Nasihat dari Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya Shaidul Khatir :
"Sebaik-baik upaya adalah membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Barangsiapa yang merasa cukup dengan ilmu yang dimilikinya, maka ia akan selalu merasa pendapatnyalah yang paling benar. Perasaan bangga dengan dirinya itu akan menghalanginya untuk belajar dari orang lain. Sedangkan kesediaan belajar dari orang lain akan memberinya jalan untuk merenungi kekurangan-kekurangannya. Orang yang merasa ilmunya telah cukup, seringkali tidak mau menerima kritikan-kritikan yang diarahkan kepadanya karena merasa besar diri. Padahal jika ia mau belajar dari orang lain maka akan nampaklah kekurangan-kekurangannya, sehingga ia bisa dengan mudah memperbaikinya."
Rabu, 21 Desember 2011
Selasa, 13 Desember 2011
100 Faedah Dari Surah Yusuf
Beberapa hari yang lalu ana baru saja selesai membaca buku terjemahan berjudul “100 Faedah Dari Kisah Nabi Yusuf.” Buku yang edisi Arabnya berjudul Miatu Faidatin Min Surati Yusuf tersebut merupakan transkrip kajian dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid yang kemudian dihimpun oleh muridnya yang bernama Abu Yusuf. Edisi terjemahan diterbitkan oleh Pustaka Ibnu ‘Umar, cetakan pertama Muharram 1432 H/Desember 2010 M.
Buku itu sangat menarik karena mengumpulkan faedah-faedah yang terdapat dalam Surah Yusuf. Berikut beberapa cuplikannya :
- Ayat ke 9 : “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” Faedah dari ayat tersebut : Berniat taubat sebelum berbuat dosa adalah taubat yang tidak benar. Artinya jika seseorang berkata : “Kami akan berbuat dosa kemudian kami akan bertaubat setelah itu”, maka taubat seperti itu adalah taubat yang tidak benar.
- Ayat ke 18 : “...maka kesabaran yang baik (ash-shabrun jamil) itulah (kesabaranku)”. Faedah dari ayat tersebut : Apa perbedaan antara ash-shabrun jamil (kesabaran yang baik/indah) dengan kesabaran yang biasa? Maka jawabannya, kesabaran yang indah adalah kesabaran yang tidak disertai dengan mengadukan musibah yang ia hadapi, dan tidak pula dengan keluh kesah.
- Ayat ke 36 : “Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan mimpi).” Faedah dari ayat itu : Sesungguhnya tanda-tanda orang shalih dapat diketahui dari wajah mereka. Terbukti bahwa dua orang yang masuk penjara bersama Nabi Yusuf langsung memintanya untuk menta’birkan mimpinya. Apakah sebelum itu mereka mengetahui kalau Nabi Yusuf pandai mentakwilkan mimpi? Tidak, mereka tidak mengetahuinya. Mereka berkata : Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena’birkan mimpi), artinya : Padamu ada tanda-tanda kebaikan dan ciri-ciri orang shalih.
- Ayat ke 37-39 : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah... Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”. Faedah dari ayat tersebut : Seorang da’i hendaklah mengawali perjuangannya dengan dakwah tauhid. Perhatikan, kedua penghuni penjara itu bertanya kepada Nabi Yusuf perihal mimpi dan mereka menunggu jawabannya. Tetapi Nabi Yusuf tidak segera menjawab pertanyaan mereka sebelum mengajari mereka sesuatu yang lebih penting, yakni tauhid.
- Ayat ke 41 : “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).” Faedah dari ayat itu : Sesungguhnya ta’bir mimpi adalah suatu fatwa. Oleh karena itu para ulama berkata, “Orang yang tidak mengetahui ta’bir mimpi tidak boleh berbicara tentang ta’bir mimpi.” Syaikh Sa’d bin Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa pembicaraan mengenai mimpi adalah serupa dengan fatwa. Maka berbicara tentang hal itu tanpa ilmu adalah dosa, sama seperti halnya berfatwa tanpa ilmu.
- Ayat ke 100 : “...setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku.” Faedah dari ayat tersebut : Kewajiban menjaga perasaan orang lain, dan tidak melukai atau menyakiti hati mereka. Nabi Yusuf tidak mengatakan : “Setelah saudara-saudaraku menzhalimiku”, atau “Setelah mereka melemparkan aku ke dalam sumur”. Beliau menempatkan cercaan itu kepada syaitan, tidak mengalamatkannya kepada saudara-saudaranya. Inilah sebagian dari akhlak para Nabi yang mulia yang layak bagi mereka, dan demikianlah akhlak para Nabi.
Itulah sekelumit cuplikan dari isi buku tersebut. Bagi yang ingin mengetahui 94 faedah lainnya dari surah Yusuf, silakan membaca buku tersebut.
Buku itu sangat menarik karena mengumpulkan faedah-faedah yang terdapat dalam Surah Yusuf. Berikut beberapa cuplikannya :
- Ayat ke 9 : “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” Faedah dari ayat tersebut : Berniat taubat sebelum berbuat dosa adalah taubat yang tidak benar. Artinya jika seseorang berkata : “Kami akan berbuat dosa kemudian kami akan bertaubat setelah itu”, maka taubat seperti itu adalah taubat yang tidak benar.
- Ayat ke 18 : “...maka kesabaran yang baik (ash-shabrun jamil) itulah (kesabaranku)”. Faedah dari ayat tersebut : Apa perbedaan antara ash-shabrun jamil (kesabaran yang baik/indah) dengan kesabaran yang biasa? Maka jawabannya, kesabaran yang indah adalah kesabaran yang tidak disertai dengan mengadukan musibah yang ia hadapi, dan tidak pula dengan keluh kesah.
- Ayat ke 36 : “Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan mimpi).” Faedah dari ayat itu : Sesungguhnya tanda-tanda orang shalih dapat diketahui dari wajah mereka. Terbukti bahwa dua orang yang masuk penjara bersama Nabi Yusuf langsung memintanya untuk menta’birkan mimpinya. Apakah sebelum itu mereka mengetahui kalau Nabi Yusuf pandai mentakwilkan mimpi? Tidak, mereka tidak mengetahuinya. Mereka berkata : Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena’birkan mimpi), artinya : Padamu ada tanda-tanda kebaikan dan ciri-ciri orang shalih.
- Ayat ke 37-39 : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah... Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”. Faedah dari ayat tersebut : Seorang da’i hendaklah mengawali perjuangannya dengan dakwah tauhid. Perhatikan, kedua penghuni penjara itu bertanya kepada Nabi Yusuf perihal mimpi dan mereka menunggu jawabannya. Tetapi Nabi Yusuf tidak segera menjawab pertanyaan mereka sebelum mengajari mereka sesuatu yang lebih penting, yakni tauhid.
- Ayat ke 41 : “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).” Faedah dari ayat itu : Sesungguhnya ta’bir mimpi adalah suatu fatwa. Oleh karena itu para ulama berkata, “Orang yang tidak mengetahui ta’bir mimpi tidak boleh berbicara tentang ta’bir mimpi.” Syaikh Sa’d bin Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa pembicaraan mengenai mimpi adalah serupa dengan fatwa. Maka berbicara tentang hal itu tanpa ilmu adalah dosa, sama seperti halnya berfatwa tanpa ilmu.
- Ayat ke 100 : “...setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku.” Faedah dari ayat tersebut : Kewajiban menjaga perasaan orang lain, dan tidak melukai atau menyakiti hati mereka. Nabi Yusuf tidak mengatakan : “Setelah saudara-saudaraku menzhalimiku”, atau “Setelah mereka melemparkan aku ke dalam sumur”. Beliau menempatkan cercaan itu kepada syaitan, tidak mengalamatkannya kepada saudara-saudaranya. Inilah sebagian dari akhlak para Nabi yang mulia yang layak bagi mereka, dan demikianlah akhlak para Nabi.
Itulah sekelumit cuplikan dari isi buku tersebut. Bagi yang ingin mengetahui 94 faedah lainnya dari surah Yusuf, silakan membaca buku tersebut.
Selasa, 06 Desember 2011
Besarnya Rahmat Allah Ta’ala
Pernah seseorang menanyakan kepada seorang fuqaha tentang ayat : “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (QS. Ath-Thalaq : 2-3).
Maka orang faqih itu menjawab : “Demi Allah, sungguh Dia memang telah menjadikan jalan keluar untuk kita, padahal kita tidak sampai kepada derajat ketakwaan yang semestinya Dia berhak terhadapnya. Sungguh Dia juga telah memberi kita rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka padahal kita belumlah bertakwa kepada-Nya. Itupun kita benar-benar masih mengharap yang ketiga: “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya” (QS. Ath-Thalaq : 5).
[Hilyatul Auliya' : 4/248].
Maka orang faqih itu menjawab : “Demi Allah, sungguh Dia memang telah menjadikan jalan keluar untuk kita, padahal kita tidak sampai kepada derajat ketakwaan yang semestinya Dia berhak terhadapnya. Sungguh Dia juga telah memberi kita rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka padahal kita belumlah bertakwa kepada-Nya. Itupun kita benar-benar masih mengharap yang ketiga: “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya” (QS. Ath-Thalaq : 5).
[Hilyatul Auliya' : 4/248].
Senin, 28 November 2011
Dua Nikmat Yang Sering Dilalaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia merugi di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari).
Maksud dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas adalah bahwa kebanyakan orang tidak mempergunakan waktu sehat dan waktu luang mereka untuk hal-hal yang berguna. Akan tetapi sebaliknya, mereka kalah dengan diri mereka sendiri dengan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Padahal jika kedua waktu itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya (untuk mencari pahala), tentu akibatnya lebih baik bagi mereka.
(Al-Waqtu Anfaasun La Ta’uddu, hal. 6, Syaikh Abdul Malik Al-Qasim).
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia merugi di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari).
Maksud dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas adalah bahwa kebanyakan orang tidak mempergunakan waktu sehat dan waktu luang mereka untuk hal-hal yang berguna. Akan tetapi sebaliknya, mereka kalah dengan diri mereka sendiri dengan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Padahal jika kedua waktu itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya (untuk mencari pahala), tentu akibatnya lebih baik bagi mereka.
(Al-Waqtu Anfaasun La Ta’uddu, hal. 6, Syaikh Abdul Malik Al-Qasim).
Selasa, 22 November 2011
Takwa Yang Hakiki
Imam Ibnul Qayyim berkata : “Ketahuilah sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwanya hati, bukan takwa anggota badan (saja).” (Kitab al-Fawa’id hal. 185).
Kemudian beliau membawakan ayat ke 32 dan 37 dari surah al-Hajj serta hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini :
“Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali.” (HR. Muslim).
Ketika menjelaskan makna hadits di atas, an-Nawawi berkata : “Sesungguhnya amalan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang), akan tetapi takwa (yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, rasa takut dan (selalu) merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh Shahih Muslim : 16/121).
(Disalin dari Majalah al-Mawaddah edisi Dzulqo’dah 1432 H hal. 34, dari artikel berjudul “Meraih Takwa Yang Hakiki” oleh Ust. Abdulloh Taslim al-Buthoni).
Kemudian beliau membawakan ayat ke 32 dan 37 dari surah al-Hajj serta hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini :
التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali.” (HR. Muslim).
Ketika menjelaskan makna hadits di atas, an-Nawawi berkata : “Sesungguhnya amalan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang), akan tetapi takwa (yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, rasa takut dan (selalu) merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh Shahih Muslim : 16/121).
(Disalin dari Majalah al-Mawaddah edisi Dzulqo’dah 1432 H hal. 34, dari artikel berjudul “Meraih Takwa Yang Hakiki” oleh Ust. Abdulloh Taslim al-Buthoni).
Selasa, 15 November 2011
Berilmu Dan Berlemah-Lembutlah
Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan :
الحلم والعلم خَلَّتا كرمٍ
للمرء زينٌ إذ هما اجتمعا
صنوانِ لا يَسْتَتِمُّ حسنُهما
إلا بجمع بذا وذاك معا
كم من وضيع سما به الحلم والـ
ـعلم فحاز السناء وارتفعا
ومن رفيع البنا أضاعهما
أخمله ما أضاع فاتضعا
“Lemah lembut dan berilmu adalah ciri khas dari sebuah kemuliaan,
Apabila hal itu berada pada seseorang maka baginya itulah perhiasan;
Dua hal tersebut keindahannya tidak akan mencapai kesempurnaan,
Kecuali dengan keduanya dalam kebersamaan;
Betapa banyak orang yang rendah lalu berakhlak dengan kelemah-lembutan
dan keilmuan, maka ia mendapatkan kedudukan yang tinggi serta pujian;
Dan betapa banyak orang terhormat yang kehilangan keduanya,
الحلم والعلم خَلَّتا كرمٍ
للمرء زينٌ إذ هما اجتمعا
صنوانِ لا يَسْتَتِمُّ حسنُهما
إلا بجمع بذا وذاك معا
كم من وضيع سما به الحلم والـ
ـعلم فحاز السناء وارتفعا
ومن رفيع البنا أضاعهما
أخمله ما أضاع فاتضعا
“Lemah lembut dan berilmu adalah ciri khas dari sebuah kemuliaan,
Apabila hal itu berada pada seseorang maka baginya itulah perhiasan;
Dua hal tersebut keindahannya tidak akan mencapai kesempurnaan,
Kecuali dengan keduanya dalam kebersamaan;
Betapa banyak orang yang rendah lalu berakhlak dengan kelemah-lembutan
dan keilmuan, maka ia mendapatkan kedudukan yang tinggi serta pujian;
Dan betapa banyak orang terhormat yang kehilangan keduanya,
Lalu membuatnya ikut hilang dan terlupakan.”
(Dari Adabul Mau’idzah hal.17, Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd).
Kamis, 27 Oktober 2011
Orang-Orang Yang Beruntung
Imam Adz-Dzahabi menceritakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah dalam sebuah majelis mendapatkan 30.000 dinar. Tapi dalam bulan berikutnya ia tidak memakan sepotong dagingpun, itu semua karena hartanya habis diinfakkan. (Siyar A’lam An-Nubala' : 3/128).
Sedangkan seorang ulama terkenal bernama Laits bin Saad, beliau mendapatkan gaji 20.000 dinar setiap tahun. Ia berkata : “Meski hartaku sebanyak ini, aku tidak pernah terkena zakat.” (Tarikh Baghdad : 13/80). Hal ini karena harta beliau digunakan untuk berinfak di jalan Allah dan habis sebelum satu tahun, sehingga ia tidak pernah terkena kewajiban zakat.
Mereka adalah sekelumit contoh generasi salaf yang dipelihara dari sifat bakhil terhadap harta. Ana percaya, sungguh berat bagi generasi kita untuk berbuat seperti mereka. Tapi setidaknya, tirulah sifat gemar bersedekah dan kedermawanan mereka.
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun : 16).
Sebaik-baik pujian adalah pujian dari Yang Maha Pencipta. Sekarang tergantung kita, maukah kita termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung nan mulia?
Sedangkan seorang ulama terkenal bernama Laits bin Saad, beliau mendapatkan gaji 20.000 dinar setiap tahun. Ia berkata : “Meski hartaku sebanyak ini, aku tidak pernah terkena zakat.” (Tarikh Baghdad : 13/80). Hal ini karena harta beliau digunakan untuk berinfak di jalan Allah dan habis sebelum satu tahun, sehingga ia tidak pernah terkena kewajiban zakat.
Mereka adalah sekelumit contoh generasi salaf yang dipelihara dari sifat bakhil terhadap harta. Ana percaya, sungguh berat bagi generasi kita untuk berbuat seperti mereka. Tapi setidaknya, tirulah sifat gemar bersedekah dan kedermawanan mereka.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun : 16).
Sebaik-baik pujian adalah pujian dari Yang Maha Pencipta. Sekarang tergantung kita, maukah kita termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung nan mulia?
Rabu, 19 Oktober 2011
Membaca Buku Tanpa Lampu ?
Pernahkah membaca buku dalam cahaya yang minim (misal di depan lilin)? Jika pernah, pasti merasakan hal tersebut tidak menyenangkan, karena mata harus bekerja ekstra untuk membaca. Ana sendiri termasuk yang “menyerah” alias berhenti membaca jika listrik mati di malam hari. Karena jika dipaksakan, rasanya mata tidak kuat untuk membaca lama.
Terkadang ana terpikir, bagaimana ulama zaman dahulu -ketika belum ditemukan lampu listrik- membaca di malam hari? Ternyata semangat mereka tetap luar biasa, seperti cerita berikut :
Al-Qadhi Iyadh dalam kitabnya Tartib al-Madarik (1/78) ketika menceritakan biografi Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ishaq, yang terkenal dengan julukan Ibnu Tabban (wafat 371 H). Ibnu Tabban pernah menceritakan dirinya : “Pertama kali aku masuk sekolah dasar, aku membaca semalam suntuk. Ibuku kemudian melarangku membaca di malam hari. Lalu akupun mengambil lentera kemudian menyembunyikannya di bawah mangkuk besar, dan pura-pura segera tidur. Jika ibuku sudah tidur nyenyak, maka aku pun mengambil lentera tersebut dan mulai membaca lagi.”
Al-Qadhi Iyadh berkata : “Dia (Ibnu Tabban) adalah tipe orang yang gemar membaca. Dia pernah membaca satu buku sebanyak 1000 kali.”
Demikianlah semangat para ulama salaf kita. Semoga Allah Ta’ala merahmati mereka atas kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu. Dan semoga Allah mengkaruniakan kepada generasi kita kesungguhan yang serupa ataupun yang mendekatinya..
Terkadang ana terpikir, bagaimana ulama zaman dahulu -ketika belum ditemukan lampu listrik- membaca di malam hari? Ternyata semangat mereka tetap luar biasa, seperti cerita berikut :
Al-Qadhi Iyadh dalam kitabnya Tartib al-Madarik (1/78) ketika menceritakan biografi Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ishaq, yang terkenal dengan julukan Ibnu Tabban (wafat 371 H). Ibnu Tabban pernah menceritakan dirinya : “Pertama kali aku masuk sekolah dasar, aku membaca semalam suntuk. Ibuku kemudian melarangku membaca di malam hari. Lalu akupun mengambil lentera kemudian menyembunyikannya di bawah mangkuk besar, dan pura-pura segera tidur. Jika ibuku sudah tidur nyenyak, maka aku pun mengambil lentera tersebut dan mulai membaca lagi.”
Al-Qadhi Iyadh berkata : “Dia (Ibnu Tabban) adalah tipe orang yang gemar membaca. Dia pernah membaca satu buku sebanyak 1000 kali.”
Demikianlah semangat para ulama salaf kita. Semoga Allah Ta’ala merahmati mereka atas kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu. Dan semoga Allah mengkaruniakan kepada generasi kita kesungguhan yang serupa ataupun yang mendekatinya..
Senin, 17 Oktober 2011
Setelah Kesulitan Pasti Ada Kemudahan
Pernah seorang teman menceritakan kesusahan hidupnya. Dia merasa dunia sangat sempit baginya, dan ia hampir putus asa untuk mencari solusinya. Selang beberapa lama ana bertemu dengannya, wajahnya telah kembali ceria menandakan kesusahan hidupnya telah sirna. Alhamdulillah.
Begitulah sunnatullah di dunia ini. Tidak ada kesusahan yang terus menerus. Sebagaimana tidak ada kesenangan yang abadi. Semua akan datang silih berganti. Maka tidak semestinya seorang mukmin merasa putus asa ketika kesulitan menerpa, karena setelah itu kemudahan pasti akan menggantikannya. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman :
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah : 5-6).
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengenai ayat tersebut : “Ayat ini memberi kabar gembira tatkala orang menjumpai kesulitan dan kesukaran, maka kemudahan pasti menemaninya. Seandainya kesulitan sesulit lubang biawak, maka kemudahan pun akan memasuki lalu melepas kesulitan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (dalam ayat yang lain) :
”Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. Ath-Thalaq : 7]. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman : 1/929).
Imam Al-Khaththabi berkata : “Jika kita lihat teks ayat (QS. Alam Nasyrah : 5-6) diatas, disebutkan ada dua kesulitan dan ada dua kemudahan. Akan tetapi, kesulitan itu hanya (dihitung) sekali karena datang dengan isim ma’rifat (tertentu), sedangkan kemudahan menunjukkan nakiroh (umum, jumlahnya banyak) menunjukkan bahwa yang pertama berlainan dengan yang kedua. Maksudnya kesulitan itu berada di antara dua kemudahan, yaitu kemudahan di dunia dan kemudahan berupa pahala di akhirat.” (Syarh Kitab At-Tauhid : 8/92, Al-Ghunaiman).
Oleh karena itu, seorang mukmin tidak boleh berputus asa ketika ditimpa kesulitan. Karena kemudahan pasti akan datang setelahnya, dengan jumlah yang lebih banyak daripada kesulitan yang dialaminya.
(Tulisan ini mengambil faedah dari pembahasan di Majalah Al-Furqon edisi 4/Tahun ke 11, hal. 6-12).
Begitulah sunnatullah di dunia ini. Tidak ada kesusahan yang terus menerus. Sebagaimana tidak ada kesenangan yang abadi. Semua akan datang silih berganti. Maka tidak semestinya seorang mukmin merasa putus asa ketika kesulitan menerpa, karena setelah itu kemudahan pasti akan menggantikannya. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman :
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah : 5-6).
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengenai ayat tersebut : “Ayat ini memberi kabar gembira tatkala orang menjumpai kesulitan dan kesukaran, maka kemudahan pasti menemaninya. Seandainya kesulitan sesulit lubang biawak, maka kemudahan pun akan memasuki lalu melepas kesulitan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (dalam ayat yang lain) :
سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً
”Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. Ath-Thalaq : 7]. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman : 1/929).
Imam Al-Khaththabi berkata : “Jika kita lihat teks ayat (QS. Alam Nasyrah : 5-6) diatas, disebutkan ada dua kesulitan dan ada dua kemudahan. Akan tetapi, kesulitan itu hanya (dihitung) sekali karena datang dengan isim ma’rifat (tertentu), sedangkan kemudahan menunjukkan nakiroh (umum, jumlahnya banyak) menunjukkan bahwa yang pertama berlainan dengan yang kedua. Maksudnya kesulitan itu berada di antara dua kemudahan, yaitu kemudahan di dunia dan kemudahan berupa pahala di akhirat.” (Syarh Kitab At-Tauhid : 8/92, Al-Ghunaiman).
Oleh karena itu, seorang mukmin tidak boleh berputus asa ketika ditimpa kesulitan. Karena kemudahan pasti akan datang setelahnya, dengan jumlah yang lebih banyak daripada kesulitan yang dialaminya.
(Tulisan ini mengambil faedah dari pembahasan di Majalah Al-Furqon edisi 4/Tahun ke 11, hal. 6-12).
Kamis, 29 September 2011
Berakhlaklah Mulia Maka Engkau Akan Dicintai Manusia
Seorang pendakwah tidaklah cukup dengan berbekal ilmu saja, tetapi hendaklah ia membekali dirinya dengan akhlak mulia. Karena diantara sebab tidak diterimanya dakwah dalam masyarakat adalah bersumber dari kegagalan dalam berakhlak mulia. Maka hendaklah setiap orang yang berakal mengambil pelajaran daripadanya.
Sungguh tabiat manusia tidak menyukai akhlak yang tercela, meskipun pemiliknya adalah seorang yang berilmu nyaris sempurna. Imam Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dalam mukaddimah kitabnya Iqtidha’ Al Ilmi Al Amal berkata : “Yang paling memprihatinkan adalah seorang ahli ilmu yang ditinggalkan manusia karena keburukan akhlaknya, atau seorang bodoh yang diikuti manusia karena banyak ibadahnya.” Renungkanlah perkataan beliau -rahimahullah- tersebut, maka akan kita dapatkan kebenaran kata-katanya.
Dalam sebuah syair dikatakan :
أحسن إلى الناس تستعبد قلوبهم
فطالما استعبد الإنسان إحسان
“Berbuat baiklah kepada manusia niscaya engkau akan mendapatkan hati mereka;
Betapa sering perbuatan baik itu dapat menundukkan manusia.”
Maka berakhlak mulialah kepada sesama manusia. Karena ilmu bukan hanya sekedar wacana, tapi juga menuntut pembuktian apakah seseorang sudah mengamalkannya.
Sungguh tabiat manusia tidak menyukai akhlak yang tercela, meskipun pemiliknya adalah seorang yang berilmu nyaris sempurna. Imam Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dalam mukaddimah kitabnya Iqtidha’ Al Ilmi Al Amal berkata : “Yang paling memprihatinkan adalah seorang ahli ilmu yang ditinggalkan manusia karena keburukan akhlaknya, atau seorang bodoh yang diikuti manusia karena banyak ibadahnya.” Renungkanlah perkataan beliau -rahimahullah- tersebut, maka akan kita dapatkan kebenaran kata-katanya.
Dalam sebuah syair dikatakan :
أحسن إلى الناس تستعبد قلوبهم
فطالما استعبد الإنسان إحسان
“Berbuat baiklah kepada manusia niscaya engkau akan mendapatkan hati mereka;
Betapa sering perbuatan baik itu dapat menundukkan manusia.”
Maka berakhlak mulialah kepada sesama manusia. Karena ilmu bukan hanya sekedar wacana, tapi juga menuntut pembuktian apakah seseorang sudah mengamalkannya.
Kamis, 22 September 2011
Keinginan Manusia Tidak Selalu Bermaslahat Untuk Dirinya
Mungkin saja jiwa seorang hamba menginginkan salah satu perkara dunia, yang mana ia menganggap dengan hal itu ia dapat mencapai tujuannya. Tapi Allah -dengan belas kasih-Nya- mengetahui bahwa hal itu merugikan buat hamba-Nya, kemudian Allah menghalangi keinginan hamba-Nya tersebut. Lalu hamba itu tidak menyukai keadaannya, dan ia tidak mengetahui bahwa Allah telah mengasihinya, dimana Dia meneguhkan perkara yang bermanfaat bagi hamba-Nya dan memalingkan perkara yang merugikan hamba-Nya.
Betapa banyak manusia yang sesak dan sempit dadanya karena kehilangan sesuatu yang disukai, atau datangnya sesuatu yang menyedihkan. Ketika hikmah perkara itu tersingkap dan rahasia takdir diketahui, anda akan melihatnya bergembira karena akibatnya ternyata baik untuk dirinya.
Dikatakan :
وربما سرني ما كنت أحذره
وربما ساءني ما كنت أرجوه
“Mungkin baik untukku sesuatu yang dulu aku menghindarinya,
Dan mungkin buruk untukku sesuatu yang dulu aku mengharapkannya.”
(Al-Iman bil Qadha' wal Qadar, Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hal. 99-100 dengan diringkas).
Betapa banyak manusia yang sesak dan sempit dadanya karena kehilangan sesuatu yang disukai, atau datangnya sesuatu yang menyedihkan. Ketika hikmah perkara itu tersingkap dan rahasia takdir diketahui, anda akan melihatnya bergembira karena akibatnya ternyata baik untuk dirinya.
Dikatakan :
وربما سرني ما كنت أحذره
وربما ساءني ما كنت أرجوه
“Mungkin baik untukku sesuatu yang dulu aku menghindarinya,
Dan mungkin buruk untukku sesuatu yang dulu aku mengharapkannya.”
(Al-Iman bil Qadha' wal Qadar, Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hal. 99-100 dengan diringkas).
Senin, 19 September 2011
Orang Bertakwa Senantiasa “Berpuasa” Di Dunia
Sesungguhnya setiap mukmin tidak hanya berpuasa di bulan Ramadhan saja, tapi juga berpuasa pada seluruh hari-harinya ketika ia di dunia. Mengapa demikian? Karena setiap hari ia berpuasa dari larangan Allah Ta’ala, berpuasa dari mengikuti hawa nafsunya, dan berpuasa dari bujukan syaitan kepadanya. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin, dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Dikatakan “penjara” karena tidak semua keinginan di dunia boleh diturutkan dan bebas untuk hidup semaunya, tapi haruslah mengikuti aturan dari Sang Pencipta.
Sungguh indah perkataan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif-nya : “Dunia ini seluruhnya adalah bulan puasa bagi orang-orang yang bertakwa, sedangkan hari rayanya adalah hari pertemuan dengan Rabb-Nya. Dan sesungguhnya sebagian besar waktu siang untuk puasa telah lewat, sedangkan hari raya pertemuan dengan Rabb-Nya telah dekat.”
Maka wahai saudaraku, bersabarlah sampai datang hari berbuka tiba. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu meneguhkan iman kita ketika menjalani “puasa” di dunia.
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ ، وَجَنَّةُ الكَافِرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin, dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Dikatakan “penjara” karena tidak semua keinginan di dunia boleh diturutkan dan bebas untuk hidup semaunya, tapi haruslah mengikuti aturan dari Sang Pencipta.
Sungguh indah perkataan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif-nya : “Dunia ini seluruhnya adalah bulan puasa bagi orang-orang yang bertakwa, sedangkan hari rayanya adalah hari pertemuan dengan Rabb-Nya. Dan sesungguhnya sebagian besar waktu siang untuk puasa telah lewat, sedangkan hari raya pertemuan dengan Rabb-Nya telah dekat.”
Maka wahai saudaraku, bersabarlah sampai datang hari berbuka tiba. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu meneguhkan iman kita ketika menjalani “puasa” di dunia.
Kamis, 15 September 2011
Tidak Sempat Menulis Buku ?
Ana membaca di sebuah forum, ada seseorang yang berkata bahwa biasanya orang sibuk yang justru sempat menulis buku. Ana tersenyum dan membenarkan ucapannya, karena demikianlah adanya. Rasanya betapa banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Selalu saja hati ini berkata : "Nanti saja", "Belum saatnya", "Waktunya masih lama", dan lain sebagainya. Tapi itu hanyalah alasan saja dari orang yang sibuk dengan urusan dunia.
Lihatlah para ulama. Walau sibuk bagaimanapun juga tapi masih sempat menulis karya-karya hebat yang tiada duanya. Bahkan banyak dari mereka yang menulis ketika di penjara. Sudah masyhur adanya bahwa karya-karya Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) banyak yang ditulis ketika ia dipenjara. Sampai-sampai ia menulis dengan arang ketika alat tulisnya disita.
Juga Ibnu Rusyd (wafat 595 H) pengarang kitab Bidayatul Mujtahid yang terkenal. Beliau ketika dipenjara sempat menulis kitab yang berjudul Al-Manthiq, padahal ketika itu ia sudah lanjut usia. Begitu pula As-Sarkhasi (wafat 490 H), seorang ulama besar dari madzhab Hanafi yang menyelesaikan kitab fiqihnya sebanyak 30 jilid dari dalam penjara. Hebatnya, ia menulis kitab tersebut dari hafalannya.
Demikianlah keadaan mereka. Lalu kita yang dengan segala fasilitas dan waktu yang ada, malah duduk berleha-leha. Hanya mampu sekedar menulis sepatah dua patah kata, kemudian setelah itu menyangka telah banyak menyumbang untuk agama? Haihata haihata..
Lihatlah para ulama. Walau sibuk bagaimanapun juga tapi masih sempat menulis karya-karya hebat yang tiada duanya. Bahkan banyak dari mereka yang menulis ketika di penjara. Sudah masyhur adanya bahwa karya-karya Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) banyak yang ditulis ketika ia dipenjara. Sampai-sampai ia menulis dengan arang ketika alat tulisnya disita.
Juga Ibnu Rusyd (wafat 595 H) pengarang kitab Bidayatul Mujtahid yang terkenal. Beliau ketika dipenjara sempat menulis kitab yang berjudul Al-Manthiq, padahal ketika itu ia sudah lanjut usia. Begitu pula As-Sarkhasi (wafat 490 H), seorang ulama besar dari madzhab Hanafi yang menyelesaikan kitab fiqihnya sebanyak 30 jilid dari dalam penjara. Hebatnya, ia menulis kitab tersebut dari hafalannya.
Demikianlah keadaan mereka. Lalu kita yang dengan segala fasilitas dan waktu yang ada, malah duduk berleha-leha. Hanya mampu sekedar menulis sepatah dua patah kata, kemudian setelah itu menyangka telah banyak menyumbang untuk agama? Haihata haihata..
Senin, 05 September 2011
Untuk Perindu Kampung Akhirat
Abul ‘Atahiyah berkata :
فلا تَعشَقِ الدّنْيا، أُخيَّ، فإنّما
يُرَى عاشِقُ الدُّنيَا بجُهْدِ بَلاَءِ
حَلاَوَتُهَا ممزَوجَة ٌ بمرارة ٍ
ورَاحتُهَا ممزوجَة ٌ بِعَناءِ
فَلا تَمشِ يَوْماً في ثِيابِ مَخيلَة ٍ
فإنَّكَ من طينٍ خلقتَ ومَاءِ
لَقَلّ امرُؤٌ تَلقاهُ لله شاكِراً
وقلَّ امرؤٌ يرضَى لهُ بقضَاءِ
“Saudaraku janganlah engkau merindu dunia
Sesungguhnya perindunya akan ditimpa bencana;
Manisnya bercampur dengan kepahitan
Dan lapangnya diiringi dengan kepayahan;
Janganlah engkau berjalan dengan baju kesombongan
Sesungguhnya engkau tercipta dari tanah dan air mani yang menjijikkan;
Sungguh sedikit hamba yang bertemu Tuhan dengan mensyukuri kenikmatan
Dan sedikit pula hamba yang ridho dengan takdir yang telah ditetapkan.”
(Dari Diwan Abul ‘Atahiyah : 1/1, dengan perantaraan majalah Adz-Dzakhirah edisi 71/1432 H).
فلا تَعشَقِ الدّنْيا، أُخيَّ، فإنّما
يُرَى عاشِقُ الدُّنيَا بجُهْدِ بَلاَءِ
حَلاَوَتُهَا ممزَوجَة ٌ بمرارة ٍ
ورَاحتُهَا ممزوجَة ٌ بِعَناءِ
فَلا تَمشِ يَوْماً في ثِيابِ مَخيلَة ٍ
فإنَّكَ من طينٍ خلقتَ ومَاءِ
لَقَلّ امرُؤٌ تَلقاهُ لله شاكِراً
وقلَّ امرؤٌ يرضَى لهُ بقضَاءِ
“Saudaraku janganlah engkau merindu dunia
Sesungguhnya perindunya akan ditimpa bencana;
Manisnya bercampur dengan kepahitan
Dan lapangnya diiringi dengan kepayahan;
Janganlah engkau berjalan dengan baju kesombongan
Sesungguhnya engkau tercipta dari tanah dan air mani yang menjijikkan;
Sungguh sedikit hamba yang bertemu Tuhan dengan mensyukuri kenikmatan
Dan sedikit pula hamba yang ridho dengan takdir yang telah ditetapkan.”
(Dari Diwan Abul ‘Atahiyah : 1/1, dengan perantaraan majalah Adz-Dzakhirah edisi 71/1432 H).
Selasa, 23 Agustus 2011
Maksud Al-‘Afwu (Maha Pemaaf) Dalam Doa Lailatul Qadar
Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah hadis dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha doa yang disunnahkan dibaca pada malam Lailatul Qadar (hadis tersebut dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no.3515) yaitu :
اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maka maafkanlah aku.”
Maksud Al-‘Afwu dalam hadis tersebut dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha-if Al-Ma’arif :
“Al-‘Afwu (Maha Pemaaf) adalah salah satu nama Allah yang indah. Dengan demikian, Allah tidak menghukum hamba-Nya atas keburukan yang mereka lakukan, bahkan sebaliknya Dia akan menghapus bekas keburukan itu dari mereka. Allah mencintai maaf dan menyukai untuk memaafkan hamba-Nya, sebagaimana Dia juga menyukai jika para hamba-Nya saling memaafkan. Jika sebagian manusia memaafkan sebagian yang lain, maka Allah akan memaafkan orang itu. Dan Allah lebih menyukai menurunkan maaf daripada menurunkan siksa-Nya.”
اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maka maafkanlah aku.”
Maksud Al-‘Afwu dalam hadis tersebut dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha-if Al-Ma’arif :
“Al-‘Afwu (Maha Pemaaf) adalah salah satu nama Allah yang indah. Dengan demikian, Allah tidak menghukum hamba-Nya atas keburukan yang mereka lakukan, bahkan sebaliknya Dia akan menghapus bekas keburukan itu dari mereka. Allah mencintai maaf dan menyukai untuk memaafkan hamba-Nya, sebagaimana Dia juga menyukai jika para hamba-Nya saling memaafkan. Jika sebagian manusia memaafkan sebagian yang lain, maka Allah akan memaafkan orang itu. Dan Allah lebih menyukai menurunkan maaf daripada menurunkan siksa-Nya.”
Kamis, 11 Agustus 2011
Mereka Yang Menyia-Nyiakan Bulan Ramadhan
Memasuki pekan ke-2 bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, ana melihat ramai manusia yang mengisi bulan Ramadhannya dengan perbuatan yang tidak berfaedah. Tidak berfaedah untuk dunia apalagi untuk akhirat. Mereka mengisinya dengan banyak berbicara yang sia-sia, bermalas-malasan, banyak melamun, tidur-tiduran, menonton acara murahan, jalan-jalan tanpa tujuan, dan banyak lagi perkara-perkara yang tiada faedahnya.
Duhai…, jika saja mereka mengisinya dengan membaca Al-Qur’an, tentulah berjuz-juz bacaan telah didapatkan. Jikalau mereka mengisinya dengan banyak berzikir dan berdoa kepada Yang Maha Pemberi Ampunan, tentulah besar harapan dosa mereka akan dimaafkan. Seandainya mereka mengisinya dengan banyak membaca buku serta mendengar kajian, tentulah jalan ke surga akan dimudahkan.
Apakah mereka mengira pasti akan bertemu dengan Ramadhan yang akan datang? Mengapa mereka merasa damai dengan panjang angan-angan? Tidakkah mereka mengambil pelajaran dari ramai orang tidak sampai ke bulan Ramadhan karena telah dijemput kematian?
Simaklah nasihat dari Imam Ibnu Rajab al-Hanbali yang diucapkannya sekitar 600 tahun silam. Beliau mengatakan : “Betapa banyak manusia yang bercita-cita untuk berpuasa di bulan Ramadhan, tetapi cita-citanya tidak sampai karena ia keburu masuk ke dalam gelapnya kuburan. Betapa banyak manusia yang sedang menjalani harinya tapi tak dapat menyelesaikannya, dan betapa ramai orang yang mengira dapat bertemu hari esok tapi tak mendapatkannya. Sungguh, jika kalian melihat kematian dan beratnya perjalanan setelahnya, pasti kalian akan membenci panjang angan-angan dan tidak mau terpedaya karenanya.” (Latha-if Al-Ma’arif : 351).
Ya Allah, berilah taufiq kepadaku dan kepada orang-orang mukmin sekalian, agar selalu dapat memanfaatkan waktu di bulan Ramadhan dengan amalan-amalan yang dapat mendatangkan pada sisi-Mu keridhaan dan ampunan. Hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan..
Duhai…, jika saja mereka mengisinya dengan membaca Al-Qur’an, tentulah berjuz-juz bacaan telah didapatkan. Jikalau mereka mengisinya dengan banyak berzikir dan berdoa kepada Yang Maha Pemberi Ampunan, tentulah besar harapan dosa mereka akan dimaafkan. Seandainya mereka mengisinya dengan banyak membaca buku serta mendengar kajian, tentulah jalan ke surga akan dimudahkan.
Apakah mereka mengira pasti akan bertemu dengan Ramadhan yang akan datang? Mengapa mereka merasa damai dengan panjang angan-angan? Tidakkah mereka mengambil pelajaran dari ramai orang tidak sampai ke bulan Ramadhan karena telah dijemput kematian?
Simaklah nasihat dari Imam Ibnu Rajab al-Hanbali yang diucapkannya sekitar 600 tahun silam. Beliau mengatakan : “Betapa banyak manusia yang bercita-cita untuk berpuasa di bulan Ramadhan, tetapi cita-citanya tidak sampai karena ia keburu masuk ke dalam gelapnya kuburan. Betapa banyak manusia yang sedang menjalani harinya tapi tak dapat menyelesaikannya, dan betapa ramai orang yang mengira dapat bertemu hari esok tapi tak mendapatkannya. Sungguh, jika kalian melihat kematian dan beratnya perjalanan setelahnya, pasti kalian akan membenci panjang angan-angan dan tidak mau terpedaya karenanya.” (Latha-if Al-Ma’arif : 351).
Ya Allah, berilah taufiq kepadaku dan kepada orang-orang mukmin sekalian, agar selalu dapat memanfaatkan waktu di bulan Ramadhan dengan amalan-amalan yang dapat mendatangkan pada sisi-Mu keridhaan dan ampunan. Hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan..
Selasa, 02 Agustus 2011
Ramadhan Bulan Kesabaran
Al-Imam Ibnu Rajab berkata :
“Kesabaran ada tiga macam, yaitu kesabaran dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kesabaran dalam menjauhi larangan-larangan Allah, dan kesabaran atas takdir Allah. Ketiga hal itu terkumpul pada puasa, sebab dalam puasa ada kesabaran dalam ketaatan kepada Allah, kesabaran dalam menahan hawa nafsu yang diharamkan Allah kepada orang yang berpuasa, dan kesabaran atas apa yang ditakdirkan menimpa orang yang berpuasa berupa rasa lapar, haus serta lemahnya badan.”
(Latha-if al-Ma’arif, hal. 354).
“Kesabaran ada tiga macam, yaitu kesabaran dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kesabaran dalam menjauhi larangan-larangan Allah, dan kesabaran atas takdir Allah. Ketiga hal itu terkumpul pada puasa, sebab dalam puasa ada kesabaran dalam ketaatan kepada Allah, kesabaran dalam menahan hawa nafsu yang diharamkan Allah kepada orang yang berpuasa, dan kesabaran atas apa yang ditakdirkan menimpa orang yang berpuasa berupa rasa lapar, haus serta lemahnya badan.”
(Latha-if al-Ma’arif, hal. 354).
Kamis, 28 Juli 2011
Mencari Mushaf
Kemarin ana pergi ke toko buku mencari mushaf Al-Qur’an. Rencananya mushaf itu akan ana hadiahkan buat seseorang menyambut Ramadhan, Insya Allah. Syarat mushaf yang ana cari adalah ada transliterasi Arab-Latinnya, karena orang yang hendak ana hadiahkan itu kurang lancar membaca Al-Qur’an. Syarat lainnya adalah huruf Arabnya agak besar karena calon penerima hadiah tersebut umurnya sudah 60 tahun ^_^.
Tapi setelah hampir 1 jam ana berdiri memilih-milih belasan model mushaf, tidak ada satupun yang memenuhi kriteria mushaf yang ana sebutkan. Ada mushaf yang memiliki transliterasi Arab-Latin, tapi huruf Arabnya terlalu kecil. Ada pula mushaf yang huruf Arabnya besar, tapi tidak ada transliterasi Arab-Latinnya. Ada yang memenuhi kedua kriteria itu tapi dicetak terpisah dalam 10 jilid, padahal yang ana perlukan adalah yang dicetak dalam 1 jilid saja.
Walaupun ana belum mendapatkan mushaf yang dicari, tetapi ada kegembiraan melihat banyaknya mushaf-mushaf yang telah dicetak dalam berbagai bentuk dan ukuran. Teringat pada zaman sahabat dulu, khalifah ‘Utsman bin Affan bersusah payah membukukan 5 mushaf Al-Qur’an -menurut pendapat yang masyhur menurut Imam As-Suyuthi- kemudian dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah dan satu mushaf ditinggal di Madinah.
Jika ada yang bertanya kemana mushaf-mushaf itu sekarang? Maka hanya Allah yang mengetahuinya. Namun, ana pernah membaca dalam kitab Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur'an karya Syaikh Manna' al-Qaththan, bahwa Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) dalam kitabnya Fadha’il Al-Qur’an pernah melihat salah satu mushaf peninggalan khalifah ‘Utsman bin Affan tersebut di Masjid Damaskus, Syam.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa mushaf di Syam itu dibawa ke Inggris setelah sebelumnya berada di tangan Kaisar Rusia dan disimpan pada perpustakaan Leningrad. Riwayat lain menyatakan bahwa mushaf tersebut musnah ketika terjadi kebakaran di Masjid Damaskus pada tahun 1310 H. Wallahu a’lam.
Kembali kepada topik : Tampaknya hari ini ana harus melanjutkan lagi perburuan mencari mushaf. Semoga Allah -yang maha mengatur semua urusan- memberikan ana kemudahan. Amin.
Tapi setelah hampir 1 jam ana berdiri memilih-milih belasan model mushaf, tidak ada satupun yang memenuhi kriteria mushaf yang ana sebutkan. Ada mushaf yang memiliki transliterasi Arab-Latin, tapi huruf Arabnya terlalu kecil. Ada pula mushaf yang huruf Arabnya besar, tapi tidak ada transliterasi Arab-Latinnya. Ada yang memenuhi kedua kriteria itu tapi dicetak terpisah dalam 10 jilid, padahal yang ana perlukan adalah yang dicetak dalam 1 jilid saja.
Walaupun ana belum mendapatkan mushaf yang dicari, tetapi ada kegembiraan melihat banyaknya mushaf-mushaf yang telah dicetak dalam berbagai bentuk dan ukuran. Teringat pada zaman sahabat dulu, khalifah ‘Utsman bin Affan bersusah payah membukukan 5 mushaf Al-Qur’an -menurut pendapat yang masyhur menurut Imam As-Suyuthi- kemudian dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah dan satu mushaf ditinggal di Madinah.
Jika ada yang bertanya kemana mushaf-mushaf itu sekarang? Maka hanya Allah yang mengetahuinya. Namun, ana pernah membaca dalam kitab Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur'an karya Syaikh Manna' al-Qaththan, bahwa Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) dalam kitabnya Fadha’il Al-Qur’an pernah melihat salah satu mushaf peninggalan khalifah ‘Utsman bin Affan tersebut di Masjid Damaskus, Syam.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa mushaf di Syam itu dibawa ke Inggris setelah sebelumnya berada di tangan Kaisar Rusia dan disimpan pada perpustakaan Leningrad. Riwayat lain menyatakan bahwa mushaf tersebut musnah ketika terjadi kebakaran di Masjid Damaskus pada tahun 1310 H. Wallahu a’lam.
Kembali kepada topik : Tampaknya hari ini ana harus melanjutkan lagi perburuan mencari mushaf. Semoga Allah -yang maha mengatur semua urusan- memberikan ana kemudahan. Amin.
Selasa, 26 Juli 2011
Faedah Harta
Berkata Ibnu Qudamah : “Harta secara dzatnya tidaklah tercela, bahkan ia sepatutnya dipuji. Sebab harta merupakan sarana untuk menggapai kemaslahatan agama dan dunia. Allah sendiri menyebutnya sebagai sebuah kebaikan, dan harta itulah yang menjadi penopang hidup manusia. Allah Ta’ala berfirman pada permulaan surah An-Nisa’ :
وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)…” (QS. An-Nisa’ : 5).
Abu Ishaq As-Suba’i berkata : Mereka (para salaf) menganggap bahwa kelapangan hidup (kekayaan) merupakan sarana untuk membantu merealisasikan ajaran agama.”
Sufyan berkata : “Harta di zaman kita sekarang ini adalah senjata orang-orang mukmin.”
Kesimpulannya : Harta itu ibarat seekor ular, di sana ada racunnya, tapi di sana juga ada obat penawarnya. Dengan demikian obat penawar itulah faedahnya, sementara hal-hal yang merusak itulah racunnya. Maka barangsiapa yang mengerti mana faedahnya, ia akan melindungi diri dari keganasan racunnya, serta dapat mengambil kebaikannya.”
(Mukhtasar Minhajul Qashidin, hal. 214, lewat perantaraan buku “Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah”, Syaikh ‘Abdul Malik al-Qosim, hal. 13-14).
وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)…” (QS. An-Nisa’ : 5).
Abu Ishaq As-Suba’i berkata : Mereka (para salaf) menganggap bahwa kelapangan hidup (kekayaan) merupakan sarana untuk membantu merealisasikan ajaran agama.”
Sufyan berkata : “Harta di zaman kita sekarang ini adalah senjata orang-orang mukmin.”
Kesimpulannya : Harta itu ibarat seekor ular, di sana ada racunnya, tapi di sana juga ada obat penawarnya. Dengan demikian obat penawar itulah faedahnya, sementara hal-hal yang merusak itulah racunnya. Maka barangsiapa yang mengerti mana faedahnya, ia akan melindungi diri dari keganasan racunnya, serta dapat mengambil kebaikannya.”
(Mukhtasar Minhajul Qashidin, hal. 214, lewat perantaraan buku “Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah”, Syaikh ‘Abdul Malik al-Qosim, hal. 13-14).
Kamis, 21 Juli 2011
Berhentilah Mencari Ridha Manusia
Diantara ‘keajaiban’ hati yang ana temukan adalah mudahnya ia berganti. Boleh jadi dalam 5 menit hati seseorang dapat berubah dari cinta menjadi benci, atau sebaliknya dari benci menjadi simpati. Maka barangsiapa yang tujuan dakwahnya selalu ingin mendapatkan hati (baca : ridha) manusia, maka ia telah memulai pekerjaan yang melelahkan bagi jiwanya.
Renungkanlah firman Allah Ta’ala :
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (QS. Al-Anfal : 63).
Allah telah menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan ridha seluruh manusia. Maka janganlah membebani diri untuk selalu mengejarnya, bahkan menjadikannya dalam dakwah sebagai tujuan utama. Sungguh, mencari ridha manusia adalah pekerjaan yang sia-sia.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata : “Keridhaan manusia adalah suatu yang sulit dicapai, maka hendaklah engkau memperbaiki dirimu dan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh, karena tiada jalan membuat seluruh manusia ridha terhadapmu.” (Hilyatul Auliya' : 9/122).
Renungkanlah firman Allah Ta’ala :
لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَـكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (QS. Al-Anfal : 63).
Allah telah menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan ridha seluruh manusia. Maka janganlah membebani diri untuk selalu mengejarnya, bahkan menjadikannya dalam dakwah sebagai tujuan utama. Sungguh, mencari ridha manusia adalah pekerjaan yang sia-sia.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata : “Keridhaan manusia adalah suatu yang sulit dicapai, maka hendaklah engkau memperbaiki dirimu dan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh, karena tiada jalan membuat seluruh manusia ridha terhadapmu.” (Hilyatul Auliya' : 9/122).
Rabu, 20 Juli 2011
Musafir
تمر بنا الأيام تترى وإنما
نساق إلى الآجال والعين تنظر
فلا عائد ذاك الشباب الذي مضى
ولا زائل هذا المشيب المكدر
“Hari-hari berlalu kepada kita semua silih berganti;
Kita hanyalah digiring kepada ajal sedangkan mata melihatnya sendiri;
Masa muda yang telah berlalu tidak akan pernah kembali;
Dan uban yang telah keruh tidak akan pernah pergi.”
(Syadzaratudz Dzahab : 6/231).
نساق إلى الآجال والعين تنظر
فلا عائد ذاك الشباب الذي مضى
ولا زائل هذا المشيب المكدر
“Hari-hari berlalu kepada kita semua silih berganti;
Kita hanyalah digiring kepada ajal sedangkan mata melihatnya sendiri;
Masa muda yang telah berlalu tidak akan pernah kembali;
Dan uban yang telah keruh tidak akan pernah pergi.”
(Syadzaratudz Dzahab : 6/231).
Kamis, 14 Juli 2011
Anak Tetangga
Namanya Dayat. Ia adalah anak tetangga sebelah rumah ana. Usianya baru sekitar 8 tahun dan sekarang belajar di sekolah penghafal (tahfiz) Al-Qur’an.
Ana pernah bertanya kepadanya apa cita-citanya? Ia menjawab : “Saya ingin menjadi Ustadz!”. Ana gembira mendengarnya, karena cita-cita semacam itu jarang kita dengar dari anak-anak pada zaman sekarang.
Inti cerita yang ingin ana sampaikan adalah bekalilah anak sedini mungkin dengan pendidikan agama yang kuat. Asas agama yang kuat pada masa kanak-kanak akan membentuk pondasi keimanan dan pengetahuan yang kokoh, sebagai bekal bagi mereka untuk melangkah pada fase selanjutnya. Bahkan tak jarang, 'bonusnya' adalah mendapatkan kemuliaan di waktu masih muda belia.
Lihatlah Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H). Beliau telah hafal Al-Qur’an ketika baru berumur 4 tahun. Ketika umur 7 tahun beliau telah menulis (meriwayatkan) hadits. Dalam kitab Al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah diceritakan Sufyan bin ‘Uyainah ketika umur 10 tahun sudah duduk bersama para ulama di majelis-majelis ilmu. Sehingga kalau ia masuk sebuah majelis ilmu, maka para hadirin akan berkata: “Luaskan tempat untuk Syaikh kecil!”
Semua itu berkat ilmu yang dipelajari sejak dini. Maka kemuliaan juga cepat mendatangi.
Ana pernah bertanya kepadanya apa cita-citanya? Ia menjawab : “Saya ingin menjadi Ustadz!”. Ana gembira mendengarnya, karena cita-cita semacam itu jarang kita dengar dari anak-anak pada zaman sekarang.
Inti cerita yang ingin ana sampaikan adalah bekalilah anak sedini mungkin dengan pendidikan agama yang kuat. Asas agama yang kuat pada masa kanak-kanak akan membentuk pondasi keimanan dan pengetahuan yang kokoh, sebagai bekal bagi mereka untuk melangkah pada fase selanjutnya. Bahkan tak jarang, 'bonusnya' adalah mendapatkan kemuliaan di waktu masih muda belia.
Lihatlah Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198 H). Beliau telah hafal Al-Qur’an ketika baru berumur 4 tahun. Ketika umur 7 tahun beliau telah menulis (meriwayatkan) hadits. Dalam kitab Al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah diceritakan Sufyan bin ‘Uyainah ketika umur 10 tahun sudah duduk bersama para ulama di majelis-majelis ilmu. Sehingga kalau ia masuk sebuah majelis ilmu, maka para hadirin akan berkata: “Luaskan tempat untuk Syaikh kecil!”
Semua itu berkat ilmu yang dipelajari sejak dini. Maka kemuliaan juga cepat mendatangi.
Selasa, 05 Juli 2011
Sibuk
Beberapa waktu belakangan ini kegiatan membaca dan menulis ana agak 'terganggu'. Terganggu karena ana disibukkan dengan urusan dunia dan keluarga. Rasanya agak 'berduka' melihat tumpukan buku yang tidak sempat dibaca, dan sedih memikirkan sederetan ide yang terlintas tapi tidak dapat diwujudkan lewat tulisan.
Mungkin kendalanya ana belum menemukan pengaturan masa yang ideal antara ilmu dan urusan dunia. Atau mungkin juga karena ana kurang berani mengorbankan sedikit urusan dunia.
Dulu Abu Ahmad Nashr bin Ahmad as-Samarqandi berkata : “Ilmu tidak dapat didapatkan kecuali oleh orang yang mengosongkan kedainya, meruntuhkan kebunnya, meninggalkan teman-temannya, dan ketika keluarganya meninggal ia tidak bisa menyaksikan jenazahnya”. Ibnu Jama’ah mengomentari ucapan itu dengan berkata : “Semua ini sekalipun merupakan ungkapan mubalaghah (berlebihan) maksudnya adalah bahwa penuntut ilmu harus menggabungkan hati dan menyatukan pikiran.” (Tadzkirah as-Sami’ wal Mutakallim : 71).
Dulu Abu Ahmad Nashr bin Ahmad as-Samarqandi berkata : “Ilmu tidak dapat didapatkan kecuali oleh orang yang mengosongkan kedainya, meruntuhkan kebunnya, meninggalkan teman-temannya, dan ketika keluarganya meninggal ia tidak bisa menyaksikan jenazahnya”. Ibnu Jama’ah mengomentari ucapan itu dengan berkata : “Semua ini sekalipun merupakan ungkapan mubalaghah (berlebihan) maksudnya adalah bahwa penuntut ilmu harus menggabungkan hati dan menyatukan pikiran.” (Tadzkirah as-Sami’ wal Mutakallim : 71).
Wallahul Musta’an.
Kamis, 16 Juni 2011
Sikap-Sikap Yang Disukai Dan Tidak Disukai Manusia
Ada beberapa adab yang mesti kita perhatikan dalam pergaulan sesama manusia. Diantara adab yang penting adalah hendaklah kita mengetahui sikap-sikap yang disukai manusia dan sikap-sikap yang tidak disukai manusia.
Sikap-sikap yang disukai manusia seperti :
1. Manusia suka kepada orang yang memberi perhatian kepada orang lain.
2. Manusia suka kepada orang yang mau mendengar ucapan mereka.
3. Manusia suka kepada orang yang menjauhi debat kusir.
4. Manusia suka kepada orang yang memberikan penghargaan dan penghormatan kepada orang lain.
5. Manusia suka kepada orang yang memberi kesempatan orang lain untuk maju.
6. Manusia suka kepada orang yang tahu berterima kasih atau suka membalas kebaikan.
7. Manusia suka kepada orang yang menjaga perasaan orang lain.
Sedangkan sikap-sikap yang tidak disukai manusia seperti :
1. Manusia tidak suka diberi nasihat di hadapan orang lain.
2. Manusia tidak suka diberi nasihat secara langsung.
3. Manusia tidak suka kepada orang yang selalu memojokkannya dengan kesalahan-kesalahannya.
4. Manusia tidak suka kepada orang yang tidak pernah melupakan kesalahan orang lain.
5. Manusia tidak suka kepada orang yang sombong.
6. Manusia tidak suka kepada orang yang terburu-buru memvonis orang lain.
7. Manusia tidak suka kepada orang yang mempertahankan kesalahannya, atau orang yang berat untuk merujuk kepada kebenaran setelah dia meyakini kebenaran itu.
8. Manusia tidak suka kepada orang yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya dan menisbatkan kejelekan kepada orang lain.
(Dari buku Adab Bergaul, karangan Ustadz Fariq bin Gasim, hal. 37-81).
Sikap-sikap yang disukai manusia seperti :
1. Manusia suka kepada orang yang memberi perhatian kepada orang lain.
2. Manusia suka kepada orang yang mau mendengar ucapan mereka.
3. Manusia suka kepada orang yang menjauhi debat kusir.
4. Manusia suka kepada orang yang memberikan penghargaan dan penghormatan kepada orang lain.
5. Manusia suka kepada orang yang memberi kesempatan orang lain untuk maju.
6. Manusia suka kepada orang yang tahu berterima kasih atau suka membalas kebaikan.
7. Manusia suka kepada orang yang menjaga perasaan orang lain.
Sedangkan sikap-sikap yang tidak disukai manusia seperti :
1. Manusia tidak suka diberi nasihat di hadapan orang lain.
2. Manusia tidak suka diberi nasihat secara langsung.
3. Manusia tidak suka kepada orang yang selalu memojokkannya dengan kesalahan-kesalahannya.
4. Manusia tidak suka kepada orang yang tidak pernah melupakan kesalahan orang lain.
5. Manusia tidak suka kepada orang yang sombong.
6. Manusia tidak suka kepada orang yang terburu-buru memvonis orang lain.
7. Manusia tidak suka kepada orang yang mempertahankan kesalahannya, atau orang yang berat untuk merujuk kepada kebenaran setelah dia meyakini kebenaran itu.
8. Manusia tidak suka kepada orang yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya dan menisbatkan kejelekan kepada orang lain.
(Dari buku Adab Bergaul, karangan Ustadz Fariq bin Gasim, hal. 37-81).
Kamis, 09 Juni 2011
Berilah Hadiah Untuk Mempererat Ukhuwah
Ana mengenal seorang hamba Allah yang jika mempunyai kelapangan rezeki maka ia salurkan dengan memberi hadiah kepada sahabat-sahabatnya. Hadiah yang paling sering ia berikan adalah buku dan majalah agama. Beliau bercerita bahwa ‘hobi’-nya tersebut ia lakukan untuk mempererat rasa persaudaraan serta sebagai sarana dakwah. Dan berdasarkan pengalamannya, memang terbukti bahwa memberi hadiah sangat efektif untuk mengikat hati seseorang.
Maka alangkah benarnya hadits yang menyatakan :
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai.”
(HR. Al-Baihaqi dalam Sunan-nya : 6/169, dinilai hasan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no.965 dan Syaikh Al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil no.1601).
Dalam sebuah syair disebutkan :
هدايـا النـاس بعضهم لبعض
تولد فـي قلوبهم الوصالا
“Hadiah-hadiah yang diberikan sesama manusia
Dapat mendatangkan keeratan hubungan dalam hati-hati mereka.”
Para salaf dahulu juga telah menerapkan akhlak yang mulia ini, bahkan mereka sanggup mengirim hadiah kepada sahabatnya yang jauh walaupun hadiah tersebut tidak seberapa nilainya. Seperti yang diceritakan Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliya' (8/221), bahwa Muhammad bin Nadhar pernah mengirim sepasang sandal kepada seorang sahabatnya di daerah Abadan. Lalu ia menulis pesan : “Aku mengirimkannya kepadamu walau kusadari engkau tidak membutuhkannya. Akan tetapi, aku ingin engkau tahu bahwa engkau mempunyai tempat dihatiku.”
Maka alangkah benarnya hadits yang menyatakan :
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai.”
(HR. Al-Baihaqi dalam Sunan-nya : 6/169, dinilai hasan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no.965 dan Syaikh Al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil no.1601).
Dalam sebuah syair disebutkan :
هدايـا النـاس بعضهم لبعض
تولد فـي قلوبهم الوصالا
“Hadiah-hadiah yang diberikan sesama manusia
Dapat mendatangkan keeratan hubungan dalam hati-hati mereka.”
Para salaf dahulu juga telah menerapkan akhlak yang mulia ini, bahkan mereka sanggup mengirim hadiah kepada sahabatnya yang jauh walaupun hadiah tersebut tidak seberapa nilainya. Seperti yang diceritakan Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliya' (8/221), bahwa Muhammad bin Nadhar pernah mengirim sepasang sandal kepada seorang sahabatnya di daerah Abadan. Lalu ia menulis pesan : “Aku mengirimkannya kepadamu walau kusadari engkau tidak membutuhkannya. Akan tetapi, aku ingin engkau tahu bahwa engkau mempunyai tempat dihatiku.”
Selasa, 07 Juni 2011
Kisah Perjuangan Sekelompok Narapidana Untuk Menghafal Al-Qur’an
Dr. Yahya Al-Ghautsani berkata :
“Diantara kisah lucu yang saya dengar adalah sekelompok narapidana yang tidak memiliki mushaf. Masing-masing dari mereka membacakan apa yang ia hafal dari Al-Qur’an kepada yang lain, sehingga mereka dapat menghafal Al-Qur’an seluruhnya kecuali satu lembar terakhir dari surah Al-Anfal karena tidak ada seorang pun dari mereka yang hafal. Hal tersebut sangat membuat mereka resah. Hingga tiba giliran salah seorang dari mereka dibawa ke mahkamah untuk diadili. Ketika orang yang hendak diadili itu menunggu proses peradilannya, yang pertama terlintas di benaknya adalah mencari orang yang hafal akhir dari surah Al-Anfal. Dan ia menemukan orang yang hafal akhir surah Al-Anfal dari para hadirin yang menghadiri persidangannya. Sang narapidana itu langsung bergegas menghafalnya. Lalu ketika ia kembali ke penjara ia segera membacakan akhir dari surah Al-Anfal kepada teman-temannya, sehingga mereka dapat menghafalnya seperti menghafal surah Al-Fatihah.”
(Kaifa Tahfazh Al-Qur’an, hal.162, lewat perantaraan buku "Agar Anak Mudah Menghafal Al-Qur’an", Hamdan Hamud Al-Hajiri, hal.179 -dengan peringkasan-).
“Diantara kisah lucu yang saya dengar adalah sekelompok narapidana yang tidak memiliki mushaf. Masing-masing dari mereka membacakan apa yang ia hafal dari Al-Qur’an kepada yang lain, sehingga mereka dapat menghafal Al-Qur’an seluruhnya kecuali satu lembar terakhir dari surah Al-Anfal karena tidak ada seorang pun dari mereka yang hafal. Hal tersebut sangat membuat mereka resah. Hingga tiba giliran salah seorang dari mereka dibawa ke mahkamah untuk diadili. Ketika orang yang hendak diadili itu menunggu proses peradilannya, yang pertama terlintas di benaknya adalah mencari orang yang hafal akhir dari surah Al-Anfal. Dan ia menemukan orang yang hafal akhir surah Al-Anfal dari para hadirin yang menghadiri persidangannya. Sang narapidana itu langsung bergegas menghafalnya. Lalu ketika ia kembali ke penjara ia segera membacakan akhir dari surah Al-Anfal kepada teman-temannya, sehingga mereka dapat menghafalnya seperti menghafal surah Al-Fatihah.”
(Kaifa Tahfazh Al-Qur’an, hal.162, lewat perantaraan buku "Agar Anak Mudah Menghafal Al-Qur’an", Hamdan Hamud Al-Hajiri, hal.179 -dengan peringkasan-).
Rabu, 25 Mei 2011
Adab Menghadiri Majelis Ilmu
Berkata Ibnu Hazm :
“Jika engkau menghadiri majelis ilmu, maka janganlah engkau menghadirinya kecuali kehadiranmu untuk menambah ilmu dan mencari pahala. Dan bukanlah kehadiranmu itu dengan merasa sudah cukup ilmu yang ada padamu, atau demi mencari-cari kesalahan (dari pengajar) untuk menjelekkannya. Hal tersebut adalah perilaku orang-orang yang hina, yang mana mereka tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.”
(Al Akhlaq Was Siyar : 193, Ibnu Hazm al-Andalusi).
“Jika engkau menghadiri majelis ilmu, maka janganlah engkau menghadirinya kecuali kehadiranmu untuk menambah ilmu dan mencari pahala. Dan bukanlah kehadiranmu itu dengan merasa sudah cukup ilmu yang ada padamu, atau demi mencari-cari kesalahan (dari pengajar) untuk menjelekkannya. Hal tersebut adalah perilaku orang-orang yang hina, yang mana mereka tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.”
(Al Akhlaq Was Siyar : 193, Ibnu Hazm al-Andalusi).
Kamis, 19 Mei 2011
Untuk Penggemar Musik
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata :
برئنا إلى الله من معشر
بهم مرض من سماع الغنا
وكم قلتُ يا قوم أنتم على
شَفا جُرُف ما به من بِنَا
شفا جرف تحته هوة
إلى درك كم به من عنا
وتكرار ذا النصح منا لهم
لنعذر فيهم إلى ربنا
فلما استهانوا بتنبيهنا
رجعنا إلى الله في أمرنا
فعشنا على سنة المصطفى
وماتوا على تِنْتِنا تِنْتِنا
“Kami berlepas diri kepada Allah dari orang-orang yang dihinggapi penyakit mendengarkan musik dan nyanyian
Seringkali saya katakan : Wahai kaumku! Sungguh kalian benar-benar berada di tepi jurang kehancuran yang kosong dari bangunan
Tepi jurang yang dibawanya terdapat jurang yang amat dalam, sungguh ini sangat sengsara dan membahayakan
Berkali-kali kami berikan nasehat kepada mereka, agar kami lepas dari tanggung jawab dihadapan Tuhan
Tapi tatkala mereka meremehkan peringatan kami, kamipun menyerahkan kepada Allah semua urusan
Kami tetap hidup di atas tuntunan sunnah Musthofa shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mati bersama tintinan-tintinan*.”
* Tintinan = alunan musik
(Dinukil dari majalah Adz-Dzakhirah edisi 33/1428 H, terjemahan syair oleh Abu Mundzir Muhammad Hadi).
برئنا إلى الله من معشر
بهم مرض من سماع الغنا
وكم قلتُ يا قوم أنتم على
شَفا جُرُف ما به من بِنَا
شفا جرف تحته هوة
إلى درك كم به من عنا
وتكرار ذا النصح منا لهم
لنعذر فيهم إلى ربنا
فلما استهانوا بتنبيهنا
رجعنا إلى الله في أمرنا
فعشنا على سنة المصطفى
وماتوا على تِنْتِنا تِنْتِنا
“Kami berlepas diri kepada Allah dari orang-orang yang dihinggapi penyakit mendengarkan musik dan nyanyian
Seringkali saya katakan : Wahai kaumku! Sungguh kalian benar-benar berada di tepi jurang kehancuran yang kosong dari bangunan
Tepi jurang yang dibawanya terdapat jurang yang amat dalam, sungguh ini sangat sengsara dan membahayakan
Berkali-kali kami berikan nasehat kepada mereka, agar kami lepas dari tanggung jawab dihadapan Tuhan
Tapi tatkala mereka meremehkan peringatan kami, kamipun menyerahkan kepada Allah semua urusan
Kami tetap hidup di atas tuntunan sunnah Musthofa shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mati bersama tintinan-tintinan*.”
* Tintinan = alunan musik
(Dinukil dari majalah Adz-Dzakhirah edisi 33/1428 H, terjemahan syair oleh Abu Mundzir Muhammad Hadi).
Rabu, 18 Mei 2011
Si Bapak Yang Selalu Menangis Ketika Sujud
Ada kelakuan ‘unik’ dari seorang bapak di masjid tempat ana menunaikan sholat. Bapak itu berumur sekitar 40-50 tahun. Ana jarang berbicara dengannya. Tapi ana selalu bertemu dengannya di masjid ketika waktu-waktu sholat. Kelakuan ‘unik’ yang ana maksudkan adalah sang bapak selalu menangis ketika sujud, dan itu selalu ia lakukan di waktu sholat wajib maupun sholat sunnah. Ana mengetahuinya karena ana sering berada di sampingnya ketika sholat.
Awalnya ana sempat heran dan agak terganggu, karena suara tangisannya lumayan keras sehingga dapat didengar oleh orang di sampingnya. Tapi lama-kelamaan ana pun terbiasa dan berusaha untuk berbaik sangka. Apalagi setelah mendengar kisah serupa dari seorang tabi’in bernama Makhul (wafat 118 H). Makhul bercerita : “Aku pernah melihat seseorang mengerjakan sholat. Setiap kali ruku’ dan sujud ia selalu menangis. Lalu aku (berburuk sangka) menuduh ia menangis karena riya’. Namun akibatnya, justru aku tidak bisa menangis (dalam sholat) selama setahun.” (Hilyatul Auliya' : 5/184).
Moral of the story adalah : Jangan terburu-buru menuduh seseorang berbuat riya’ ^_^.
Awalnya ana sempat heran dan agak terganggu, karena suara tangisannya lumayan keras sehingga dapat didengar oleh orang di sampingnya. Tapi lama-kelamaan ana pun terbiasa dan berusaha untuk berbaik sangka. Apalagi setelah mendengar kisah serupa dari seorang tabi’in bernama Makhul (wafat 118 H). Makhul bercerita : “Aku pernah melihat seseorang mengerjakan sholat. Setiap kali ruku’ dan sujud ia selalu menangis. Lalu aku (berburuk sangka) menuduh ia menangis karena riya’. Namun akibatnya, justru aku tidak bisa menangis (dalam sholat) selama setahun.” (Hilyatul Auliya' : 5/184).
Moral of the story adalah : Jangan terburu-buru menuduh seseorang berbuat riya’ ^_^.
Rabu, 11 Mei 2011
Tulisan Di Dinding
Tadi sore ana masuk ke kamar lama ana di lantai atas. Kamar itu adalah kamar ana sewaktu masih bujangan yang sekarang tidak ditempati lagi, karena ana sudah pindah ke kamar di lantai bawah.
Di kamar itu ana tertegun membaca tulisan pada sebuah kertas yang menempel di dinding (dulu ana hampir hafal tulisan itu karena setiap hari membacanya). Ana masih ingat tulisan itu adalah ucapan dari Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu yang ana petik dari buku karangan Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqalani (wafat 852 H) yang berjudul Al Isti’dad bi Yaumi Al Mi’ad.
Inilah tulisan di dinding itu :
“Aku heran dengan orang yang mengetahui kematian, tapi mengapa ia masih tertawa;
Aku heran dengan orang yang tahu bahwa dunia adalah sementara, tapi mengapa ia sangat mencintainya;
Aku heran dengan orang yang mengetahui semua urusan telah ditakdirkan, tapi mengapa ia takut kehilangan;
Aku heran dengan orang yang mengetahui bahwa hisab adalah suatu kepastian, tapi mengapa ia tetap mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya;
Aku heran dengan orang yang mengetahui panasnya api neraka, tapi mengapa ia tetap berbuat dosa;
Aku heran dengan orang yang mengaku mengenal Allah, tapi mengapa ia meminta tolong kepada selain-Nya;
Aku heran kepada orang yang mengaku mengetahui kenikmatan syurga, tapi mengapa ia merasa hidup tenang di dunia;
Dan aku heran kepada orang yang mengetahui syaitan adalah musuhnya, tapi mengapa ia mentaatinya.”
Di kamar itu ana tertegun membaca tulisan pada sebuah kertas yang menempel di dinding (dulu ana hampir hafal tulisan itu karena setiap hari membacanya). Ana masih ingat tulisan itu adalah ucapan dari Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu yang ana petik dari buku karangan Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqalani (wafat 852 H) yang berjudul Al Isti’dad bi Yaumi Al Mi’ad.
Inilah tulisan di dinding itu :
“Aku heran dengan orang yang mengetahui kematian, tapi mengapa ia masih tertawa;
Aku heran dengan orang yang tahu bahwa dunia adalah sementara, tapi mengapa ia sangat mencintainya;
Aku heran dengan orang yang mengetahui semua urusan telah ditakdirkan, tapi mengapa ia takut kehilangan;
Aku heran dengan orang yang mengetahui bahwa hisab adalah suatu kepastian, tapi mengapa ia tetap mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya;
Aku heran dengan orang yang mengetahui panasnya api neraka, tapi mengapa ia tetap berbuat dosa;
Aku heran dengan orang yang mengaku mengenal Allah, tapi mengapa ia meminta tolong kepada selain-Nya;
Aku heran kepada orang yang mengaku mengetahui kenikmatan syurga, tapi mengapa ia merasa hidup tenang di dunia;
Dan aku heran kepada orang yang mengetahui syaitan adalah musuhnya, tapi mengapa ia mentaatinya.”
Rabu, 13 April 2011
Kisah Seorang Pencinta Buku
Al-Jahizh (wafat 255 H) dalam kitabnya Al-Hayawan (1/55) berkata: “Barangsiapa ketika membeli buku tidak merasai kegembiraan melebihi kegembiraan membelanjakan harta untuk orang yang dicintai, atau untuk mendirikan rumah, berarti dia belum dapat dikatakan mencintai ilmu. Tidak berfaedah harta yang dibelanjakannya sehingga ia lebih mengutamakan untuk membeli buku, sebagaimana seorang arab badui yang lebih mengutamakan susu untuk kudanya dibanding untuk keluarganya.”
Al-Jahiz memang terkenal sebagai seorang pencinta buku. Yaqut Al-Hamawi ketika menceritakan biografinya dalam kitab Irsyad al-Arib (16/75), dari Abu Hiffan ia bercerita : “Aku tidak pernah melihat atau mendengar seorangpun yang paling mencintai buku dibanding Al-Jahizh. Tidak ada satupun buku yang dipegangnya kecuali dia habiskan membacanya. Bahkan beliau sempat menyewa beberapa toko buku, kemudian bermalam di sana untuk sekedar membaca!”
Bagaimana dengan anda?
Al-Jahiz memang terkenal sebagai seorang pencinta buku. Yaqut Al-Hamawi ketika menceritakan biografinya dalam kitab Irsyad al-Arib (16/75), dari Abu Hiffan ia bercerita : “Aku tidak pernah melihat atau mendengar seorangpun yang paling mencintai buku dibanding Al-Jahizh. Tidak ada satupun buku yang dipegangnya kecuali dia habiskan membacanya. Bahkan beliau sempat menyewa beberapa toko buku, kemudian bermalam di sana untuk sekedar membaca!”
Bagaimana dengan anda?
Minggu, 10 April 2011
Jangan Berdebat Dengan Orang Jahil
Imam Asy-Syafi’i berkata :
قلوا سكت وقد خوصمت قلت لهم
إن الجواب لباب الشر مفــتاح
والصمت عن جاهل أو أحمق شرف
وفيه أيضا لصون العرض إًصلاح
“Mereka menanyakan mengapa engkau diam padahal engkau telah dihujat, maka kepada mereka aku katakan :
Sesungguhnya menjawab mereka dapat membuka pintu kerusakan;
Sedangkan diam dari orang jahil nan pandir adalah kemuliaan;
Dan dalam diam itu juga merupakan perbaikan untuk terpeliharanya kehormatan.”
قلوا سكت وقد خوصمت قلت لهم
إن الجواب لباب الشر مفــتاح
والصمت عن جاهل أو أحمق شرف
وفيه أيضا لصون العرض إًصلاح
“Mereka menanyakan mengapa engkau diam padahal engkau telah dihujat, maka kepada mereka aku katakan :
Sesungguhnya menjawab mereka dapat membuka pintu kerusakan;
Sedangkan diam dari orang jahil nan pandir adalah kemuliaan;
Dan dalam diam itu juga merupakan perbaikan untuk terpeliharanya kehormatan.”
Rabu, 06 April 2011
Tulisan Tangan
Rasanya sejak ana mengenal komputer, ana jadi jarang menulis dengan tangan. Alasannya tentu karena lebih mudah, cepat, menghemat kertas dan tinta. Oleh karena jarang menulis dengan tangan, ana lihat tulisan tangan ana sekarang bak tulisan dokter yang sulit dibaca. Walau masih bisa dibaca dan belum mencapai derajat manuskrip :-) .
Terbayang bagaimana ulama zaman dulu tanpa peralatan elektronik sanggup menulis kitab sebanyak puluhan bahkan ratusan jilid, dengan tulisan yang rapi dan bagus pula. Bahkan beberapa di antara mereka menulis kitab yang sama berulang-ulang. Seperti Al-Hafidz Al-Mizzi (wafat 742 H). Guru sekaligus mertua dari Ibnu Katsir tersebut dalam beberapa literatur seperti Thabaqat Syafi’iyah Al-Kubra (10/417) diceritakan bahwa Al-Mizzi menyalin kitabnya Tuhfah Al-Asyraf dan Tahzib Al-Kamal lebih dari satu kali.
Padahal kitab Tahdzib Al-Kamal setelah dicetak sekarang terdiri dari 35 jilid (terbitan Muassasah Ar-Risalah, Beirut, cetakan ke-2/1403 H). Nah, bayangkan bagaimana kesungguhan beliau sanggup menyalin kitab tersebut berulang kali. Ada yang mengatakan sebab Al-Hafidz Al-Mizzi menyalin kitab-kitabnya lebih dari satu kali adalah karena kemiskinan yang menimpanya. Sedangkan beliau seorang yang menjaga diri dari meminta-minta kepada manusia. Maka untuk menghidupi kehidupannya beliau menyalin ulang kitab-kitabnya dan menjualnya. Wallahu a’lam.
Sungguh kisah-kisah seperti itu, hanya kita dengar ceritanya dari lembaran-lembaran kitab di masa lalu. Sedangkan di zaman ini jangankan untuk menulis berjilid-jilid buku, untuk membaca buku berjilid-jilid pun rasanya banyak yang tak mampu.
Terbayang bagaimana ulama zaman dulu tanpa peralatan elektronik sanggup menulis kitab sebanyak puluhan bahkan ratusan jilid, dengan tulisan yang rapi dan bagus pula. Bahkan beberapa di antara mereka menulis kitab yang sama berulang-ulang. Seperti Al-Hafidz Al-Mizzi (wafat 742 H). Guru sekaligus mertua dari Ibnu Katsir tersebut dalam beberapa literatur seperti Thabaqat Syafi’iyah Al-Kubra (10/417) diceritakan bahwa Al-Mizzi menyalin kitabnya Tuhfah Al-Asyraf dan Tahzib Al-Kamal lebih dari satu kali.
Padahal kitab Tahdzib Al-Kamal setelah dicetak sekarang terdiri dari 35 jilid (terbitan Muassasah Ar-Risalah, Beirut, cetakan ke-2/1403 H). Nah, bayangkan bagaimana kesungguhan beliau sanggup menyalin kitab tersebut berulang kali. Ada yang mengatakan sebab Al-Hafidz Al-Mizzi menyalin kitab-kitabnya lebih dari satu kali adalah karena kemiskinan yang menimpanya. Sedangkan beliau seorang yang menjaga diri dari meminta-minta kepada manusia. Maka untuk menghidupi kehidupannya beliau menyalin ulang kitab-kitabnya dan menjualnya. Wallahu a’lam.
Sungguh kisah-kisah seperti itu, hanya kita dengar ceritanya dari lembaran-lembaran kitab di masa lalu. Sedangkan di zaman ini jangankan untuk menulis berjilid-jilid buku, untuk membaca buku berjilid-jilid pun rasanya banyak yang tak mampu.
Senin, 04 April 2011
Yang Perlu Diperhatikan Dalam Berdakwah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Yusuf ayat 108 :
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian (kepada) Allah dengan hujjah yang nyata.”
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- dalam kitab Zaad ad-Daa’iyah Ilallah : “Maksud عَلَىٰ بَصِيرَةٍ (dengan hujjah) pada ayat tersebut meliputi tiga perkara :
1. Mengetahui tentang apa yang akan didakwahkan
Seorang yang ingin berdakwah hendaklah mengetahui hukum syari'at. Karena jika tidak, maka boleh jadi ia mengajak orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai suatu kewajiban, padahal sesungguhnya dalam syari'at Allah perbuatan tersebut tidaklah wajib, maka ia telah mewajibkan manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah. Dan sebaliknya boleh jadi ia melarang orang lain melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai hal yang haram, padahal sesungguhnya dalam agama Allah hal tersebut bukanlah suatu yang haram, maka ia telah mengharamkan manusia apa yang Allah halalkan untuk mereka.
2. Mengetahui tentang keadaan orang yang didakwahi
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”, tujuannya agar Muadz mengetahui dan bersiap-siap untuk menghadapi mereka.
Maka orang yang hendak berdakwah harus mengetahui keadaan orang yang didakwahi. Sejauh mana kapasitas ilmunya? Sejauh mana kemampuan bicaranya? Supaya ia memposisikan diri secara matang dalam berdiskusi. Karena seandainya ia membawa kebenaran lalu berdebat dengan orang yang jauh lebih pandai dalam berbicara, justru ia yang akan terpojokkan. Maka jadilah musibah besar terhadap kebenaran karena disangka sebagai kebatilan dan ia adalah penyebabnya. Dan janganlah menyangka bahwa pendukung kebatilan itu mesti kalah dalam berbicara pada setiap keadaan.
3. Mengetahui tentang cara berdakwah yang syar’i
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. An-Nahl : 125).
Sebagian da'i ketika ia melihat kemungkaran segera menyerangnya tanpa berfikir dampak dari perbuatannya. Padahal dampaknya bukan saja menimpa dirinya pribadi, tetapi berdampak juga bagi teman-temannya sesama da'i. Oleh sebab itu, setiap da'i sebelum bergerak melakukan sesuatu hendaknya memikirkan apa yang mungkin akan terjadi dan menimbangnya dengan tidak tergesa-gesa.
Maka saya menganjurkan saudara-saudaraku para da'i untuk menggunakan hikmah dan ketelitian, dan perkara ini meskipun terkesan lambat tetapi membawa akibat yang terpuji dengan kehendak Allah.”
(Dari buku Fikih Nasehat, hal. 81-84, Ust. Fariq Qasim -dengan peringkasan dan sedikit perubahan redaksi-).
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian (kepada) Allah dengan hujjah yang nyata.”
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- dalam kitab Zaad ad-Daa’iyah Ilallah : “Maksud عَلَىٰ بَصِيرَةٍ (dengan hujjah) pada ayat tersebut meliputi tiga perkara :
1. Mengetahui tentang apa yang akan didakwahkan
Seorang yang ingin berdakwah hendaklah mengetahui hukum syari'at. Karena jika tidak, maka boleh jadi ia mengajak orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai suatu kewajiban, padahal sesungguhnya dalam syari'at Allah perbuatan tersebut tidaklah wajib, maka ia telah mewajibkan manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah. Dan sebaliknya boleh jadi ia melarang orang lain melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai hal yang haram, padahal sesungguhnya dalam agama Allah hal tersebut bukanlah suatu yang haram, maka ia telah mengharamkan manusia apa yang Allah halalkan untuk mereka.
2. Mengetahui tentang keadaan orang yang didakwahi
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”, tujuannya agar Muadz mengetahui dan bersiap-siap untuk menghadapi mereka.
Maka orang yang hendak berdakwah harus mengetahui keadaan orang yang didakwahi. Sejauh mana kapasitas ilmunya? Sejauh mana kemampuan bicaranya? Supaya ia memposisikan diri secara matang dalam berdiskusi. Karena seandainya ia membawa kebenaran lalu berdebat dengan orang yang jauh lebih pandai dalam berbicara, justru ia yang akan terpojokkan. Maka jadilah musibah besar terhadap kebenaran karena disangka sebagai kebatilan dan ia adalah penyebabnya. Dan janganlah menyangka bahwa pendukung kebatilan itu mesti kalah dalam berbicara pada setiap keadaan.
3. Mengetahui tentang cara berdakwah yang syar’i
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. An-Nahl : 125).
Sebagian da'i ketika ia melihat kemungkaran segera menyerangnya tanpa berfikir dampak dari perbuatannya. Padahal dampaknya bukan saja menimpa dirinya pribadi, tetapi berdampak juga bagi teman-temannya sesama da'i. Oleh sebab itu, setiap da'i sebelum bergerak melakukan sesuatu hendaknya memikirkan apa yang mungkin akan terjadi dan menimbangnya dengan tidak tergesa-gesa.
Maka saya menganjurkan saudara-saudaraku para da'i untuk menggunakan hikmah dan ketelitian, dan perkara ini meskipun terkesan lambat tetapi membawa akibat yang terpuji dengan kehendak Allah.”
(Dari buku Fikih Nasehat, hal. 81-84, Ust. Fariq Qasim -dengan peringkasan dan sedikit perubahan redaksi-).
Selasa, 29 Maret 2011
Sepenggal Perkataan Yang Menyentuh Jiwa
Umar bin Abdul Aziz pernah berkhutbah menasihati manusia -dan itu adalah khutbah terakhirnya sebelum beliau wafat-, beliau mengingatkan tentang dunia yang fana, akhirat yang kekal, dan kematian yang dapat datang tiba-tiba. Lalu di akhir khutbahnya beliau berkata :
“Aku mengucapkan kata-kata ini kepada kalian dan tidak ada seorangpun yang aku ketahui lebih banyak dosanya dibanding diriku. Hanya saja aku selalu memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya.”
Setelah itu beliau menangis tersedu-sedu kemudian turun dari mimbar. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. (Latho-if al-Ma’arif, hal. 351, Ibnu Rajab al-Hanbali).
(Ana mengenal seorang lelaki yang juga menangis tersedu-sedu setiap teringat perkataan Umar bin Abdul Aziz itu. Semoga Allah Ta'ala selalu menjaganya).
“Aku mengucapkan kata-kata ini kepada kalian dan tidak ada seorangpun yang aku ketahui lebih banyak dosanya dibanding diriku. Hanya saja aku selalu memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya.”
Setelah itu beliau menangis tersedu-sedu kemudian turun dari mimbar. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. (Latho-if al-Ma’arif, hal. 351, Ibnu Rajab al-Hanbali).
(Ana mengenal seorang lelaki yang juga menangis tersedu-sedu setiap teringat perkataan Umar bin Abdul Aziz itu. Semoga Allah Ta'ala selalu menjaganya).
Kamis, 24 Maret 2011
Obat Hati
Berkata Ibnu Ruslan :
دواء قلبك خمس عند قسوته
فادأب عليها تفز بالخير والظفر
خلاء بطن وقرآن تدبـره
كذا تضرّع باك ساعة السحـر
ثم التهجد جنح الليل أوسطه
وأن تجالس أهل الخير والخيـر
“Obat hatimu yang keras ada lima
Amalkan kelima hal itu niscaya anda akan selamat :
(1)Tidak mengenyangkan perut dan (2) merenungkan makna Al-Qur’an
(3) Rendah diri pada-Nya dengan menangis sesaat di waktu sahur
(4) Lalu shalat tahajud di malam hari
(5) Dan bergaullah dengan orang-orang yang baik dan soleh.”
دواء قلبك خمس عند قسوته
فادأب عليها تفز بالخير والظفر
خلاء بطن وقرآن تدبـره
كذا تضرّع باك ساعة السحـر
ثم التهجد جنح الليل أوسطه
وأن تجالس أهل الخير والخيـر
“Obat hatimu yang keras ada lima
Amalkan kelima hal itu niscaya anda akan selamat :
(1)Tidak mengenyangkan perut dan (2) merenungkan makna Al-Qur’an
(3) Rendah diri pada-Nya dengan menangis sesaat di waktu sahur
(4) Lalu shalat tahajud di malam hari
(5) Dan bergaullah dengan orang-orang yang baik dan soleh.”
Selasa, 22 Maret 2011
Rahasia Keutamaan Mereka
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah berkata kepada para sahabatnya (dari kalangan tabi’in) : “Kalian lebih banyak puasa dan shalat dibanding para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi mereka tetap lebih baik daripada kalian.” Para sahabat Ibnu Mas’ud bertanya : “Mengapa bisa demikian?” Ibnu Mas’ud menjawab : “Karena mereka lebih zuhud terhadap dunia dan lebih cinta terhadap akhirat dibanding kalian.”
Bakr al-Muzani berkata : “Keutamaan Abu Bakar dibanding sahabat yang lain bukanlah dengan banyaknya puasa maupun shalat, tetapi dengan apa yang ada di dalam dadanya.” Salah seorang salafus shalih berkata : “Hal yang ada di dalam dada Abu Bakar adalah cinta kepada Allah dan selalu memberi nasihat kepada manusia.”
Fatimah binti Abdul Malik, istri dari Umar bin Abdul Aziz, setelah wafat suaminya ditanya tentang amalan suaminya, maka ia menjawab : “Demi Allah, dia bukanlah seorang yang paling banyak shalat ataupun puasanya. Tetapi, demi Allah, aku tidak melihat seorang pun yang lebih takut kepada Allah dibanding dirinya. Dia berdzikir diatas kasur, lalu tubuhnya berguncang bak burung kecil yang sangat ketakutan, sehingga kami berkata, ‘Besok orang-orang akan kehilangan seorang khalifah’.”
Salah seorang ulama salaf berkata : “Tidaklah kami mencapai derajat yang tinggi dengan banyaknya shalat atau puasa. Tetapi kami mencapainya dengan kemurahan hati, keselamatan jiwa, rendah hati, dan selalu menasihati manusia.”
(Latho-if al-Ma’arif, hal. 563-564, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Bakr al-Muzani berkata : “Keutamaan Abu Bakar dibanding sahabat yang lain bukanlah dengan banyaknya puasa maupun shalat, tetapi dengan apa yang ada di dalam dadanya.” Salah seorang salafus shalih berkata : “Hal yang ada di dalam dada Abu Bakar adalah cinta kepada Allah dan selalu memberi nasihat kepada manusia.”
Fatimah binti Abdul Malik, istri dari Umar bin Abdul Aziz, setelah wafat suaminya ditanya tentang amalan suaminya, maka ia menjawab : “Demi Allah, dia bukanlah seorang yang paling banyak shalat ataupun puasanya. Tetapi, demi Allah, aku tidak melihat seorang pun yang lebih takut kepada Allah dibanding dirinya. Dia berdzikir diatas kasur, lalu tubuhnya berguncang bak burung kecil yang sangat ketakutan, sehingga kami berkata, ‘Besok orang-orang akan kehilangan seorang khalifah’.”
Salah seorang ulama salaf berkata : “Tidaklah kami mencapai derajat yang tinggi dengan banyaknya shalat atau puasa. Tetapi kami mencapainya dengan kemurahan hati, keselamatan jiwa, rendah hati, dan selalu menasihati manusia.”
(Latho-if al-Ma’arif, hal. 563-564, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Minggu, 20 Maret 2011
Sebaik-baik Lauk Adalah Cuka?
Mungkin ada yang mengira bahwa cuka adalah makanan terbaik berdasarkan hadits ini :
“Dari Jabir bin Abdullah menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta lauk kepada istrinya-istrinya, lalu mereka menjawab : "Kita tidak punya apa-apa selain cuka." Beliau menyuruh diambilkan (cuka itu), lalu beliau makan dengan cuka tersebut sambil bersabda : 'Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka'.” (HR. Muslim).
Benarkah sebaik-baik lauk adalah cuka?
Tentu saja tidak, karena di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada makanan lain yang lebih enak, seperti daging, roti, keju, dsb. Tapi mengapa Nabi mengatakan sebaik-baik lauk adalah cuka?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan demikian untuk menjaga perasaan istrinya. Perhatikan kembali hadits tersebut. Para istri beliau sebelumnya berkata : “Kita tidak punya apa-apa selain cuka”. Maka Rasulullah berusaha menjaga perasaan mereka dengan memuji makanan yang ada, walaupun yang tersedia hanyalah cuka!
Faedah dari hadits ini adalah disunnahkan bagi para suami untuk memuji makanan yang disediakan sang istri, menghargai masakannya, serta tidak mencela makanan yang ada walaupun sebenarnya sang suami kurang menyukai makanan tersebut ^_^.
P/s : Terimakasih kepada istri ana yang telah mengingatkan faedah hadits ini :-)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ
“Dari Jabir bin Abdullah menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta lauk kepada istrinya-istrinya, lalu mereka menjawab : "Kita tidak punya apa-apa selain cuka." Beliau menyuruh diambilkan (cuka itu), lalu beliau makan dengan cuka tersebut sambil bersabda : 'Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka'.” (HR. Muslim).
Benarkah sebaik-baik lauk adalah cuka?
Tentu saja tidak, karena di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada makanan lain yang lebih enak, seperti daging, roti, keju, dsb. Tapi mengapa Nabi mengatakan sebaik-baik lauk adalah cuka?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan demikian untuk menjaga perasaan istrinya. Perhatikan kembali hadits tersebut. Para istri beliau sebelumnya berkata : “Kita tidak punya apa-apa selain cuka”. Maka Rasulullah berusaha menjaga perasaan mereka dengan memuji makanan yang ada, walaupun yang tersedia hanyalah cuka!
Faedah dari hadits ini adalah disunnahkan bagi para suami untuk memuji makanan yang disediakan sang istri, menghargai masakannya, serta tidak mencela makanan yang ada walaupun sebenarnya sang suami kurang menyukai makanan tersebut ^_^.
P/s : Terimakasih kepada istri ana yang telah mengingatkan faedah hadits ini :-)
Senin, 14 Maret 2011
Jangan Terlalu Larut Dalam Perkara Dunia
Al-Hasan berkata : “Janganlah kalian sibuk dengan urusan dunia, karena dunia itu sangat menyibukkan. Tidaklah seseorang membukakan pintu kesibukan untuk dirinya, melainkan akan terbuka baginya sepuluh pintu kesibukan lainnya”. (Az-Zuhd : 189, Ibnul Mubarak).
Alangkah benarnya perkataan beliau. Betapa sering manusia larut dalam perkara dunia yang dianggapnya mubah, dan mereka tenggelam di dalamnya. Padahal boleh jadi perkara mubah itu dapat membawa kepada perkara makruh, bahkan perkara haram. Atau kerusakan yang paling ringan adalah hilangnya waktu/masa dalam perkara tiada manfaatnya. Waktu yang jika digunakan untuk membaca Al-Qur’an, maka mungkin 1 juz akan diselesaikan. Jika digunakan untuk membaca buku-buku agama, maka akan didapatkan pelbagai ilmu yang menakjubkan. Atau jika digunakan untuk mendengarkan kajian-kajian, maka akan bertambah faedah-faedah dalam ingatan.
Para salaf sejak dahulu telah mengingatkan bahwa dunia dan akhirat di dalam hati bagaikan dua sisi timbangan. Jika sisi salah satunya lebih berat, maka sisi lainnya akan menjadi ringan. Oleh sebab itu, semestinya bagi seseorang yang mengharapkan derajat tinggi di akhirat nanti, berusaha untuk melatih jiwanya mengambil secukupnya saja perkara-perkara mubah dalam urusan dunia ini. Imam Ibnul Qayyim berkata : “Barangsiapa bercita-cita meraih perkara-perkara yang tinggi (surga), maka wajib baginya mengatasi kecintaan pada perkara-perkara yang rendah (dunia)”. (Miftah Dar as-Sa’adah : 1/108).
Alangkah benarnya perkataan beliau. Betapa sering manusia larut dalam perkara dunia yang dianggapnya mubah, dan mereka tenggelam di dalamnya. Padahal boleh jadi perkara mubah itu dapat membawa kepada perkara makruh, bahkan perkara haram. Atau kerusakan yang paling ringan adalah hilangnya waktu/masa dalam perkara tiada manfaatnya. Waktu yang jika digunakan untuk membaca Al-Qur’an, maka mungkin 1 juz akan diselesaikan. Jika digunakan untuk membaca buku-buku agama, maka akan didapatkan pelbagai ilmu yang menakjubkan. Atau jika digunakan untuk mendengarkan kajian-kajian, maka akan bertambah faedah-faedah dalam ingatan.
Para salaf sejak dahulu telah mengingatkan bahwa dunia dan akhirat di dalam hati bagaikan dua sisi timbangan. Jika sisi salah satunya lebih berat, maka sisi lainnya akan menjadi ringan. Oleh sebab itu, semestinya bagi seseorang yang mengharapkan derajat tinggi di akhirat nanti, berusaha untuk melatih jiwanya mengambil secukupnya saja perkara-perkara mubah dalam urusan dunia ini. Imam Ibnul Qayyim berkata : “Barangsiapa bercita-cita meraih perkara-perkara yang tinggi (surga), maka wajib baginya mengatasi kecintaan pada perkara-perkara yang rendah (dunia)”. (Miftah Dar as-Sa’adah : 1/108).
Rabu, 02 Maret 2011
Sesuaikah Ilmu Dengan Amal Anda?
Beberapa hari yang lalu ketika ana mencari sebuah buku di lemari buku, ana melihat sebuah buku yang sudah lama ana tidak mengulang membacanya. Bukunya berjudul : “Sesuaikah Ilmu Dengan Amal Anda”. Sebuah buku terjemahan dari karya Al Imam Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) yang berjudul Iqthido’ Al Ilmi Al Amal. Buku itu ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Edisi terjemahan diterbitkan oleh Pustaka At Tauhid, Jakarta, 2002.
Bukunya tidak terlalu tebal, hanya 132 halaman. Tapi memuat banyak sekali faedah-faedah. Penulis buku menguraikan pembahasan dalam 12 bab yaitu :
Bab 1 : Pertanggung jawaban ilmu dan amal pada hari kiamat.
Bab 2 : Ancaman bagi orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya serta perbedaannya dengan orang yang mengamalkannya, ditinjau dari segi hukum.
Bab 3 : Ancaman bagi orang yang menuntut ilmu untuk berbangga-bangga, riya’, dan untuk mencapai tujuan tertentu.
Bab 4 : Larangan dan ancaman bagi orang yang membaca Al-Qur’an untuk mencari ketenaran dan kemasyhuran, bukan untuk mengamalkannya dan mencari pahala.
Bab 5 : Ancaman bagi orang yang hanya membaca Al-Qur’an tanpa memperdulikan hukum-hukumnya.
Bab 6 : Larangan menuntut ilmu bila digunakan untuk selain ibadah.
Bab 7 : Makruhnya menuntut ilmu untuk berbangga-bangga, membuat majelis, mencari pengikut dan teman.
Bab 8 : Makruhnya mempelajari ilmu nahwu bagi orang yang dikhawatirkan akan timbul dalam dirinya sifat sombong dan angkuh.
Bab 9 : Berpegang kepada keyakinan tentang akhirat.
Bab 10 : Amal adalah bekal dan simpanan yang paling berharga pada hari kiamat.
Bab 11 : Memanfaatkan waktu muda, waktu sehat dan waktu luang untuk segera berbuat amal sebelum ajal tiba.
Bab 12 : Menunda-nunda adalah perbuatan tercela.
Setiap bab diawali dengan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian perkataan dari para Sahabat, perkataan dari para Tabi’in, perkataan dari para Tabi’ut Tabi’in, dan perkataan generasi salaf seterusnya.
Banyak sekali kata-kata hikmah serta syair-syair dari para salafus shalih dalam buku itu sebagai pengingat dan penyejuk jiwa. Diantaranya adalah syair yang terdapat pada Bab 8 ketika membahas para ahli nahwu yang sibuk mempelajari bahasa tapi lupa untuk beramal, sehingga sebagian mereka yang insyaf berkata:
لم نؤت من جهل ولكننا
نستر وجه العلم بالجهل
نكره أن نلحن في قولنا
ولا نبالي اللحن في الفعل
“Bukan kebodohan yang mendatangi kami,
Tetapi kamilah yang menyelubungi wajah ilmu dengan kebodohan,
Kami benci keliru dalam berucap,
Tetapi kami tidak memperdulikan kekeliruan dalam beramal.”
Seorang salaf bernama Ibrahim bin Adham berkata : “Kami sangat teliti dalam berbicara dan tidak pernah keliru, tetapi kami salah dalam beramal dan tidak mengintrospeksi diri.”
Masih banyak kata-kata mutiara lainnya dalam buku itu. Kata-kata yang memberi motivasi dan peringatan agar jangan sibuk menuntut ilmu sampai lupa beramal, segera beramal setelah berilmu, dan mengikhlaskan niat dalam beramal.
Maka segeralah beramal wahai saudaraku, karena umur manusia sangatlah pendek, sementara tidak diketahui kapan datangnya ajal.
Bukunya tidak terlalu tebal, hanya 132 halaman. Tapi memuat banyak sekali faedah-faedah. Penulis buku menguraikan pembahasan dalam 12 bab yaitu :
Bab 1 : Pertanggung jawaban ilmu dan amal pada hari kiamat.
Bab 2 : Ancaman bagi orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya serta perbedaannya dengan orang yang mengamalkannya, ditinjau dari segi hukum.
Bab 3 : Ancaman bagi orang yang menuntut ilmu untuk berbangga-bangga, riya’, dan untuk mencapai tujuan tertentu.
Bab 4 : Larangan dan ancaman bagi orang yang membaca Al-Qur’an untuk mencari ketenaran dan kemasyhuran, bukan untuk mengamalkannya dan mencari pahala.
Bab 5 : Ancaman bagi orang yang hanya membaca Al-Qur’an tanpa memperdulikan hukum-hukumnya.
Bab 6 : Larangan menuntut ilmu bila digunakan untuk selain ibadah.
Bab 7 : Makruhnya menuntut ilmu untuk berbangga-bangga, membuat majelis, mencari pengikut dan teman.
Bab 8 : Makruhnya mempelajari ilmu nahwu bagi orang yang dikhawatirkan akan timbul dalam dirinya sifat sombong dan angkuh.
Bab 9 : Berpegang kepada keyakinan tentang akhirat.
Bab 10 : Amal adalah bekal dan simpanan yang paling berharga pada hari kiamat.
Bab 11 : Memanfaatkan waktu muda, waktu sehat dan waktu luang untuk segera berbuat amal sebelum ajal tiba.
Bab 12 : Menunda-nunda adalah perbuatan tercela.
Setiap bab diawali dengan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian perkataan dari para Sahabat, perkataan dari para Tabi’in, perkataan dari para Tabi’ut Tabi’in, dan perkataan generasi salaf seterusnya.
Banyak sekali kata-kata hikmah serta syair-syair dari para salafus shalih dalam buku itu sebagai pengingat dan penyejuk jiwa. Diantaranya adalah syair yang terdapat pada Bab 8 ketika membahas para ahli nahwu yang sibuk mempelajari bahasa tapi lupa untuk beramal, sehingga sebagian mereka yang insyaf berkata:
لم نؤت من جهل ولكننا
نستر وجه العلم بالجهل
نكره أن نلحن في قولنا
ولا نبالي اللحن في الفعل
“Bukan kebodohan yang mendatangi kami,
Tetapi kamilah yang menyelubungi wajah ilmu dengan kebodohan,
Kami benci keliru dalam berucap,
Tetapi kami tidak memperdulikan kekeliruan dalam beramal.”
Seorang salaf bernama Ibrahim bin Adham berkata : “Kami sangat teliti dalam berbicara dan tidak pernah keliru, tetapi kami salah dalam beramal dan tidak mengintrospeksi diri.”
Masih banyak kata-kata mutiara lainnya dalam buku itu. Kata-kata yang memberi motivasi dan peringatan agar jangan sibuk menuntut ilmu sampai lupa beramal, segera beramal setelah berilmu, dan mengikhlaskan niat dalam beramal.
Maka segeralah beramal wahai saudaraku, karena umur manusia sangatlah pendek, sementara tidak diketahui kapan datangnya ajal.
Minggu, 27 Februari 2011
Buah Keikhlasan Dalam Berdakwah
Ana mengenal dua orang da'i di suatu kota. Sebut saja namanya da'i A dan da'i B. Mereka sama-sama berdakwah di jalan Ahlus Sunnah. Akidah dan manhaj mereka sama. Buku-buku rujukan mereka juga serupa.
Da'i A seorang yang kaya raya, mempunyai koleksi buku yang tak terhitung banyaknya, bahkan beliau seorang pengurus Majelis Ulama di kotanya.Tapi majelis taklimnya hanya sedikit dihadiri manusia, walaupun sang da'i sudah mengiklankan lewat radio mengenai jadwal taklimnya.
Sedangkan da'i B, adalah seorang yang hidupnya sederhana. Kemana-mana ia hanya naik sepeda (ana lihat beliau sekarang sudah naik motor, walaupun motor tua, alhamdulillah). Tidak pernah mempromosikan kegiatan dakwahnya. Koleksi buku-bukunya juga tidak sampai memenuhi lemarinya (bahkan banyak bukunya hanyalah buku terjemahan saja). Tapi majelis taklimnya dihadiri ramai manusia, dan permintaan untuk berceramah selalu mendatanginya.
Ana memikirkan kejadian itu, dan mendapatkan faedah bahwa dakwah amatlah memerlukan keikhlasan dan tidak cukup berbekal ketinggian ilmu semata. Dakwah semestinya tidak mempunyai tujuan lain selain hanya mengharap ridha Allah dan bukan mencari ridha manusia. Sungguh, jika Allah mencintai seseorang maka Allah akan menjadikan manusia lain turut mencintai orang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menyeru Jibril : "Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia." Maka Jibril pun mencintai orang tersebut, lalu Jibril menyeru kepada penghuni langit : "Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah fulan" maka penduduk langit pun mencintai orang tersebut, hingga akhirnya ditetapkan bagi fulan untuk diterima di bumi (maksudnya penduduk bumi juga mencintai orang tersebut -ket)." (HR. Bukhari).
Niat ikhlas dalam berdakwah juga akan membuahkan hasil yang tidak disangka-sangka. Ana teringat dengan pengalaman seorang hamba Allah -sebut saja namanya Abdullah-. Abdullah beberapa tahun yang lalu gemar menulis artikel agama dan menyebarkannya dalam bentuk pamflet maupun buletin. Beliau mengerjakan itu semua bukan untuk mencari popularitas, tidak pula agar dipuji manusia, bukan pula agar ia dipanggil 'ustadz'. Ia menyebarkan artikel-artikelnya hanya untuk menyebarkan ilmu dan mencari keridhaan Allah. Beberapa tahun kemudian, Abdullah baru mengetahui -tanpa disengaja- ternyata artikel-artikelnya telah diperbanyak orang untuk kepentingan dakwah. Subhanallah, ternyata Allah membalas dengan 'memperbanyak' artikel-artikelnya sehingga tulisannya tersebar di mana-mana.
Keikhlasan dalam berdakwah juga akan membuahkan hasil walaupun orang itu sudah meninggal dunia. Dikatakan bahwa diantara sebab kitab-kitab Imam an-Nawawi (wafat 676 H) -seperti kitab Arba'in dan Riyadhus Shalihin- sangat terkenal dan dibaca manusia sampai sekarang adalah karena keikhlasan beliau dalam menulisnya. Padahal Imam an-Nawawi bukanlah orang yang paling pandai (‘alim) di zamannya. Tapi karena keikhlasannya, maka Allah memberkahi tulisan-tulisannya sehingga kitab-kitabnya sampai saat ini selalu menjadi rujukan manusia.
Semoga Allah mengkaruniakan niat yang ikhlas dalam berdakwah kepada kita semua.
Da'i A seorang yang kaya raya, mempunyai koleksi buku yang tak terhitung banyaknya, bahkan beliau seorang pengurus Majelis Ulama di kotanya.Tapi majelis taklimnya hanya sedikit dihadiri manusia, walaupun sang da'i sudah mengiklankan lewat radio mengenai jadwal taklimnya.
Sedangkan da'i B, adalah seorang yang hidupnya sederhana. Kemana-mana ia hanya naik sepeda (ana lihat beliau sekarang sudah naik motor, walaupun motor tua, alhamdulillah). Tidak pernah mempromosikan kegiatan dakwahnya. Koleksi buku-bukunya juga tidak sampai memenuhi lemarinya (bahkan banyak bukunya hanyalah buku terjemahan saja). Tapi majelis taklimnya dihadiri ramai manusia, dan permintaan untuk berceramah selalu mendatanginya.
Ana memikirkan kejadian itu, dan mendapatkan faedah bahwa dakwah amatlah memerlukan keikhlasan dan tidak cukup berbekal ketinggian ilmu semata. Dakwah semestinya tidak mempunyai tujuan lain selain hanya mengharap ridha Allah dan bukan mencari ridha manusia. Sungguh, jika Allah mencintai seseorang maka Allah akan menjadikan manusia lain turut mencintai orang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي أَهْلِ الْأَرْضِ
"Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menyeru Jibril : "Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia." Maka Jibril pun mencintai orang tersebut, lalu Jibril menyeru kepada penghuni langit : "Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah fulan" maka penduduk langit pun mencintai orang tersebut, hingga akhirnya ditetapkan bagi fulan untuk diterima di bumi (maksudnya penduduk bumi juga mencintai orang tersebut -ket)." (HR. Bukhari).
Niat ikhlas dalam berdakwah juga akan membuahkan hasil yang tidak disangka-sangka. Ana teringat dengan pengalaman seorang hamba Allah -sebut saja namanya Abdullah-. Abdullah beberapa tahun yang lalu gemar menulis artikel agama dan menyebarkannya dalam bentuk pamflet maupun buletin. Beliau mengerjakan itu semua bukan untuk mencari popularitas, tidak pula agar dipuji manusia, bukan pula agar ia dipanggil 'ustadz'. Ia menyebarkan artikel-artikelnya hanya untuk menyebarkan ilmu dan mencari keridhaan Allah. Beberapa tahun kemudian, Abdullah baru mengetahui -tanpa disengaja- ternyata artikel-artikelnya telah diperbanyak orang untuk kepentingan dakwah. Subhanallah, ternyata Allah membalas dengan 'memperbanyak' artikel-artikelnya sehingga tulisannya tersebar di mana-mana.
Keikhlasan dalam berdakwah juga akan membuahkan hasil walaupun orang itu sudah meninggal dunia. Dikatakan bahwa diantara sebab kitab-kitab Imam an-Nawawi (wafat 676 H) -seperti kitab Arba'in dan Riyadhus Shalihin- sangat terkenal dan dibaca manusia sampai sekarang adalah karena keikhlasan beliau dalam menulisnya. Padahal Imam an-Nawawi bukanlah orang yang paling pandai (‘alim) di zamannya. Tapi karena keikhlasannya, maka Allah memberkahi tulisan-tulisannya sehingga kitab-kitabnya sampai saat ini selalu menjadi rujukan manusia.
Semoga Allah mengkaruniakan niat yang ikhlas dalam berdakwah kepada kita semua.
Selasa, 22 Februari 2011
Qona’ah
Qona’ah adalah merasa cukup dengan apa yang telah Allah karuniakan kepada kita. Dalam prakteknya, qona’ah tidaklah mudah seperti yang dikira. Karena tabiat manusia adalah menyenangi dunia dan selalu berusaha memperbanyak harta. Maka sifat qona’ah menjadi langka dan hanya sedikit manusia yang memilikinya.
Sebenarnya faedah terbesar dari qona’ah adalah merasakan ketenangan jiwa. Orang yang qona’ah selalu merasa puas dan ridha dengan apa yang telah ada, sehingga ia dapat fokus mengumpulkan bekal untuk menyambut kematian yang tak diketahui kapan datangnya. Seorang salaf yang bernama Syumaith bin ‘Ajlan pernah berkata : “Siapa yang menjadikan kematian di hadapannya, niscaya dia tidak akan peduli akan sempit atau luasnya dunia.” (Shifatush Shafwah : 2/166).
Seorang penyair berkata :
هي القناعة لا تبغي بها بديلا
فيها النعيم وفيها راحة البدن
انظرلمن ملك الدنيا بأجمعها
هل راح بغير القطن والكفن
“Ia adalah sifat qona'ah yang tidak ada gantinya,
Di dalamnya ada kenikmatan dan kesenangan untuk badan,
Lihatlah orang yang memiliki dunia dengan apa yang dikumpulkannya,
Apakah dia pergi dengan selain kapas dan kafan.”
Sebenarnya faedah terbesar dari qona’ah adalah merasakan ketenangan jiwa. Orang yang qona’ah selalu merasa puas dan ridha dengan apa yang telah ada, sehingga ia dapat fokus mengumpulkan bekal untuk menyambut kematian yang tak diketahui kapan datangnya. Seorang salaf yang bernama Syumaith bin ‘Ajlan pernah berkata : “Siapa yang menjadikan kematian di hadapannya, niscaya dia tidak akan peduli akan sempit atau luasnya dunia.” (Shifatush Shafwah : 2/166).
Seorang penyair berkata :
هي القناعة لا تبغي بها بديلا
فيها النعيم وفيها راحة البدن
انظرلمن ملك الدنيا بأجمعها
هل راح بغير القطن والكفن
“Ia adalah sifat qona'ah yang tidak ada gantinya,
Di dalamnya ada kenikmatan dan kesenangan untuk badan,
Lihatlah orang yang memiliki dunia dengan apa yang dikumpulkannya,
Apakah dia pergi dengan selain kapas dan kafan.”
Selasa, 08 Februari 2011
Penyebab Kedamaian Hati
Al-Hasan pernah berkata : “Carilah kenikmatan (kedamaian hati) dalam tiga perkara, yakni dalam shalat, dalam membaca Al-Qur’an, dan dalam berzikir. Jika tidak menemukan kenikmatan dalam perkara tersebut maka ketahuilah bahwa pintu hati anda telah tertutup oleh kabut dosa.” (Hilyatul Auliya’ : 6/171, Abu Nu’aim Al-Ashfahani).
Alangkah benarnya perkataan beliau, karena sesungguhnya dosa-dosa dapat menghalangi kenikmatan beribadah dan membuat hati menjadi mati. Sebagaimana dikatakan para salaf :
رأيت الذنوب تميت القلوب
وقد يورث الذل إدمانها
ترك الذنوب حياة القلوب
وخير لنفسك عصيانها
“Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati
Dan selalu melakukan dosa akan menyebabkan kehinaan
Meninggalkan dosa-dosa dapat menghidupkan hati
Dan yang terbaik bagimu adalah menjauhinya.”
Wuhaib bin Ward pernah ditanya : “Dapatkah seorang ahli maksiat merasakan nikmatnya ibadah?”. Maka Wuhaib bin Ward berkata, “Tidak. Bahkan orang yang memikirkan maksiat pun tidak dapat merasakannya.” (Hilyatul Auliya’ : 8/144).
Alangkah benarnya perkataan beliau, karena sesungguhnya dosa-dosa dapat menghalangi kenikmatan beribadah dan membuat hati menjadi mati. Sebagaimana dikatakan para salaf :
رأيت الذنوب تميت القلوب
وقد يورث الذل إدمانها
ترك الذنوب حياة القلوب
وخير لنفسك عصيانها
“Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati
Dan selalu melakukan dosa akan menyebabkan kehinaan
Meninggalkan dosa-dosa dapat menghidupkan hati
Dan yang terbaik bagimu adalah menjauhinya.”
Wuhaib bin Ward pernah ditanya : “Dapatkah seorang ahli maksiat merasakan nikmatnya ibadah?”. Maka Wuhaib bin Ward berkata, “Tidak. Bahkan orang yang memikirkan maksiat pun tidak dapat merasakannya.” (Hilyatul Auliya’ : 8/144).
Selasa, 25 Januari 2011
Sahabat Sejati
Dulu ada penyair yang mengatakan :
ليس الكريم الذي إن زل صاحبه
بث الذي كان من أسراره علما
إن الكريم الذي تبقى مودته
ويحفظ السر إن صافى وإن صرما
“Bukanlah orang yang mulia jika bersalah sahabatnya,
Dia lalu menyebarkan rahasia sahabatnya yang diketahuinya,
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya,
Dan tetap menjaga rahasianya walaupun persahabatannya porak poranda.”
Manusia jika marah dengan sahabatnya biasanya akan membuka aib dan rahasia sahabatnya. Padahal jika ia menyimpannya di dasar jiwa dan membiarkannya tetap disana, ia akan mampu melupakan sakit hatinya setelah sekian lama.
Karena tidaklah semua yang diketahui mesti diceritakan.
Dan tidaklah semua yang mesti diceritakan disampaikan kepada setiap orang.
ليس الكريم الذي إن زل صاحبه
بث الذي كان من أسراره علما
إن الكريم الذي تبقى مودته
ويحفظ السر إن صافى وإن صرما
“Bukanlah orang yang mulia jika bersalah sahabatnya,
Dia lalu menyebarkan rahasia sahabatnya yang diketahuinya,
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya,
Dan tetap menjaga rahasianya walaupun persahabatannya porak poranda.”
Manusia jika marah dengan sahabatnya biasanya akan membuka aib dan rahasia sahabatnya. Padahal jika ia menyimpannya di dasar jiwa dan membiarkannya tetap disana, ia akan mampu melupakan sakit hatinya setelah sekian lama.
Karena tidaklah semua yang diketahui mesti diceritakan.
Dan tidaklah semua yang mesti diceritakan disampaikan kepada setiap orang.
Senin, 24 Januari 2011
Berapakah Usiamu Wahai Kawan?
Berapakah usiamu wahai kawan?
Bukankah usiamu sudah masuk tiga puluhan
Tapi kulihat ilmumu hanya sedikit mengalami penambahan
Juga tak satu pun karya yang telah kau tuliskan
Berapakah usiamu wahai kawan?
Tidakkah kau malu dengan pendahulumu di zaman silam
Yang usianya pendek tapi penuh keberkahan
Mereka menjadi ulama dan menulis banyak karangan
Walaupun mati muda tapi jasanya tidak akan terlupakan
Berapakah usiamu wahai kawan?
Al-Laknawi usianya hanya 39 tahun tapi ia menulis kitab sebanyak ratusan*
Al-Hazimi umurnya berakhir 36 tahun dan ia mengarang kitab yang mengagumkan**
Al-Hakami meninggal dunia di usia 35 tahun tapi karangannya sungguh menakjubkan***
Sayyid Shalah bin Ahmad wafat di usia 29 tahun dan dia dipuji Asy-Syaukani dari Yaman****
Dan Ahmad bin Nasrullah Al-Bulqasi menjadi imam walaupun usianya hanya 28 tahunan*****
Berapakah usiamu wahai kawan?
Jangan kau habiskan usiamu dalam urusan keduniawian
Selalu hindarilah perkara-perkara yang menyibukkan
Tak lupa kuingatkan agar jangan larut dalam hal kesia-siaan
Karena waktu sangat berharga dan dunia berada dalam kefanaan
Maka segeralah berlari dan tinggalkan penyakit kemalasan
(P/s : Puisi ini ditulis untuk diri ana sendiri).
Keterangan :
* Imam al-Laknawi wafat pada tahun 1304 H dalam usia 39 tahun. Dikatakan ia mengarang lebih dari seratus kitab, ada yang mengatakan sebanyak 104, ada yang mengatakan 115. Kitab karangannya diantaranya : Al-Raf’u wa al-Takmil fi Jarh wa al-Ta’dil, al-Ajwibat al-Fadhilah ‘an al-As’ilah al-‘Asyarah al-Kamilah, Zhafr al-Amani fi Syarh al-Mukhtasar al-Mansub li al-Jurjani, Al-Atsar al-Marfu’ah fi al-Akhbar al-Maudhu’ah, dll.
** Imam al-Hazimi wafat pada tahun 584 H dalam usia 36 tahun sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala'. Ada juga riwayat mengatakan al-Hazimi wafat dalam usia 35 tahun. Karangan Imam al-Hazimi yang terkenal adalah Al-I’tibar fin Nasikh wal Mansukh minal Atsar.
*** Syaikh Hafizh al-Hakami, salah seorang ulama abad ini wafat pada tahun 1377 H dalam usia 35 tahun. Beliau penulis kitab A'lamus Sunnah al-Mansyuroh, Ma’arijul Qobul, Al-Jauharatul Faridah fi al-Aqidah, Al-Lu’lu al-Maknun fi Ahwalis Sanad wal Mutun, An-Nurul Faidh ila llmil Faraidh, Sullamul Wushul fi Ilmil Ushul, dan Al-Ushul fi Manhajil Ushul.
**** Sayyid Shalah bin Ahmad al-Yamani wafat pada tahun 1034 H. Beliau dipuji oleh Asy-Syaukani dalam kitabnya Al-Badr Ath-Thali'. Asy-Syaukani mengatakan bahwa walaupun usianya hanya 29 tahun tetapi dia memiliki karya-karya yang berfaedah dan menguasai pelbagai disiplin ilmu.
***** Ahmad bin Nasrullah Al-Bulqasi disebutkan oleh As-Sakhawi dalam kitabnya Ad-Dhau’ al-Lami’. Beliau wafat pada tahun 852 H dalam usia 28 tahun.
Bukankah usiamu sudah masuk tiga puluhan
Tapi kulihat ilmumu hanya sedikit mengalami penambahan
Juga tak satu pun karya yang telah kau tuliskan
Berapakah usiamu wahai kawan?
Tidakkah kau malu dengan pendahulumu di zaman silam
Yang usianya pendek tapi penuh keberkahan
Mereka menjadi ulama dan menulis banyak karangan
Walaupun mati muda tapi jasanya tidak akan terlupakan
Berapakah usiamu wahai kawan?
Al-Laknawi usianya hanya 39 tahun tapi ia menulis kitab sebanyak ratusan*
Al-Hazimi umurnya berakhir 36 tahun dan ia mengarang kitab yang mengagumkan**
Al-Hakami meninggal dunia di usia 35 tahun tapi karangannya sungguh menakjubkan***
Sayyid Shalah bin Ahmad wafat di usia 29 tahun dan dia dipuji Asy-Syaukani dari Yaman****
Dan Ahmad bin Nasrullah Al-Bulqasi menjadi imam walaupun usianya hanya 28 tahunan*****
Berapakah usiamu wahai kawan?
Jangan kau habiskan usiamu dalam urusan keduniawian
Selalu hindarilah perkara-perkara yang menyibukkan
Tak lupa kuingatkan agar jangan larut dalam hal kesia-siaan
Karena waktu sangat berharga dan dunia berada dalam kefanaan
Maka segeralah berlari dan tinggalkan penyakit kemalasan
(P/s : Puisi ini ditulis untuk diri ana sendiri).
Keterangan :
* Imam al-Laknawi wafat pada tahun 1304 H dalam usia 39 tahun. Dikatakan ia mengarang lebih dari seratus kitab, ada yang mengatakan sebanyak 104, ada yang mengatakan 115. Kitab karangannya diantaranya : Al-Raf’u wa al-Takmil fi Jarh wa al-Ta’dil, al-Ajwibat al-Fadhilah ‘an al-As’ilah al-‘Asyarah al-Kamilah, Zhafr al-Amani fi Syarh al-Mukhtasar al-Mansub li al-Jurjani, Al-Atsar al-Marfu’ah fi al-Akhbar al-Maudhu’ah, dll.
** Imam al-Hazimi wafat pada tahun 584 H dalam usia 36 tahun sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala'. Ada juga riwayat mengatakan al-Hazimi wafat dalam usia 35 tahun. Karangan Imam al-Hazimi yang terkenal adalah Al-I’tibar fin Nasikh wal Mansukh minal Atsar.
*** Syaikh Hafizh al-Hakami, salah seorang ulama abad ini wafat pada tahun 1377 H dalam usia 35 tahun. Beliau penulis kitab A'lamus Sunnah al-Mansyuroh, Ma’arijul Qobul, Al-Jauharatul Faridah fi al-Aqidah, Al-Lu’lu al-Maknun fi Ahwalis Sanad wal Mutun, An-Nurul Faidh ila llmil Faraidh, Sullamul Wushul fi Ilmil Ushul, dan Al-Ushul fi Manhajil Ushul.
**** Sayyid Shalah bin Ahmad al-Yamani wafat pada tahun 1034 H. Beliau dipuji oleh Asy-Syaukani dalam kitabnya Al-Badr Ath-Thali'. Asy-Syaukani mengatakan bahwa walaupun usianya hanya 29 tahun tetapi dia memiliki karya-karya yang berfaedah dan menguasai pelbagai disiplin ilmu.
***** Ahmad bin Nasrullah Al-Bulqasi disebutkan oleh As-Sakhawi dalam kitabnya Ad-Dhau’ al-Lami’. Beliau wafat pada tahun 852 H dalam usia 28 tahun.
Kamis, 20 Januari 2011
Mengapa Blog Ini Judulnya Faidah Ilmu?
Mengapa blog ini ana beri judul Faidah Ilmu? Itu karena kegemaran ana mengumpulkan faidah-faidah yang ana dapatkan selama menuntut ilmu, baik dari guru, teman maupun buku. Yang ana maksudkan dengan faidah (fawaid) adalah mutiara ilmu dan hal-hal penting yang diperoleh dari pelbagai cabang ilmu seperti tafsir, hadits, fiqih, akhlak, bahasa, syair, sejarah, kisah, fatwa dan lain sebagainya.
Kegiatan mengumpulkan faidah bukanlah hal yang baru. Para ulama sejak dulu membukukan faidah-faidah ilmiyah yang mereka dapatkan. Kitab-kitab khusus yang memuat faidah-faidah ilmiyah seperti kitab :
- Al-Funun karya Ibnu 'Aqil yang dikatakan berjumlah 800 jilid.
- Qaid al-Awabid karya Ad-Daghuli sebanyak 400 jilid.
- Majma’ al-Fawaid dan Manba’ al-Faraid serta at-Tadzkirah karya al-Maqrizi sebanyak 100 jilid (ada juga yang mengatakan 80 jilid).
- At-Tadzkirah karya Al-Kindi sebanyak 50 jilid.
- Tadzkirah as-Suyuthi dalam 50 jilid.
- Tadzkirah ash-Shafadi jumlahnya 30 jilid.
- ‘Uyun al-Awabid karya Ibnu an-Najjar dalam 6 jilid.
- Shaid al-Khatir karya Ibnul Jauzi.
- Al-Fawaid al-‘Awaniyyah karya Al-Wazir Ibnu Hubairah.
- Bada’i al-Fawaid dan Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim.
Sedangkan karya ulama kontemporer seperti :
- Al-Muntaqah min Fawaidil Fawaid oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
- Al-Muntaqah min Fathil Bari oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad.
- Al-Fawaidul Muntaqah min Syarh Shahih Muslim oleh Sulthan bin ‘Abdillah al-‘Umari.
Para ulama menasihatkan jika mendapatkan faidah segeralah untuk dicatat. Karena faidah ibarat mutiara yang mudah hilang dan terlupa. Sebagaimana yang dikatakan Imam an-Nawawi dalam Majmu’ (1/39) : “Janganlah seseorang meremehkan suatu ilmu (faidah) yang dia lihat atau dia dengar. Segeralah mencatatnya atau menelaahnya.”
Ibnul Abbar dalam Mu’jam Ashhab ash-Shadafi ketika menceritakan biografi Abul Qasim Ibnu Warad at-Tamimi (wafat 540 H), berkata : “Setiap buku yang ditunjukkan kepadanya maka pasti akan dibacanya dari awal sampai akhir. Jika dia mendapatkan suatu faidah, dia segera mencatatnya hingga menjadi sebuah pembahasan baru.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani dalam kitab Ad-Durar al-Kaminah (3/397) ketika menceritakan biografi Az-Zarkasyi -penulis kitab Al-Bahr al-Muhith yang terkenal- menceritakan bahwa Az-Zarkasyi sering bolak-balik ke tempat penjual buku untuk menelaah buku-buku. Jika dia mendapatkan suatu faidah yang mengagumkan maka dia akan mencatatnya dan setelah pulang dia akan membahasnya ke dalam tulisannya.
Diantara para ulama bahkan ada yang menyesal karena tidak mencatat faidah yang mereka dapatkan. Murid Ibnu Hajar Asqalani yakni As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir wa ad-Durar (2/611) menceritakan bahwa gurunya pernah menyesal tidak mencatat faidah yang beliau temukan dalam sebuah ayat Al-Qur’an.
Demikianlah keadaan para ulama kita yang mulia -semoga Allah merahmati mereka semua-. Semoga dengan mengetahui kisahnya dapat memotivasi jiwa-jiwa penuntut ilmu yang semakin melemah, menghidupkan semangat-semangat yang hampir mati, dan membakar gairah-gairah menelaah yang hampir padam, disebabkan banyaknya fitnah syahwat dan syubhat di zaman ini. Hanya kepada Allah kita mengadu dan memohon pertolongan.
Kegiatan mengumpulkan faidah bukanlah hal yang baru. Para ulama sejak dulu membukukan faidah-faidah ilmiyah yang mereka dapatkan. Kitab-kitab khusus yang memuat faidah-faidah ilmiyah seperti kitab :
- Al-Funun karya Ibnu 'Aqil yang dikatakan berjumlah 800 jilid.
- Qaid al-Awabid karya Ad-Daghuli sebanyak 400 jilid.
- Majma’ al-Fawaid dan Manba’ al-Faraid serta at-Tadzkirah karya al-Maqrizi sebanyak 100 jilid (ada juga yang mengatakan 80 jilid).
- At-Tadzkirah karya Al-Kindi sebanyak 50 jilid.
- Tadzkirah as-Suyuthi dalam 50 jilid.
- Tadzkirah ash-Shafadi jumlahnya 30 jilid.
- ‘Uyun al-Awabid karya Ibnu an-Najjar dalam 6 jilid.
- Shaid al-Khatir karya Ibnul Jauzi.
- Al-Fawaid al-‘Awaniyyah karya Al-Wazir Ibnu Hubairah.
- Bada’i al-Fawaid dan Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim.
Sedangkan karya ulama kontemporer seperti :
- Al-Muntaqah min Fawaidil Fawaid oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
- Al-Muntaqah min Fathil Bari oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad.
- Al-Fawaidul Muntaqah min Syarh Shahih Muslim oleh Sulthan bin ‘Abdillah al-‘Umari.
Para ulama menasihatkan jika mendapatkan faidah segeralah untuk dicatat. Karena faidah ibarat mutiara yang mudah hilang dan terlupa. Sebagaimana yang dikatakan Imam an-Nawawi dalam Majmu’ (1/39) : “Janganlah seseorang meremehkan suatu ilmu (faidah) yang dia lihat atau dia dengar. Segeralah mencatatnya atau menelaahnya.”
Ibnul Abbar dalam Mu’jam Ashhab ash-Shadafi ketika menceritakan biografi Abul Qasim Ibnu Warad at-Tamimi (wafat 540 H), berkata : “Setiap buku yang ditunjukkan kepadanya maka pasti akan dibacanya dari awal sampai akhir. Jika dia mendapatkan suatu faidah, dia segera mencatatnya hingga menjadi sebuah pembahasan baru.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani dalam kitab Ad-Durar al-Kaminah (3/397) ketika menceritakan biografi Az-Zarkasyi -penulis kitab Al-Bahr al-Muhith yang terkenal- menceritakan bahwa Az-Zarkasyi sering bolak-balik ke tempat penjual buku untuk menelaah buku-buku. Jika dia mendapatkan suatu faidah yang mengagumkan maka dia akan mencatatnya dan setelah pulang dia akan membahasnya ke dalam tulisannya.
Diantara para ulama bahkan ada yang menyesal karena tidak mencatat faidah yang mereka dapatkan. Murid Ibnu Hajar Asqalani yakni As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Jawahir wa ad-Durar (2/611) menceritakan bahwa gurunya pernah menyesal tidak mencatat faidah yang beliau temukan dalam sebuah ayat Al-Qur’an.
Demikianlah keadaan para ulama kita yang mulia -semoga Allah merahmati mereka semua-. Semoga dengan mengetahui kisahnya dapat memotivasi jiwa-jiwa penuntut ilmu yang semakin melemah, menghidupkan semangat-semangat yang hampir mati, dan membakar gairah-gairah menelaah yang hampir padam, disebabkan banyaknya fitnah syahwat dan syubhat di zaman ini. Hanya kepada Allah kita mengadu dan memohon pertolongan.
Senin, 17 Januari 2011
Tidak Ada Kekuasaan Abadi Di Dunia Ini
Beberapa hari terakhir ini, peristiwa di Tunisia menarik perhatian seluruh warga dunia. Seluruh media memberitakan tentang tumbangnya penguasa negeri itu yang telah berkuasa selama 23 tahun (mengingatkan ana dengan kejadian serupa di Indonesia tiga belas tahun yang lalu). Dari peristiwa tersebut, semoga para pemimpin-pemimpin negara lainnya dapat mengambil pelajaran bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi di dunia. Jika Allah berkehendak, maka jatuhlah pemimpin suatu negara dari jalan yang tidak mereka sangka-sangka, dan pergiliran kekuasaan antar manusia merupakan suatu kemestian adanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”. (QS. Ali Imran : 140).
Sungguh indah seorang penyair yang berkata :
لكل شىء إذا ماتم نقصان
فلا يغر بطيب العــيــش إنسانُ
هي الأمور كما شاهدتها دول
من سرهُ زَمنٌ ساءته أزمانُ
وهذه الدار لا تُبقي على أحد
ولا يدوم على حال لها شانُ
“Segala sesuatu akan turun jika telah sampai puncaknya,
Oleh karena itu janganlah manusia tertipu dengan keindahan dunia;
Hal ini sebagaimana yang telah disaksikan oleh setiap bangsa,
Barangsiapa yang hari ini gembira hari-hari berikutnya dia akan menderita;
Dunia ini tidak pernah kekal abadi bagi semua orang,
Dan manusia tidak akan tetap dalam satu keadaan.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”. (QS. Ali Imran : 140).
Sungguh indah seorang penyair yang berkata :
لكل شىء إذا ماتم نقصان
فلا يغر بطيب العــيــش إنسانُ
هي الأمور كما شاهدتها دول
من سرهُ زَمنٌ ساءته أزمانُ
وهذه الدار لا تُبقي على أحد
ولا يدوم على حال لها شانُ
“Segala sesuatu akan turun jika telah sampai puncaknya,
Oleh karena itu janganlah manusia tertipu dengan keindahan dunia;
Hal ini sebagaimana yang telah disaksikan oleh setiap bangsa,
Barangsiapa yang hari ini gembira hari-hari berikutnya dia akan menderita;
Dunia ini tidak pernah kekal abadi bagi semua orang,
Dan manusia tidak akan tetap dalam satu keadaan.”
Kamis, 13 Januari 2011
Orang Bertakwa Juga Terkadang Berbuat Dosa
Imam Ibnu Rajab ketika membahas ayat Al-Qur’an :
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (QS. Ali Imran : 135)
Kemudian Imam Ibnu Rajab berkata : “Ini menunjukkan orang-orang bertakwa terkadang juga mengerjakan dosa, yaitu perbuatan keji dan dosa-dosa kecil. Hanya saja mereka tidak terus menerus mengerjakannya. Mereka segera ingat kepada Allah setelah mengerjakan dosa, memohon ampunan kepada-Nya, dan bertaubat dari perbuatan dosa tersebut.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam : 1/412, Ibnu Rajab al-Hanbali).
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (QS. Ali Imran : 135)
Kemudian Imam Ibnu Rajab berkata : “Ini menunjukkan orang-orang bertakwa terkadang juga mengerjakan dosa, yaitu perbuatan keji dan dosa-dosa kecil. Hanya saja mereka tidak terus menerus mengerjakannya. Mereka segera ingat kepada Allah setelah mengerjakan dosa, memohon ampunan kepada-Nya, dan bertaubat dari perbuatan dosa tersebut.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam : 1/412, Ibnu Rajab al-Hanbali).
Rabu, 12 Januari 2011
Keledai Yang Membawa Banyak Kitab
Seorang ulama pernah berkata bahwa seseorang yang hanya memiliki sebuah mushaf Al-Qur’an yang telah ia hayati dan amalkan isinya, lebih baik ketimbang orang yang memiliki ribuan jilid buku tapi tidak mengamalkannya. Orang yang tidak mengamalkan ilmunya bak orang Yahudi yang diceritakan dalam Al-Qur’an : “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS. Al-Jumu’ah : 5).
Lama ana memikirkan perkataan ulama tersebut, dan memang benar adanya. Milikilah buku beribu-ribu banyaknya, hafalkanlah pelbagai dalil-dalil agama, sebarkanlah ceramah dan tulisan dimana-mana. Semua itu sia-sia belaka jika amalan tidak tampak di mata.
Lama ana memikirkan perkataan ulama tersebut, dan memang benar adanya. Milikilah buku beribu-ribu banyaknya, hafalkanlah pelbagai dalil-dalil agama, sebarkanlah ceramah dan tulisan dimana-mana. Semua itu sia-sia belaka jika amalan tidak tampak di mata.
Selasa, 11 Januari 2011
Harun ar-Rasyid : Khalifah Yang Berhati Lembut
Ketika khalifah Harun ar-Rasyid selesai membangun salah satu istana yang megah, ia mengundang seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah datang ke istananya untuk membacakan syair-syairnya yang indah. Maka Abul ‘Atahiyah membacakan sebuah syair :
عش ما بدا لك سـالما
في ظل شاهقة القصور
تسعى عليك بما اشتهيت
لدى الرواح إلى البكور
فإذا النفوس تقعقعت
عن ضيق حشرجة الصدور
فهناك تعلــم مـوقنــا
ما كنت إلا في غرور
“Hiduplah sesuka hatimu
di bawah naungan megahnya istanamu;
Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;
Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”
Setelah mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu.
Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata :
لا تأمن الموتَ في طرف ولا نفس
ولو تمتعت بالحجاب والحرس
واعلم بأن سهام الموت صائبةٌ
لكل مدَّرعٍ منها ومترس
“Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari kematian
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”
Setelah mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.
Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah (14/28) menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya sangat mulia. Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji. Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah. Beliau mencintai ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”
Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi terasa ganjil bagi sebagian orang ketika itu. Namun ketika khalifah setelahnya yakni al-Makmun menyebarkan ajaran bahwa al-Qur’an adalah makhluk, mereka baru menyadari kebenaran kata-kata Fudhail bin 'Iyadh.
Semoga Allah merahmati khalifah Harun ar-Rasyid dan menempatkannya dalam surga-Nya yang luas.
(Diringkas dari majalah Al-Furqon edisi 5 th 8/1429 H, hal. 54-57, dengan sedikit perubahan dan penambahan).
عش ما بدا لك سـالما
في ظل شاهقة القصور
تسعى عليك بما اشتهيت
لدى الرواح إلى البكور
فإذا النفوس تقعقعت
عن ضيق حشرجة الصدور
فهناك تعلــم مـوقنــا
ما كنت إلا في غرور
“Hiduplah sesuka hatimu
di bawah naungan megahnya istanamu;
Engkau mendapatkan apa yang engkau senangi
di waktu pagi maupun sore hari;
Namun jika tiba waktu sekaratnya jiwa
karena sempitnya nafas di dalam dada;
Saat itu barulah engkau sadari
bahwa engkau dalam kelalaian selama ini.”
Setelah mendengar syair tersebut, Harun ar-Rasyid langsung menangis tersedu-sedu.
Di lain kesempatan Harun ar-Rasyid memanggil Abul ‘Atahiyah lalu berkata : “Nasihatilah saya dengan sebuah syair.” Maka Abul ‘Atahiyah berkata :
لا تأمن الموتَ في طرف ولا نفس
ولو تمتعت بالحجاب والحرس
واعلم بأن سهام الموت صائبةٌ
لكل مدَّرعٍ منها ومترس
“Janganlah engkau merasa selamat sekejap pun dari kematian
Walaupun engkau mempunyai para penjaga dan para pasukan;
Ketahuilah bahwa panah kematian pasti akan tepat sasaran
Meskipun seseorang berada dalam benteng perlindungan.”
Setelah mendengar syair itu, Harun ar-Rasyid langsung pingsan.
Demikianlah beberapa episode kehidupan Harun ar-Rasyid. Tidak seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah dusta dalam buku dongeng berjudul Alfu Lailatin wa Lailah (cerita 1001 malam) yang menggambarkan Harun ar-Rasyid seorang yang gemar berfoya-foya dan bermaksiat.
Al-Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wan Nihayah (14/28) menceritakan tentang khalifah Harun ar-Rasyid :
“Perjalanan bidupnya sangat mulia. Beliau seorang raja yang paling banyak berjihad dan menunaikan ibadah haji. Setiap hari beliau bersedekah dengan hartanya sendiri sebanyak seribu dirham. Jika beliau pergi haji maka ia juga menghajikan seratus ulama dan anak-anak mereka. Jika beliau tidak pergi haji maka ia menghajikan tiga ratus orang. Beliau sangat gemar bersedekah. Beliau mencintai ulama dan pujangga. Cincin beliau bertuliskan La ilaha Ilallah.”
Khalifah Harun ar-Rasyid wafat dalam peperangan di Khurasan pada tahun 193 Hijriah dalam usia 45 tahun. Ketika kabar kematiannya sampai ke telinga seorang ahli ibadah bernama Fudhail bin 'Iyadh, maka beliau berkata : “Tidak ada kematian seorang pun yang memuatku sangat terpukul melebihi kematian amirul mukminin Harun ar-Rasyid. Sungguh aku ingin seandainya Allah menambah umurnya dengan sisa umurku”. Perkataan Fudhail tadi terasa ganjil bagi sebagian orang ketika itu. Namun ketika khalifah setelahnya yakni al-Makmun menyebarkan ajaran bahwa al-Qur’an adalah makhluk, mereka baru menyadari kebenaran kata-kata Fudhail bin 'Iyadh.
Semoga Allah merahmati khalifah Harun ar-Rasyid dan menempatkannya dalam surga-Nya yang luas.
(Diringkas dari majalah Al-Furqon edisi 5 th 8/1429 H, hal. 54-57, dengan sedikit perubahan dan penambahan).
Senin, 10 Januari 2011
Qiyas Yang Paling Buruk
Tahukah anda qiyas apakah yang paling buruk? Jawabannya adalah qiyas yang dilakukan Iblis seperti yang diceritakan dalam Al-Qur’an:
“Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis, "Aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raaf : 12).
Syaikh Muhammad bin Amin asy-Syinqithi berkata : “Iblis mengqiyaskan dirinya dengan asal usulnya yaitu api, lalu ia mengqiyaskan Adam dengan asal usulnya yaitu tanah, kemudian dari qiyas tersebut ia menganggap dirinya lebih mulia dibanding Adam. Iblis beralasan dengan qiyas padahal terdapat dalil yang tegas yakni perintah Allah yang memerintahkannya bersujud kepada Adam. Qiyas yang demikian menurut ulama ushul fiqih dinamakan qiyas yang rusak dan tidak pada tempatnya.” (Adhwa’ul Bayan : 1/33).
Itulah qiyas paling buruk yang pernah dilakukan makhluk-Nya. Yang menyedihkan, sebagian manusia meneruskan qiyas yang batil itu. Lihatlah sebagian manusia yang membangga-banggakan suku tertentu, bangsa tertentu, keturunan tertentu, warna kulit tertentu, nasab tertentu dll, bukankah artinya mereka juga meneruskan qiyas iblis tersebut?
Padahal telah ada dalil tegas yang menyatakan kemuliaan hanyalah berasal dari takwa, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa dari kalian”. (QS. Al-Hujurat: 13).
Sehingga walaupun seseorang merasa nasabnya mulia, maka tidak berfaedah nasabnya jika ia malas beramal. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak dapat mempercepatnya”. (HR. Muslim).
Berkata Imam Nawawi menjelaskan hadits tersebut : “Orang yang amalannya sedikit tidak dapat mencapai kedudukan orang yang banyak beramal. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya seseorang hanya mengandalkan nasab dan nama besar orang tuanya, lalu ia malas untuk beramal.” (Syarh Shahih Muslim : 17/22).
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاْ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
Syaikh Muhammad bin Amin asy-Syinqithi berkata : “Iblis mengqiyaskan dirinya dengan asal usulnya yaitu api, lalu ia mengqiyaskan Adam dengan asal usulnya yaitu tanah, kemudian dari qiyas tersebut ia menganggap dirinya lebih mulia dibanding Adam. Iblis beralasan dengan qiyas padahal terdapat dalil yang tegas yakni perintah Allah yang memerintahkannya bersujud kepada Adam. Qiyas yang demikian menurut ulama ushul fiqih dinamakan qiyas yang rusak dan tidak pada tempatnya.” (Adhwa’ul Bayan : 1/33).
Itulah qiyas paling buruk yang pernah dilakukan makhluk-Nya. Yang menyedihkan, sebagian manusia meneruskan qiyas yang batil itu. Lihatlah sebagian manusia yang membangga-banggakan suku tertentu, bangsa tertentu, keturunan tertentu, warna kulit tertentu, nasab tertentu dll, bukankah artinya mereka juga meneruskan qiyas iblis tersebut?
Padahal telah ada dalil tegas yang menyatakan kemuliaan hanyalah berasal dari takwa, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa dari kalian”. (QS. Al-Hujurat: 13).
Sehingga walaupun seseorang merasa nasabnya mulia, maka tidak berfaedah nasabnya jika ia malas beramal. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak dapat mempercepatnya”. (HR. Muslim).
Berkata Imam Nawawi menjelaskan hadits tersebut : “Orang yang amalannya sedikit tidak dapat mencapai kedudukan orang yang banyak beramal. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya seseorang hanya mengandalkan nasab dan nama besar orang tuanya, lalu ia malas untuk beramal.” (Syarh Shahih Muslim : 17/22).
Selasa, 04 Januari 2011
Adab Menasihati Manusia
Ana pernah membaca kisah seorang ustadz yang gemar menasihati manusia secara rahasia. Pernah suatu hari ketika shalat Jum’at beliau mendapatkan kesalahan dalam ceramah sang khatib. Maka setelah shalat, beliau menunggu sampai tinggal mereka berdua, baru beliau dengan lemah lembut menerangkan kesalahan sang khatib tadi. Hasilnya luar biasa, sang khatib sangat berterima kasih lalu menyalami ustadz dengan hangatnya menandakan beliau sangat menyukai dinasihati secara rahasia.
Demikianlah adab dalam menasihati manusia yakni menasihati secara rahasia dan tidak menasihati di hadapan orang ramai. Sebab tabiat umumnya manusia adalah tidak menyukai jika dinasihati secara terang-terangan di depan manusia lainnya. Beberapa ulama bahkan membahas secara khusus adab ini seperti Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala, Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, Imam Ibnu Rajab dalam kitab al-Farqu Baina Nashihati wat Ta’yir, Syaikh Abdul Aziz as-Sayyid Nada dalam Mausu’atul Adab al-Islamiyah, dan yang lainnya.
Adab ini penting untuk diketahui, karena ramai manusia yang gemar memberi nasihat secara terang-terangan. Padahal metode memberi nasihat seperti itu sulit untuk diterima, malah dapat mengundang kebencian antar sesama. Apatah lagi jika niatnya tidak murni karena berasal dari rasa dengki semata, sehingga yang dikatakan nasihat tak lain hanyalah upaya mencari-cari aib saja.
Alangkah indahnya perkataan Imam Syafi’i dalam salah satu bait syairnya :
تعمدني بنصحك في انفرادي
وجنبني النصيحة في الجماعة
فإن النصح بين الناس نوع
من التوبيخ لا أرضى استماعه
وإن خالفتني وعصيت قولي
فلا تجزع إذا لم تعط طاعه
“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri
dan jauhilah menasihatiku di tengah keramaian,
Sebab memberi nasihat di hadapan mereka berarti
penghinaan bagi diriku ini, yang aku tidak suka mendengarkannya,
Andai engkau tidak terima dan menolak saranku ini
maka janganlah engkau marah jika nasihatmu tidak aku turuti.”
Perhatikanlah syair Imam Syafi’i diatas. Imam Syafi’i bagaikan seorang psikolog yang paham akan karakter jiwa manusia dan mengajarkan kepada kita bagaimana metode yang benar dalam menasihati manusia.
Imam Syafi’i juga pernah berkata sebagaimana dinukil dalam muqaddimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1/31) : “Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia maka sungguh ia telah memberi nasihat dengan sebenarnya dan menghargainya. Sedangkan barangsiapa yang memberi nasihat secara terang-terangan dihadapan manusia, maka sungguh ia telah membongkar aib saudaranya dan merendahkannya.”
Demikianlah adab dalam menasihati manusia yakni menasihati secara rahasia dan tidak menasihati di hadapan orang ramai. Sebab tabiat umumnya manusia adalah tidak menyukai jika dinasihati secara terang-terangan di depan manusia lainnya. Beberapa ulama bahkan membahas secara khusus adab ini seperti Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala, Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, Imam Ibnu Rajab dalam kitab al-Farqu Baina Nashihati wat Ta’yir, Syaikh Abdul Aziz as-Sayyid Nada dalam Mausu’atul Adab al-Islamiyah, dan yang lainnya.
Adab ini penting untuk diketahui, karena ramai manusia yang gemar memberi nasihat secara terang-terangan. Padahal metode memberi nasihat seperti itu sulit untuk diterima, malah dapat mengundang kebencian antar sesama. Apatah lagi jika niatnya tidak murni karena berasal dari rasa dengki semata, sehingga yang dikatakan nasihat tak lain hanyalah upaya mencari-cari aib saja.
Alangkah indahnya perkataan Imam Syafi’i dalam salah satu bait syairnya :
تعمدني بنصحك في انفرادي
وجنبني النصيحة في الجماعة
فإن النصح بين الناس نوع
من التوبيخ لا أرضى استماعه
وإن خالفتني وعصيت قولي
فلا تجزع إذا لم تعط طاعه
“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri
dan jauhilah menasihatiku di tengah keramaian,
Sebab memberi nasihat di hadapan mereka berarti
penghinaan bagi diriku ini, yang aku tidak suka mendengarkannya,
Andai engkau tidak terima dan menolak saranku ini
maka janganlah engkau marah jika nasihatmu tidak aku turuti.”
Perhatikanlah syair Imam Syafi’i diatas. Imam Syafi’i bagaikan seorang psikolog yang paham akan karakter jiwa manusia dan mengajarkan kepada kita bagaimana metode yang benar dalam menasihati manusia.
Imam Syafi’i juga pernah berkata sebagaimana dinukil dalam muqaddimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1/31) : “Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia maka sungguh ia telah memberi nasihat dengan sebenarnya dan menghargainya. Sedangkan barangsiapa yang memberi nasihat secara terang-terangan dihadapan manusia, maka sungguh ia telah membongkar aib saudaranya dan merendahkannya.”
Langganan:
Postingan (Atom)