bukankah semua amalan mulia di dunia bertujuan untuk mengharapkan surga-Nya?
Akhir kalam, semua yang ana tulis jika benar maka berkat hidayah Allah semata, jika ada yang salah maka saksikanlah ana bertaubat kepada-Nya. Tak lupa, jika penanya merasa ada kejanggalan, maka hendaklah mencari orang yang lebih berilmu untuk ditanya.
Wallahu A’lam.
Assalamu'alaikum..
BalasHapusAkhi Igun... Saya tak faham ayat ni..
"Hisyam Ad-Dastuwa’i Al-Bashri mengatakan : “Demi Allah, aku tidak berani mengatakan sesungguhnya aku pergi suatu hari untuk belajar hadits hanya untuk Allah Ta’ala semata”."
Wa'alaikumussalam Warahmatullah..
BalasHapusSaudaraku Abu Muhammad Mohd Ikram,
Perkataan tersebut adalah salah satu bentuk ketawadhu’an beliau.
Maksudnya beliau menjelaskan bahwa niat untuk menuntut ilmu agama kekadang tidaklah 100% semata-mata kerana Allah.
Kekadang niat seseorang dalam menuntut ilmu tercampur -sedikit sebanyak- agar nantinya dikatakan sebagai seorang ‘alim, atau dikatakan penghafal hadits, ataupun agar dikagumi manusia sebagai penuntut ilmu agama yang mulia derajatnya.
Maka beliau berkata tersebut sebagai bahan muhasabah, dan pengakuan diri yang jujur dan tulus.
Wallahu A’lam
bagaimana jika ada orang tua yang berniat jika menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren setelah lulusnya nanti ia akan jadi orang Alim...jadi imam di kampung-kampung dan disegani oleh masyarakat
BalasHapusInsya Allah tidak mengapa, tentunya sambil tetap selalu meluruskan niat bahwa yang dilakukan adalah untuk mencari ridho Allah Ta'ala semata.
Hapus